back to top

Benteng Terakhir Negeri Haya: Perlawanan terhadap PT Waragonda

Date:

Maluku Tengah,Tajukmaluku.com-Masyarakat Adat Negeri Haya kian geram. Kehadiran PT. Waragonda Minerals Pratama di wilayah mereka telah merusak lingkungan, mengancam ruang hidup, dan mengabaikan hak-hak masyarakat adat. Tambang yang beroperasi tanpa izin produksi resmi sejak 2019 ini dituding menjadi biang keladi abrasi pantai yang semakin parah dan mengancam pemukiman warga.

Pada 4 November 2023, izin produksi PT. Waragonda baru diterbitkan. Namun, jauh sebelum itu, perusahaan sudah menjalankan aktivitas tambang, sebuah pelanggaran terhadap Pasal 160 ayat 2 Undang-Undang Minerba. Proses perizinan Upaya Pengelolaan Lingkungan (UKL-UPL) pun cacat karena tidak melibatkan masyarakat Negeri Haya.

Masyarakat menolak keras keberadaan PT. Waragonda, terutama karena lokasi tambang yang berada di garis pantai ulayat adat Negeri Haya. Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil secara tegas melarang tambang di kawasan pesisir. Namun, pelanggaran ini justru diabaikan oleh pemerintah daerah.

Hasil Investigasi Tim Lembaga Bantuan Hukum Walang Keadilan Maluku

Sejak 2019, penolakan terus digaungkan warga, sampai dengan tahun 2024, perusahan tersebut mendapat protes dan berujung pada penolakan perusahan. Berdasarkan sumber dari masyarakat, sekitar Tahun 2020, Pemerintah Kabupaten Maluku Tengah melalui Wakil Bupati, Marlatu Leleury, sempat meninjau lokasi tambang. Saat itu, perusahan tersebut bangunannya masih belum bagus dan mewah, kontruksi bangunan masih terbuat dari Papan. Setiba disana, Wakil Bupati (Marlatu Leleury) juga di temani Dinas Perindustrian Kabupaten Maluku Tengah. Dari hasil pengawasan, pemerintah Daerah meyampaikan pada saat itu dilokasi bahwa tambang tersebut harus ditutup karena legalitas perizinan yang belum jelas, Marlatu Leleury juga menyampaikan bahwa tambang tersebut Ilegal dan merusak lingkungan, beliau sekaligus berpandangan bahwa akan terjadi abrasi di pesisir pantai jika tambang terebut tetap beroperasi.

Kemudian pada Bulan Desember  2022, Pemerintah Negeri Haya melalui  Pj. Negeri Haya menghubungi pihak perusahaan via Telepon dan juga menyurati Direktur PT. Waragonda namun tidak direspon dan tidak pernah menghadiri panggilan tersebut.

Perusahaan justru mengutus salah satu warga Negeri haya yang ada di perusahaan yang saat itu tidak jelas posisi jabatannya untuk datang memenuhi panggilan pemerintah negeri Haya di kantor Negeri, karena tidak mengindhakan panggilan Saniri Negeri dan Pj. Negeri Haya saat itu, kemudian pada bulan dan tahun yang sama terjadi aksi yang diprakarsai oleh pemerintah Negeri Haya bersama Saniri Negeri Haya, Tokoh Agama dan masyarakat, aksi tersebut dilakukan tepatnya didepan PT. Waragonda, namun aksi tersebut tidak pernah direspon baik oleh Pihak Perusahan.

Di bulan dan tahun yang sama juga, akibat operasi perusahan PT. Waragonda yang mulai berdampak dan mengakibatkan abrasi pantai di negeri Haya sekitar 20 meter dan hampir menyentuh rumah warga serta mengakibatkan talud penahan ombak untuk melindungi rumah warga menjadi rusak sehingga  menimbulkan aksi protes besar-besaran oleh masyarakat negeri Haya, oleh karena itu  Pj. Negeri Haya kembali menyurati Kepala Dinas LHK dan ESDM Provinsi Maluku dengan tujuan meminta untuk segera turun melihat abrasi yang merusak Talud Pelindung Rumah Warga, namun surat itu tak terbalas.

Awal 2025, tensi semakin memanas. Pada 13 Januari, Komisi II DPRD Maluku Tengah menggelar rapat dengar pendapat (RDP) dengan PT. Warogonda. Hasilnya, mereka merekomendasikan penghentian sementara aktivitas tambang. Namun, rekomendasi diabaikan, perusahaan tetap membandel. Bahkan, mereka membeli pasir garnet di luar konsesi Wilayah Izin Usaha Pertambangan (WIUP), memperparah eksploitasi lingkungan.

Masyarakat kembali bergerak. Pada 14 Februari 2025, mereka menyurati DPRD Maluku Tengah dan hadir dalam rapat dengar pendapat untuk menyuarakan aspirasi mereka. Namun, sekali lagi, perusahaan terus beroperasi seolah kebal hukum.

Puncak Kemarahan: Ritual Adat Sasi Dirusak, Warga Murka

Dari rentetan kejadian tersebut, masyarakat mulai resah dengan sikap  perusahan yang tidak mengindahkan keberadaan masyarakat adat dan hak ulayat masyarakat adat negeri Haya. Mayarakat pun kecewa dengan sikap pemerintah daerah yang mengabaikan aspirasi masyarakat dalam upaya menolak dan mempertahankan ruang hidup dan hak ulayat Adat negeri Haya. Puncaknya, pada tanggal 15 februari 2025, Pemerintah Negeri Haya, Saniri Negeri, Pemangku adat, Tokoh Agama, para Pemuda serta seluruh perangkat dan masyarakat melakukan ritual adat Sasi. Sasi sendiri merupakan sistem hukum adat yang hidup untuk melindungi masyarakat adat Negeri Haya.

