Oleh: Attami Nurlette
Dua puluh enam oktober 2024 begitu berkesan bagi penulis karena menyaksikan langsung sajian debat gubernur maluku dan wakil gubernur maluku periode 2025-2029 melalui kanal youtube. Debat tiga calon gubernur maluku putaran pertama dilaksanakan untuk menentukan siapa nahkoda (Gubernur) yang cocok untuk mengendarai sampan bernama Maluku.
Ada tiga calon pemimpin gubernur maluku masing-masing adalah pendatang baru pasangan Jefry Apoly Rahawarin dan Abdul Mukti Keliobas (JAR-AMK), Hendrik Lewerissa dan Abdullah Vanath (HL-AV) dan incumbent Murad Ismail dan Michael Wattimena. Momen ini dinanti-nanti, terutama karena adu mulut yang dilegalkan dengan stemple “berbasis data”. Sayangnya konsentrasi penulis seakan-akan harus mengalami “ejakulasi dini” dan pada penghujungnya dipaksa untuk melupakan perkara-perkara yang diajukan.
Tidak seperti pola yang biasanya terjadi pada umumnya dalam suatu perdebatan, distingsi antara kandidat tidak begitu terlihat untuk melabeli cagub-cawagub ini nampak sebagai sosok-sosok yang dikotomis. Kalimat-kalimat ketiga kubu yang di lontarkan nampak ada sangkut-pautnya saya batasi pada tema konflik sosial misalnya: mengenai mitigasi konflik sosial jawabannya hanya pada aras permukaan yakni komunikasi lintas sectoral, pergelaran acara-acara seremonial (panas gandong, badendang dll).
Menurut penulis kegiatan-kegiatan diatas disatu sisi baik sebagai sarana membangun kedekatan individu dengan individu kelompok dengan kelompok yang kita sebut sebagai ikatan pela-gandong namun bukan itu akar persoalan konflik sosial.
Menggunakan analisis kelas yang digagas oleh Karl Hendrick Marx (1818) filsuf dan ekonom dari Jerman, analisis kelas yang umumnya juga dikenal dengan matrealisme historis dipahami secara ringkas sebagai tesis bahwa “basic struktur mengkondisikan superstruktur” realitas material menentukan realitas mental, realitas ekonomis menentukan realitas sosial, politik, legal dan kebudayaan (Suryajaya, 2012).
Dengan demikian asbabun nuzul dari konflik sosial adalah ketimpangan ekonomi. Provinsi Maluku, menurut data Badan Pusat Statistik (BPS) masih konsisten sebagai daerah termiskin sejak 2015 hingga 2024, kondisi ini mengakibatkan persoalan sosial di Maluku tidak ada akhirnya, jika persoalan ekonomi tidak segera di benahi maka Maluku tetap menjadi Kawasan dengan zona konflik sosial.
Secara umum untuk mengukur ketimpangan biasanya terdapat dua cara, yakni melalui pengeluaran dan pendapatan. Ketimpangan berdasar pada pendapatan umumnya akan lebih tinggi dibandingkan ketimpangan berdasar pada pengeluaran (Yusuf, 2018). Mengapa demikian? melihat ketimpangan berdasar pendapatan akan mencakup hal yang tak hanya sekedar luas akan tetapi fundamental, misalnya seperti tabungan.
Dalam mengukur ketimpangan berdasar pengeluaran hal seperti tabungan luput dari analisa. Soal tabungan ini menjadi penting ketika dalam realitanya kelas yang tergolong kaya lebih memiliki banyak tabungan, sementara kelas yang lebih miskin cenderung tidak ada bahkan negatif (meminjam uang).
Perlu dicatat, perhitungan BPS berdasarkan data pengeluaran, bukan pendapatan atau kekayaan. Jadi indeks Gini versi BPS sebatas mengukur ketimpangan pengeluaran, bukan ketimpangan pendapatan (income inequality) atau ketimpangan kekayaan (wealth inequality). Tentu saja perhitungan berdasarkan pengeluaran menghasilkan angka ketimpangan jauh lebih rendah ketimbang berdasarkan pendapatan dan kekayaan.
Apa yang dibahas oleh paslon incumbent misalnya soal data BPS pada tahun 2018 angka kemiskinan 18,22% sampai dengan Maret 2024 turun menjadi 16,05% bisa dibenarkan menggunakan perhitungan pengeluaran, tapi apakah itu linear dengan kesejahteraan Masyarakat Maluku pada umumnya?
Pada akhirnya kita hanya mendengar slogan dan retorika politik memuakan dari para politisi culas. Membayangkan Maluku keluar dari zona kemiskinan masih sangatlah jauh ibarat pungguk merindukan rembulan.
Penulis adalah Mahasiswa Pascasarjana IAIN Ambon