back to top
Sabtu, April 19, 2025

Masa Depan Pesisir Maluku: Transformasi Sosial, Ekonomi, dan Budaya di Era Pemerintahan Baru

Published:

Oleh: Yatsrib Akbar Sowakil S.Pi. M.Si

Ambon,Tajukmaluku.com-Provinsi Maluku sebagai wilayah kepulauan dengan luas laut lebih dari 90% total wilayahnya, memiliki karakteristik spesifik seperti adanya laut dalam diantara pulau-pulau yang tersebar di wilayah ini seperti Laut Banda, Laut Seram dan Laut Maluku dan perairan dangkal yang dominan di Laut Arafura menjadikan wilayah ini sebagai salah satu daerah penangkapan potensial berbagai jenis ikan ekonomis penting di Indonesia (Waileruny 2022; Matrutty et al. 2019).

Sesuai Permen KP Nomor Per.01/Men/2009, Perairan Provinsi Maluku berada pada tiga WPP yaitu WPP 714, WPP 715 dan WPP 718 dengan total potensi sumberdaya perikanan 37,23% dari Potensi Perikanan Nasional RI belum termasuk ikan tuna dan cakalang (Kepmen KP No 50 tahun 2017). Total potensi lestari ikan cakalang di perairan Provinsi Maluku diperkirakan sebesar 61.461,26 ton/tahun dan setengahnya yaitu 32.954,98 ton/tahun berada di Laut Banda, wilayah perairan Provinsi Maluku (Siahanenia et al. 2017; Waileruny et al. 2014; Waileruny 2014).

Masyarakat pesisir dikatagorikan sebagai kelompok orang yang mendiami suatu wilayah pesisir dan sumber kehidupan perekonomiannya bergantung pada pemanfaatan sumber daya laut dan pesisir. Menurut Smith, John. (2018) Kemiskinan masyarakat pesisir dikategorikan sebagai kemiskinan struktural, kemiskinan super struktural, dan kemiskinan kultural. Beberapa pakar ekonomi mengatakan bahwa masyarkat pesisir tetap mau untuk tinggal dalam lingkaran kemiskinan karena kehendaknya untuk menjalani hidup mereka memperoleh kepuasan tersendiri dari hasil menangkap ikan dan bertani. sebagian besar masyarakat pesisir Maluku masih hidup dalam garis kemiskinan.

Kemiskinan tersebut berakar pada tingginya aspek ketergantungan terhadap kegiatan usaha melaut dan bertani dan keterampilan bertani atau penangkapan melaut yang masih rendah. selain itu, kemiskinan juga disebabkan oleh sebab-sebab yang kompleks.

Sebagai konsekuensinya, sumberdaya pesisir dan laut semakin banyak di ekploitasi mulai dengan mengunakan teknologi yang paling sederhana sampai yang paling moderen. Fenomena ini memberikan indikasi bahwa semakin tinggi tingkat pengunaan teknologi ekploitasi, maka semakin besar tekanan terhadap keberadaan sumberdaya tersebut. Bahkan tidaklah mengherankan bilamana tingkat teknologi yang di gunakan sangat ekstraktif dan cenderung destruktif, maka hal ini akan menjadi ancaman yang sangat signifikan bagi keberlangsungan sumberdaya pesisir dan laut maluku. Oleh karena itu demi menjaga keberlangsungan sumberdaya tersebut, maka perlu kiranya di rancang dan diimplementasikan rambu-rambu atau batasan-batasan eksploitasi disesuikan dengan keberadaan sumberdaya, zonasi dan karakteristik sumberdaya suatu daerah tersebut sebagai satuan wilayah pembangunannya.

Dalam hal ini, karena implikasi pemamanfaatan sumberdaya di lakukan oleh masyarakat pesisir, maka perlu kiranya diketahui bagaimana sumberdaya karakteristik masyarakat pesisir, sehingga kebijakan, strategi dan sistem pengelolaan sumberdaya dapat mengakomodasi karakter masyarakat pesisir yang memang sangat dinamis dan sangat tergantung pada ketersedian sumberdaya pesisir dan laut maluku di sekitarnya.

Karakteristik Sosial Budaya Masyarakat Pesisir Maluku

Masyarakat pesisir maluku pada umumnya telah menjadi bagian masyarakat yang pluralistik tapi masih tetap memiliki jiwa kebersamaan. Artinya bahwa struktur masyarakat pesisir maluku rata-rata merupakan gabungan karakteristik masyarakat perkotaan dan pedesaan. Karena,struktur masyarakat pesisir sangat prular, sehingga mampu membentuk sistem dan nilai budaya yang merupakan akulturasi budaya dari masing masing komponen yang membentuk struktur masyarakatnya.

