back to top

Ambon City Of Depression: Orang-Orang Gila Dalam Pelukan PJ Walikota.

Published:

Oleh: Faisal Marasabessy

Kehadiran orang-orang dengan gangguan jiwa yang semakin banyak di Kota Ambon belakangan ini menciptakan pemandangan sosial yang ironis sekaligus menyayat hati. Mereka berkeliaran tanpa arah, dari jantung kota Ambon hingga pinggiran kota, kehadirian mereka menciptakan citra kota yang tak lagi mampu merawat manusianya.

Selain masuk dalam isu sosial, fenomena ini menjadi sebuah gambaran mendalam tentang kegagalan sistem yang terjadi di bawah kepemimpinan Penjabat (PJ) Wali Kota Ambon. Orang gila, dalam konteks ini, adalah refleksi dari ketidakmampuan birokrasi untuk menjawab kebutuhan dasar masyarakatnya, sekaligus cermin yang menunjukkan keretakan tatanan kota secara fundamental.

Emile Durkheim menggambarkan fenomena seperti ini sebagai gejala anomie, yakni keadaan di mana norma-norma sosial runtuh, menciptakan kekosongan nilai yang membuat individu terasing dari masyarakat. Orang-orang dengan gangguan jiwa yang berkeliaran di Ambon adalah simbol dari kekosongan itu. Mereka adalah korban langsung dari sistem pelayanan kesehatan mental yang rapuh, sementara keberadaan mereka di jalan-jalan adalah tanda nyata bahwa kota ini telah gagal memberikan jaring pengaman sosial yang layak.

Dimensi Kesehatan Mental yang Terabaikan

Menurut laporan WHO, gangguan mental menjadi salah satu tantangan terbesar dalam kesehatan global, dengan lebih dari 300 juta orang di seluruh dunia menderita depresi. Di Indonesia, angka ini terus meningkat, terutama di daerah-daerah yang mengalami tekanan sosial-ekonomi tinggi seperti Ambon. Namun, perhatian terhadap kesehatan mental masih sangat minim. Kondisi ini diperparah oleh lemahnya integrasi lintas sektor antara dinas sosial, kesehatan, dan aparat pemerintah daerah. Akibatnya, mereka yang paling rentan dibiarkan hidup tanpa pendampingan, rehabilitasi, atau bahkan sekadar perlindungan dasar.

Pemerintah Kota Ambon seharusnya belajar dari pendekatan kota-kota maju yang mengintegrasikan layanan kesehatan mental dengan kebijakan sosial. Misalnya, program-program seperti Housing First yang diterapkan di negara-negara Skandinavia berhasil mengurangi tingkat keterlantaran orang dengan gangguan jiwa melalui penyediaan tempat tinggal yang layak sebagai langkah awal rehabilitasi.

Ambon, Dari Harmoni Ke Disonansi

Cara suatu masyarakat memperlakukan masyarakat yang paling lemah adalah cermin dari moralitas kolektifnya. Jika kita memandang orang-orang dengan gangguan jiwa di Ambon, apa yang mereka cerminkan tentang moralitas dan kemanusiaan kita? Lebih jauh lagi, mereka adalah metafora dari kegagalan pemerintahan kota yang seolah-olah beroperasi tanpa visi dan arah yang jelas.

Slogan “Ambon Manise” tampaknya telah kehilangan manisnya. Ketidakhadiran solusi nyata terhadap masalah orang gila mencerminkan disonansi sosial yang semakin parah. Kota yang seharusnya menjadi ruang hidup yang harmonis berubah menjadi ruang yang penuh dengan luka sosial yang menganga.

Sebagai kota yang kaya akan budaya dan memiliki warisan solidaritas yang kuat, Baca; Pela Gandong, Potong Di Kuku Rasa Di Daging. Fenomena ini menunjukkan bahwa solidaritas tersebut perlahan-lahan memudar. Warga yang dulunya saling peduli kini menjadi apatis, sementara pemerintah kota tak mampu menjadi katalisator perubahan.

Dalam The Politics of Humanity, Thomas Pogge menyebutkan bahwa kebijakan yang tidak manusiawi adalah hasil dari pemerintah yang tidak memiliki empati terhadap penderitaan warganya. PJ Wali Kota Ambon harus membaca ini sebagai peringatan keras.

Sebagai penjaga benteng stabilitas sosial, Pj Walikota malah tampak sibuk dengan hal-hal administratif yang tidak menyentuh akar problem masyarakat. Program-program yang bersifat simbolis lebih diutamakan daripada kebijakan substansial yang berdampak langsung pada kehidupan warga, termasuk mereka yang mengalami gangguan jiwa. Apakah ini adalah cerminan dari kota yang kehilangan “akal sehat”-nya?

Apa yang Harus Dilakukan?

Dalam menghadapi persoalan ini, PJ Wali Kota perlu mengambil langkah konkret, tidak hanya untuk menangani orang-orang dengan gangguan jiwa tetapi juga untuk mengembalikan kepercayaan masyarakat terhadap pemerintah kota. Ada tiga hal utama yang harus dilakukan:

  • Revitalisasi Pelayanan Kesehatan Mental

Pemerintah harus memastikan aksesibilitas layanan kesehatan mental melalui peningkatan fasilitas dan tenaga ahli, serta mengintegrasikan layanan ini dengan program kesejahteraan sosial.

  • Peningkatan Kesadaran Publik

Edukasi kepada masyarakat tentang pentingnya merangkul mereka yang rentan dan mempromosikan stigma-free environment adalah langkah penting untuk membangun solidaritas.

  • Kolaborasi Lintas Sektor

Pemerintah kota harus berkolaborasi dengan organisasi masyarakat sipil, gereja, masjid, dan kelompok adat untuk memastikan pendekatan berbasis komunitas yang lebih humanis.

Ambon City Of Depression

Sebagai penutup, sebuah kota yang gagal merawat manusianya adalah kota yang kehilangan jiwanya. Oleh karena itu, tanggung jawab ada di pundak PJ Wali Kota Ambon untuk menunjukkan bahwa ia bukan sekadar pejabat sementara, tetapi pemimpin yang mampu mengembalikan martabat kota dan warganya.

Nelson Mandela, “Keagungan sebuah bangsa diukur dari cara ia memperlakukan warganya yang paling lemah.” Kota Ambon, apakah Anda masih memiliki keagungan itu?

Ketika pemerintah kota gagal menyediakan layanan kesehatan mental yang memadai, gagal memastikan pengawasan sosial yang ketat, dan gagal menyediakan mekanisme perlindungan yang layak, hasilnya adalah meningkatnya jumlah individu yang terpinggirkan (Orang gila). Keberadaan mereka di jalan-jalan kota menjadi pengingat pahit bahwa di balik fasad “Ambon Manise,” ada luka yang terus menganga—luka akibat pengabaian sistemik.

1

  1. * ↩︎

Penulis adalah Wakil Ketua KNPI Maluku

Related articles

spot_img

Recent articles

spot_img