Ambon,Tajukmaluku.com-Tim kuasa hukum mantan Wali Kota Tual, Adam Rahayaan, menyatakan akan menempuh langkah konstitusional dengan mengajukan permohonan abolisi kepada Presiden RI Prabowo Subianto, menyusul putusan kasasi Mahkamah Agung yang memvonis klien mereka tujuh tahun penjara.
Putusan kasasi dibacakan pekan lalu dalam sidang yang dipimpin Ketua Majelis Hakim Agung, Dwiarso Budi Santiarto, didampingi anggota majelis Dr. Agustinus Purnomo Hadi dan Dr. H. Achmad Setyo Pudjoharsoyo. Dalam amar putusan, MA menolak kasasi jaksa dan terdakwa, namun memperbaiki putusan Pengadilan Tinggi Ambon dengan menghapus kewajiban Adam membayar uang pengganti Rp1,8 miliar. Ia hanya dijatuhi pidana penjara tujuh tahun dan denda Rp400 juta subsider tiga bulan kurungan.
“Pertimbangan hakim sudah jelas. Klien kami tidak terbukti menikmati atau memperoleh keuntungan dari kerugian negara yang dituduhkan,” kata kuasa hukum Adam, S. Hamid Fakaubun lewat rilisan resmi yang diterima Tajukmaluku.com, Rabu (13/08/2025).
Hamid menegaskan, dasar permohonan abolisi mengacu pada Pasal 14 ayat (2) UUD 1945. Ia membandingkan kasus ini dengan perkara mantan Menteri Perdagangan, Tom Lembong, yang dinilainya memiliki pola serupa: kebijakan pemerintah yang dikriminalisasi tanpa bukti fisik dokumen maupun keterangan saksi yang mampu merinci kerugian negara atau keuntungan pribadi yang diperoleh terdakwa.
Menurut Hamid, selama proses di Pengadilan Negeri Ambon, jaksa gagal membuktikan unsur korupsi. Barang bukti dan dokumen Badan Pemeriksa Keuangan yang dijadikan dasar dakwaan dinilainya lemah dan disusun “secara membabi buta” tanpa landasan hukum jelas.
Ia menekankan, kebijakan Adam mendistribusikan Cadangan Beras Pemerintah (CBP) dilakukan dalam kerangka diskresi pemerintahan sesuai Pasal 22 ayat (1) UU No. 30/2014 tentang Administrasi Pemerintahan.
“Tindakan ini dilakukan dalam situasi darurat pangan demi memenuhi hak dasar warga atas pangan. Ini perbuatan administratif, bukan tindak pidana korupsi,” ujarnya.
Hamid memaparkan tiga argumen utama:
- Diskresi untuk kepentingan rakyat – dilakukan saat aturan tidak memberikan pilihan jelas, dalam kondisi mendesak.
- Tidak memperkaya diri – tidak ada bukti Adam memperoleh keuntungan pribadi dari kebijakan tersebut.
- Manfaat sosial – kebijakan justru menguntungkan masyarakat luas; bahkan saksi ahli jaksa menyebut tindakan Adam sebagai “tindakan mulia” untuk membantu warga.
Ia juga mengutip Putusan MK No. 25/PUU-XIV/2016 yang menegaskan bahwa kesalahan prosedural tidak otomatis berarti korupsi jika tidak ada niat jahat (mens rea). “Kerugian negara di sini akibat maladministrasi, bukan kejahatan,” katanya.
Hamid menilai, prinsip ultimum remedium mestinya berlaku—pidana penjara menjadi opsi terakhir. Dalam kasus ini, sanksi administratif dinilai cukup. Selain itu, aspek kemanusiaan dan integritas Adam selama memimpin menjadi pertimbangan moral.
Bagi tim kuasa hukum, permohonan abolisi ini bukan sekadar pembelaan personal, tapi upaya menegakkan keadilan substantif, memulihkan kepercayaan publik pada hukum, dan menjamin kesetaraan di hadapan hukum.
“Tindakan Adam Rahayaan dilakukan untuk kemaslahatan rakyat. Kerugian negara yang muncul bukan hasil kejahatan, melainkan niat baik yang tersandung prosedur administratif,” ujar Hamid.*(01-F)