Ambon,Tajukmaluku.com– Lahan yang sejak 1970-an ditetapkan sebagai zona hijau penyangga bandara kini telah berubah status menjadi sertifikat pribadi atas nama mantan Bupati Maluku Tengah, Abdullah Tuasikal. Padahal masyarakat Banda punya memori kolekti panjang. Mereka rela angkat kaki dari kawasan itu demi kepentingan negara, bukan untuk diperdagangkan.
Empat dekade kemudian, pengorbanan itu berubah jadi ironi. Tanah publik yang dulu dikorbankan kini dikuasai elit politik. Warga marah, protes pun pecah. Namun satu suara yang seharusnya lantang justru membisu: Intan Nasri, anggota DPRD Dapil 3 Maluku Tengah dari Fraksi Perindo.
Sebagai anak asli Banda, Intan Nasri semestinya tampil di depan, menyuarakan keresahan warganya. Alih-alih, ia hanya memilih diam.
“Intan Nasri seakan menutup mata. Padahal masyarakat Banda sedang merasa diperlakukan tidak adil, resah, dan kehilangan rasa aman di tanahnya sendiri,” ujar Putri Hastari, Ketua Bidang Agraria dan Kemaritiman HMI Cabang Ambon. Rabu (25/09/2025).
Putri menegaskan, keterwakilan politik seharusnya memberi kepastian keberpihakan di ruang publik.
“Sebagai putri daerah Banda, Intan Nasri punya tanggung jawab moral dan politik. Masalah tanah ini menyangkut martabat masyarakat Banda. Diamnya Intan Nasri sama saja membiarkan luka sejarah semakin dalam,” kata Putri.
Polemik tanah di Banda Naira bermula dari praktik jual beli yang diduga cacat administrasi. Pemerintah Desa Nusantara dituding melepas tanah tanpa dokumen hukum yang sah. Tidak ada surat keterangan tanah, tidak ada bukti perdata yang bisa menjamin legalitas transaksi. Celah inilah yang membuka ruang bagi penguasaan lahan secara sepihak.
Bagi Putri, kegagalan Intan Nasri membaca kegelisahan rakyat Banda menunjukkan rapuhnya fungsi representasi politik di parlemen Maluku Tengah.
“Kalau diam saja, untuk apa ada wakil rakyat dari Banda di parlemen?,” Tanya Magister Ilmu Perikanan dan Kelautan ini.
Di Banda Naira, demonstrasi mahasiswa sempat viral di berbagai media sosial. Mereka menuntut kejelasan soal status tanah dan mendesak adanya transparansi. Tapi suara di parlemen , terutama dari Intan Nasri, masih sunyi.
Sementara itu, masyarakat Banda tetap menunggu. Mereka ingin wakil dari dapil mereka berbicara, bukan hanya diam bersembunyi di balik kenyamanan kursi dewan. Karena bagi mereka, tanah adalah sejarah, identitas, dan masa depan bagi generasi Banda.*(01-F)