Oleh : Aldin Keliangin
Menjelang Pilkada serentak 2024, Provinsi Maluku tidak luput dari dinamika eskalasi politik yang memanas. Seperti di banyak daerah lain di Indonesia, suhu politik di Maluku mulai menunjukkan peningkatan intensitas, terutama di tengah kampanye yang semakin gencar.
Di berbagai kabupaten, termasuk Ambon, Maluku Tengah, dan Buru, aroma kontestasi semakin terasa. Namun, di balik kemeriahan politik lokal ini, terdapat sejumlah tantangan serius yang harus diwaspadai, agar demokrasi di Maluku tidak terperosok dalam jebakan politik transaksional, politik identitas, dan konflik komunal yang selama ini kerap menjadi ancaman laten.
Politik Transaksional dan Dominasi Oligarki Lokal
Salah satu persoalan klasik yang terus membayangi Pilkada di Maluku adalah politik transaksional. Praktik politik uang bukanlah fenomena baru di wilayah ini. Di daerah-daerah pesisir hingga pedalaman Maluku, banyak calon kepala daerah yang berlomba-lomba menggelontorkan uang demi meraih simpati dan suara masyarakat.
Distribusi bantuan material seperti sembako, uang tunai, atau proyek-proyek instan menjelang pemilihan sering kali digunakan sebagai alat untuk meraih dukungan, mungkin itu gambaran utuh dari kultur demokrasi di kawasan dengan tingkat kesejahteraan yang rendah. Situasi ini semakin diperparah dengan dominasi oligarki lokal.
Beberapa keluarga atau kelompok elit di Maluku memiliki pengaruh kuat dalam menentukan arah politik lokal. Mereka tidak hanya mengendalikan jalannya kontestasi, tetapi juga memonopoli sumber daya politik dan ekonomi. Akibatnya, kompetisi dalam Pilkada sering kali tidak lagi didasarkan pada kualitas dan program kandidat, melainkan pada siapa yang memiliki modal politik dan ekonomi paling besar.
Di beberapa kabupaten, masyarakat menjadi saksi atas rotasi kekuasaan di tangan elit yang sama selama bertahun-tahun, yang berujung pada stagnasi pembangunan dan rendahnya inovasi kebijakan publik.
Politik Identitas: Polarisasi Etnis dan Agama yang Membayangi Di Maluku
Politik identitas berbasis agama dan etnis selalu menjadi isu sensitif. Sejarah panjang konflik sosial berbasis identitas yang pernah terjadi di Ambon pada akhir 1990-an hingga awal 2000-an masih menjadi trauma kolektif bagi masyarakat. Sayangnya, menjelang Pilkada serentak, narasi-narasi berbasis identitas ini kembali digunakan sebagai alat politik.
Tersinyalir beberapa kandidat mulai memanfaatkan sentimen keagamaan dan etnisitas untuk meraih dukungan dari kelompok-kelompok tertentu. Mereka mengangkat isu-isu sensitif terkait hubungan antar-komunitas untuk menciptakan polarisasi dan memperkuat basis pemilih mereka. Kondisi ini sangat mengkhawatirkan, mengingat Maluku adalah provinsi dengan keragaman etnis dan agama yang tinggi.
Polarisasi politik berbasis identitas dapat dengan mudah memicu konflik horizontal, terutama jika tidak dikelola dengan bijak. Kita tidak bisa menutup mata bahwa sentimen primordial ini bisa membangkitkan kembali luka-luka lama dan mengganggu kohesi sosial yang selama ini coba dipulihkan dengan susah payah. Alih-alih menjadi ajang kompetisi ide dan program, Pilkada bisa berubah menjadi arena pertarungan identitas yang merusak persatuan masyarakat Maluku.
Kualitas Demokrasi di Tengah Tantangan Infrastruktur dan Keterbukaan Informasi
Provinsi Maluku, terdiri dari banyak pulau dengan infrastruktur yang masih terbatas, menghadapi tantangan unik dalam penyelenggaraan Pilkada. Di beberapa wilayah yang terpencil, akses informasi dan komunikasi yang terbatas membuat proses demokrasi tidak berjalan secara ideal. Masyarakat di wilayah-wilayah ini sering kali menjadi sasaran manipulasi politik karena keterbatasan informasi yang mereka miliki.
