Ambon,Tajukmaluku.com-Radek Kelrey tahu betul bahwa stunting tak melulu soal angka-angka statistik. Sebagai Kepala Syahbandar Masohi sekaligus tokoh masyarakat asal Seram Bagian Timur (SBT), ia menyaksikan sendiri bagaimana persoalan gizi buruk terus bertumbuh di kampung-kampung. Karena itu, tanpa menunggu komando pemerintah, dengan tulus ia menyerahkan sebidang lahannya di Desa Walangtenga, Kecamatan Tutuk Tolo, untuk dibangun rumah makan bergizi gratis.
Lahan itu disiapkan demi mendukung program nasional Makan Bergizi Gratis yang tengah digulirkan pemerintah Prabowo-Gibran. “Kalau ini bisa dipakai untuk bantu anak-anak makan lebih sehat, silakan,” katanya dengan nada optimis.
Seram Bagian Timur masih masuk daftar merah dalam peta stunting di Indonesia. Berdasarkan data Dinas Kesehatan Provinsi Maluku, prevalensi stunting di kabupaten ini berada di atas rata-rata provinsi. Angka pastinya naik turun, tapi pola stagnannya menunjukkan satu hal bahwa skema penangananya belum menyentuh titik sentralnya.
Akses pangan bergizi di desa-desa seperti Walangtenga terganjal banyak hal. Infrastruktur jalan buruk. Distribusi bahan pangan tak menentu. Harga kebutuhan pokok di pelosok bisa dua kali lipat dibanding harga di kota.
“Kalau gizi jadi tanggung jawab pribadi warga, ya susah. Bukan mereka tak mau, tapi mereka memang tak mampu,” kata Usman Bugis, Ketua Lembaga Nanaku Maluku lewat rilis yang diterima media tajukmaluku.com. Kamis (17/07/2025).
Makan Bergizi Gratis ditargetkan menyasar anak-anak sekolah. Tapi seperti banyak program lain, eksekusinya bergantung pada kesiapan daerah. Di Seram Bagian Timur sendiri, kesiapan itu belum terlihat nyata. Hingga berita ini ditulis, belum ada kepastian kapan dan di mana rumah makan gratis pertama akan dibangun. Belum ada skema jelas siapa yang akan menjalankan dapurnya, dari mana pasokan bahan baku diambil, dan bagaimana keberlangsungannya dijamin.
Di tengah kekosongan itu, inisiatif diambil Radak Kelrey. Tanpa dana APBN, tanpa SK Bupati, tanpa proyek pengadaan. Hanya sebidang tanah dan seutas ketulusam niat sebagai anak negeri.
Usman Bugis menyebut langkah Radak sebagai bentuk “inisiatif sipil”. Sesuatu yang sudah langka ditemui di tengah budaya tunggu instruksi. “Kebanyakan menunggu proyek. Tapi di sini masyarakat dulu yang bergerak. Itu yang membedakan,” ujarnya.
Program makan gratis bisa jadi jargon elektoral, bisa juga jadi jalan keluar dari krisis gizi yang akut. Di Walangtenga, keputusan seorang pejabat menyerahkan tanah untuk dapur umum mestinya cukup jadi spirit sosial yang telah lama tumbuh dari budaya fakalain yang selama ini melekat di masyarakat SBT.
“Apa yang dilakukan Radak Kelrey adalah contoh kepemimpinan yang tidak menunggu instruksi. Ia bertindak karena keterpanggilan niat dan tanggung jawab moral. Di saat banyak pejabat sibuk menunggu anggaran, Radak justru memulai dari apa yang ia punya. Bagi saya itu sikap negarawan—bekerja dalam diam. Tutup, Usman.*(01-F)