Masyarakat lokal pesisir maluku merupakan komunitas yang bermukim dan menggantungkan kehidupannya pada sumber daya pesisir dan laut. Mereka memiliki karakteristik sosial-budaya yang khas, yang terbentuk dari hasil interaksi yang panjang dengan lingkungan pesisir, kehidupan masyarakat pesisir umumnya dicirikan oleh kuatnya hubungan sosial antar anggota komunitas, pengetahuan tradisional yang diwariskan secara turun-temurun tentang laut dan pesisir, serta sistem nilai dan kepercayaan yang terkait erat dengan pemanfaatan dan pelestarian sumber daya alam (Fama, 2016).

Secara ekonomi, masyarakat pesisir maluku memiliki mata pencaharian yang beragam namun sebagian besar terkait dengan pemanfaatan sumber daya laut. Nelayan merupakan profesi yang dominan, dengan berbagai spesialisasi seperti nelayan tangkap, pengumpul kerang, pembudidaya ikan atau rumput laut, dan pengolah hasil laut. Selain itu, berkembang pula sektor pendukung seperti pembuat perahu, penjual es, pedagang ikan, dan penyedia jasa wisata bahari. Keragaman mata pencaharian ini menciptakan jaringan ekonomi yang saling terkait dan mendukung dalam komunitas pesisir (Lolowang et a., 2023).

Dalam aspek sosial-budaya, masyarakat pesisir maluku memiliki sistem pengetahuan lokal dan kearifan tradisional yang sangat kaya, sehingga mereka memahami dengan baik pola musim, arah angin, arus laut, dan tanda-tanda alam yang berkaitan dengan aktivitas melaut. Pengetahuan ini diturunkan dari generasi ke generasi dan sering dikodifikasi dalam bentuk aturan adat atau pranata sosial yang mengatur interaksi masyarakat dengan lingkungan pesisir. Sistem kepercayaan dan ritual yang berkaitan dengan laut juga masih dipraktikkan oleh banyak komunitas pesisir sebagai bagian dari identitas budaya mereka (Ahmadi & Syafutri, 2020).

Masyarakat pesisir juga memiliki kelembagaan lokal yang berperan penting dalam mengatur kehidupan sosial dan pemanfaatan sumber daya., Kewang di Maluku atau konsep sasi di maluku Tengah, pulau seram, kepulauaan kei Tanimbar dan pulau pulau terluar maluku, atau kelompok nelayan tradisional di berbagai daerah, memiliki peran dalam mengatur akses terhadap sumber daya, menyelesaikan konflik, dan menjaga kelestarian lingkungan. Kelembagaan ini seringkali memiliki legitimasi yang kuat di mata masyarakat dan dapat berfungsi efektif dalam pengelolaan sumber daya pesisir.

Tantangan dan Peluang Masyarakat Pesisir

Karakteristik lain yang sangat menyolok di kalangan masyarakat pesisir, khususnya masyarakat nelayan, adalah ketergantungan mereka pada musim. Ketergantungan pada musim ini semakin besar bagi para nelayan kecil. Pada musim penangkapan para nelayan sangat sibuk melaut. Sebaliknya, pada musim peceklik kegiatan melaut menjadi berkurang sehingga banyak nelayan yang terpaksa menganggur. Kondisi ini mempunyai implikasi besar pula terhadap kondisi sosial ekonomi masyarakat pantai secara umum dan kaum nelayan khususnya. Mereka mungkin mampu membeli barang-barang yang mahal seperti kursi-meja, lemari, dan sebagainya. Sebaliknya, pada musim paceklik pendapatan mereka menurun drastis, sehingga kehidupan mereka juga semakin buruk. Di tambah dengan ketergantungan atas pasar dan pemda sangat lemah dalam mengontrol mata rantai pasar, sehingga harga prodak menjadi fulktuatif.

Kondisi di atas turut pula mendorong munculnya pola hubungan tertentu yang sangat umum dijumpai di kalangan nelayan dan juga petani, yakni pola hubungan yang bersifat patron-klien. Karena keadaan ekonomi yang buruk, maka para nelayan kecil, buruh nelayan, petani kecil, dan buruh tambak seringkali terpaksa meminjam uang dan barang-barang kebutuhan hidup sehari-hari dari para juragan atau para pedagang pengumpul (tengkulak/rentenir lokal). Konsekuensinya, para peminjam tersebut menjadi terikat dengan pihak juragan atau pedagang. Keterikatan tersebut antara lain berupa keharusan menjual produknya atau hasil alamnya kepada pedagang atau juragan tersebut.