Minimnya akses terhadap media massa dan internet di daerah-daerah terpencil membuat warga rentan terhadap berita hoaks dan janji-janji palsu dari para calon. Sementara di pusat-pusat kota seperti Ambon, arus informasi mungkin lebih mudah diakses, namun dominasi media lokal oleh kepentingan politik tertentu juga menjadi tantangan tersendiri.
Di beberapa kasus, media massa lokal berperan sebagai corong kampanye para kandidat yang memiliki kedekatan dengan pemilik media, sehingga terjadi bias pemberitaan. Situasi ini menyulitkan masyarakat untuk mendapatkan informasi yang objektif dan akurat terkait profil kandidat dan program-program mereka.
Potensi Konflik dan Upaya Preventif Dalam konteks Maluku
Potensi konflik selama proses Pilkada tidak bisa dianggap remeh. Sejarah menunjukkan bahwa provinsi ini memiliki rekam jejak panjang terkait konflik sosial yang sering kali dipicu oleh faktor-faktor politik. Berbagai bentuk kecurangan pemilu, seperti politik uang, manipulasi data pemilih, hingga ketidaknetralan penyelenggara pemilu dapat menjadi pemicu terjadinya gesekan antara kelompok-kelompok pendukung kandidat.
Oleh karena itu, peran aparat keamanan, termasuk Badan Intelijen Daerah dan kepolisian, menjadi sangat krusial dalam mengantisipasi potensi konflik. Mereka harus bertindak tegas dan netral dalam menjaga keamanan selama proses Pilkada berlangsung. Selain itu, keterlibatan tokoh-tokoh agama, adat, dan masyarakat sipil juga diperlukan untuk mendinginkan suasana dan mendorong penyelesaian damai jika terjadi ketegangan di lapangan.
Di sisi lain, pemerintah daerah bersama dengan KPU dan Bawaslu Maluku harus memastikan bahwa Pilkada berjalan dengan jujur dan adil. Transparansi dalam proses pemilihan harus menjadi prioritas utama, termasuk dalam hal pengawasan dana kampanye dan pemutakhiran data pemilih. Jika masyarakat merasa bahwa proses pemilihan ini tidak dijalankan dengan baik, ketidakpercayaan terhadap hasil pemilu dapat memicu protes dan bahkan konflik.
Masa Depan Demokrasi di Maluku: Harapan di Tengah Tantangan.
Di tengah berbagai tantangan yang dihadapi, Pilkada serentak 2024 harus menjadi momen untuk memperbaiki kualitas demokrasi di Maluku. Masyarakat Maluku memiliki potensi besar untuk memilih pemimpin yang benar-benar mampu membawa perubahan positif bagi daerah mereka, asalkan mereka mendapatkan akses informasi yang cukup dan tidak terjebak dalam politik transaksional maupun identitas.
Pilkada ini harus menjadi ruang bagi kompetisi ide, bukan sekadar adu kekuatan modal atau popularitas. Kandidat-kandidat yang bertarung harus mampu menawarkan solusi konkrit untuk masalah-masalah yang dihadapi oleh masyarakat Maluku, seperti kemiskinan, kesenjangan pembangunan antar wilayah, dan akses terhadap pendidikan serta kesehatan. Di sinilah peran masyarakat menjadi penting—mereka harus berani menuntut lebih dari calon pemimpin mereka, bukan hanya sekadar janji-janji kosong.
Terakhir, kita semua harus berkomitmen untuk menjaga kedamaian dan persatuan selama proses Pilkada berlangsung. Politik seharusnya menjadi alat untuk membangun, bukan memecah-belah. Dengan mengedepankan dialog, keterbukaan, dan akuntabilitas, kita bisa memastikan bahwa Pilkada 2024 di Maluku berjalan dengan lancar dan menghasilkan pemimpin yang benar-benar mampu memajukan daerah ini. Tantangan besar memang ada, tetapi harapan untuk demokrasi yang lebih baik di Maluku masih terbuka lebar.
Penulis adalah Aktivis Seram Bagian Timur