Ritual adat  pemasangan Sasi berlangsung lancar, Namun naas, ketegangan pun terjadi keesokan harinya, pada 16 februari siang waktu setempat, pihak perusahan melalui salah satu oknum karyawannya melakukan provokasi masyarakat adat negeri Haya dengan merusak palang Sasi Adat dan mengajak duel masyarakat yang melintas di lokasi. Seketika, hal tersebut memicu kemarahan masayarakat.

Masyarakat negeri Haya merasa bahwa tindakan yang dilakukan oleh perusahan sama sekali tidak menghargai dan menghormati adat masyarakat negeri Haya secara khusus dan adat orang maluku pada umumnya. Seharusnya pihak perusahaan dapat menghimbau seluruh karyawannya untuk bersama-sama menghormati ritual adat dan menjaga ketertiban yang ada.

Negeri Haya memiliki kewenangan penuh yang diberikan oleh negara lewat UU Nomor 6 Tahun 2014, pasal 18 yang menegaskan bahwa desa memiliki otoritas untuk mengatur tanah, lingkungan, dan sumber daya alamnya, termasuk dalam hal perizinan pertambangan pasir di wilayahnya.

Masyarakat Bersatu, PT. Waragonda Harus Angkat Kaki

Berdasarkan fakta – fakta yang ditemukan dilapangan telah terjadi kerusakan lingkungan mulai dari abrasi pantai yang mengakibat talud pantai rusak parah, dengan panjang sekitar 20 meter dekat pemukiman warga, sampai pada terjadinya abrasi dibantaran Kali Wai Manawa dan Wai Wina juga berimbas pada erosi terhadap lahan perkebunan warga Negeri haya, tidak hanya itu dampak abrasipun merebak sampai ke Pemakaman Umum Negeri Haya yang berada di tepi pantai Negeri Haya yang mengakibatkan tulang belulang berserakan digulung ombak.


Merujuk pada Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup. Pasal 17 ayat 1 dan 2, menerangkan bahwa “Setiap orang memiliki hak untuk mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat”, Setiap orang memiliki kewajiban untuk menjaga dan melindungi lingkungan hidup”. Ditegaskan lagi dalam Pasal 19 “ Setiap orang yang melakukan kegiatan yang dapat menimbulkan dampak lingkungan wajib melakukan analisis dampak lingkungan (AMDAL), AMDAL harus dilakukan sebelum kegiatan dimulai. 

Serta didukung dalam Pasal 20 “Pemerintah dan pemerintah daerah wajib menetapkan rencana pengelolaan lingkungan hidup yang terintegrasi dan Rencana pengelolaan lingkungan hidup harus mempertimbangkan kepentingan dan aspirasi masyarakat”. Sedangkan dalam Pasal 99 Pidana Perusakan Lingkungan Akibat Kelalaian. Jika perusakan lingkungan terjadi karena kelalaian, maka dikenakan Pidana penjara 1 sampai 3 tahun Denda Rp. 1 miliar hingga Rp. 3 miliar. Kelaian yang di maksud dalam hal ialah Tidak melakukan analisis risiko sebelum beroperasi . Jika tambang pasir beroperasi di daerah yang rawan abrasi atau longsor tanpa kajian dampak lingkungan (AMDAL), sehingga menyebabkan bencana. Jelas bahwa PT. Warogonda telah melanggar aturan.

Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan dan Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor P.32 Tahun 2015 melindungi hak masyarakat adat dalam pengelolaan sumber daya alam. Jika masyarakat menolak karena alasan lingkungan dan budaya, perusahaan wajib mendapatkan persetujuan melalui mekanisme Free, Prior, and Informed Consent (FPIC). Hal ini tidak dilakukan PT. Waragonda.

Negeri Haya adalah negeri adat yang memiliki otoritas penuh untuk mengatur tanah dan sumber daya alamnya. Demonstrasi pun gelar di Kantor DPRD Maluku Tengah, Kantor Bupati, juga Polres Malteng. Rabu(12/03/2025).

Foto: Aksi Demontrasi Gerakan Masyarakat Adat Haya (Gemah)

Aksi demonstrasi bertemakan ” Lositowa Amam Latu Menjerit” yang dipelopori Gerakan Masyarakat Adat Haya (GEMAH) ini menyorot beberapa hal dan menyampaikan tuntutan penolakan diantaranya:

  1. Tolak PT. Waragonda di Negeri Haya
  2. Cabut Izin PT. Waragonda
  3. Lindungi Masyarakat Adat Negeri Haya
  4. Bebeskan Saudara Satria Ardi dan Husein
  5. Copot Kapolsek Tehoru
  6. Tangkat dan Proses Oknum Provokasi Masyarakat Adat Negeri Haya (Tawakal Somalua)

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

Share post:

Subscribe

spot_imgspot_img

Popular

Rekomendasi
Terkait

Utamakan Daya Beli Masyarakat, Pemerintah Jaga Tarif Listrik Tetap Terjangkau Sepanjang 2025

Jakarta,Tajukmaluku.com-Pemerintah melalui Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM)...

DPP Demokrat di Demo, GAM Desak AHY Pecat Samalehu

Jakarta,Tajukmaluku.com-Puluhan pemuda yang tergabung dalam Gerakan Aktivis Untuk Maluku...

Diduga Korupsi, BEM Maluku Lapor Bupati Aru ke Kejaksaan, KPK, Hingga Kemendagri

Ambon,Tajukmaluku.com-Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) Nusantara Koordinator Daerah Maluku melayangkan...

Hartini Bongkar Skandal Suap Sianida Diduga Libatkan Petinggi Polda Maluku

Ambon,Tajukmaluku.com-Salah satu mantan Kapolsek KPYS Ambon diduga terima suap...