Pola hubungan yang tidak simetris ini tentu saja sangat mudah berubah menjadi alat dominansi dan Eksploitasi. Sehingga Kebijakan pemerintah baru di maluku harus mengelola sumber daya kawasan serta mengatur tata ruang pesisir dan laut harus memperhatikan dan mengadopsi norma-norma sosial budaya di tingkat lokal (keberadaan pranata lokal) agar tidak terjadi konflik kepentingan yang berkepanjangan. Hal ini dapat memberikan ruang yang feksibel bagi upaya peningkatan kesejahteraan hidup masyarakat nelayan dan masyarakat pesisir secara keseluruhan.

Pemerintahan Baru dan Pikiran Baru

Peraturan dan kebijakan pengelolaan wilayah pesisir di Indonesia diatur dalam berbagai instrumen hukum, dengan Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007 yang telah diperbarui menjadi UU No. 1 Tahun 2014 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil sebagai payung hukum utama. Undang-undang ini mengatur secara komprehensif tentang perencanaan, pemanfaatan, pengelolaan, pengendalian, dan pengawasan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil. Peraturan ini juga memberikan pengakuan terhadap hak-hak masyarakat adat dan lokal dalam pengelolaan wilayah pesisir, serta mengatur mekanisme partisipasi masyarakat dalam setiap tahapan pengelolaan.

Dalam konteks desentralisasi, pemerintah daerah memiliki kewenangan yang cukup besar dalam pengelolaan wilayah pesisir sebagaimana diatur dalam UU No. 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah. Pemerintah provinsi memiliki kewenangan mengelola wilayah laut hingga 12 mil dari garis pantai, sementara kabupaten/kota memiliki kewenangan dalam pengelolaan wilayah pesisir di wilayahnya. Hal ini memungkinkan pemerintah daerah untuk menerbitkan peraturan daerah (Perda) yang mengatur pengelolaan wilayah pesisir sesuai dengan karakteristik dan kebutuhan daerahnya masing-masing, dengan tetap mengacu pada peraturan nasional.

Implementasi peraturan dan kebijakan wilayah pesisir juga didukung oleh berbagai program dan inisiatif seperti Program Pemberdayaan Masyarakat Pesisir (PUMP), Pengembangan Usaha Mina Pedesaan (PUMP), dan Program Sentra Kelautan dan Perikanan Terpadu (SKPT). Program-program ini bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat pesisir sambil tetap menjaga kelestarian lingkungan. Selain itu, pemerintah juga mengembangkan berbagai skema pendanaan dan insentif untuk mendukung implementasi kebijakan pengelolaan wilayah pesisir, termasuk Dana Alokasi Khusus (DAK) bidang kelautan dan perikanan, serta kerjasama dengan lembaga donor internasional, sehingga ini bisa menunjang berkembangan ekonomi Masyarakat maluku.

Maluku secara sumberdaya alam sangat siap tetapi harus di tunjang dengan SDM, apa yang harus di lakukan, pengembangan ekonomi berbasis sumberdaya lokal, pengembangan infrastruktur, dari penambahan armada Pelabuhan, armada trasportasi, jalan, fasilitas Pendidikan dan Kesehatan sehingga meningkatkan taraf pengelolaan sumberdaya alam yang baik sekaligus melestarikan budaya local sehingga pemerintah baru ini harus mengeluarkan kebijakan atau perda yang mengatur dinamika sisoal ekonomi Masyarakat pesisir dengan pendekatan yang lebih baik sehingga system menejemn ekonomi Masyarakat pesisir lebih baik, LIN dan ANP bukan Solusi yang menyeluruh, tetapi penyeramataan ekonomi lokal penyamarataan transparansi dan akuntabilitas, dengan pemutusan matarai kontrol produksi dari mafia perikanan di kembalikan ke pemda, pemda harus punya harga diri untuk mengatur tata kelolah ekonomi masyarakat, Pembangunan yang merata di setiap kabupaten kota di maluku, akses layanan publik harus tersedia, Percepatan pengesahaan UU Kepulauaan sebagai landasan kontinenmtal kejayaan maritim maluku. Ini menjadi landasan keberlangsungan hidup orang maluku, sehingga kepercayaan publik terhadap pemerintah baru ini menjadi baik. MALUKU BAE MALUKU MAJU.

Penulis adalah Anak Muda Bumi Bupolo

Related articles

spot_img

Recent articles

spot_img