back to top

Ketika Pengambilan Keputusan Mengabaikan Hukum: Pemberhentian Kadis PMD SBT Tidak Memiliki Dasar Hukum yang Kuat

Date:

Tajukmaluku.com-Jika sebuah keputusan politik, apalagi yang menyangkut pemberhentian pejabat publik, hanya bersandar pada tuntutan demonstrasi, maka yang sedang dipertontonkan kepada publik bukanlah kepemimpinan berbasis hukum, melainkan kemunduran institusi. Bila ini dijadikan alasan untuk memberhentikan Kepala Dinas Pemberdayaan Masyarakat dan Desa (PMD) Seram Bagian Timur (SBT) yang definitif, maka patut dipertanyakan kapabilitas tim hukum Bupati, terlebih mereka yang memiliki tugas dan wewenang mengawal jalannya roda pemerintahan sesuai norma hukum, termasuk Inspektorat Daerah. Bukankah mereka mestinya menjadi garda terdepan dalam menjaga marwah administrasi negara?

Dalam perspektif hukum pemerintahan daerah, Kepala Daerah memang memiliki kewenangan yang telah diatur secara eksplisit dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah. Wewenang ini mencakup hak untuk melakukan mutasi, rotasi, dan promosi aparatur sipil negara (ASN), demi menunjang efektivitas penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan daerah. Di dalamnya juga terkandung hak diskresi Kepala Daerah. Namun hak-hak ini tidak bersifat mutlak dan sewenang-wenang. Mereka harus dijalankan sesuai koridor konstitusi, bukan atas dasar tekanan politik, desakan kelompok tertentu, apalagi bisikan dari tim sukses. Demokrasi bukanlah tiket bebas untuk bertindak tanpa rambu.

Polemik yang muncul antara Dinas PMD dan Penjabat Sekda SBT mengenai pelaksanaan kewenangan dan pengambilan keputusan, yang kemudian berujung pada penunjukan Pelaksana Harian (PLH) Kepala Dinas PMD, justru menambah deret kekacauan dalam pengelolaan birokrasi. Penunjukan ini tampak tergesa, tanpa pertimbangan hukum yang matang, dan lebih menyerupai manuver politis ketimbang proses administrasi. Tidak berlebihan jika publik menyebutnya sebagai bentuk konspirasi kecil dalam tubuh birokrasi yang lebih besar.

Idealnya, tata kelola pemerintahan yang demokratis dijalankan di atas fondasi konstitusi dan peraturan perundang-undangan. Keputusan administratif, terutama yang menyangkut pemberhentian pejabat publik, tidak boleh diambil atas dasar proposal politik kelompok tertentu. Bila model seperti ini terus direproduksi, maka pemerintahan daerah akan menjelma menjadi forum informal semacam organisasi kepemudaan atau komunitas sukarela, yang bisa berubah-ubah arah sesuai angin yang bertiup.

Secara normatif, Kepala Dinas definitif memang bisa diberhentikan oleh Bupati dalam kondisi tertentu. Namun pemberhentian ini harus dilandasi oleh alasan hukum yang kuat dan objektif, bukan sekadar spekulasi atau tekanan emosional dari kelompok kepentingan. Beberapa alasan yang bisa dibenarkan secara hukum meliputi:

Pertama, buruknya kinerja. Bila seorang Kepala Dinas gagal menjalankan tugas pokok dan fungsinya sehingga berdampak langsung pada capaian kinerja instansi, maka pemberhentian menjadi langkah yang dapat dipertimbangkan.

Kedua, pelanggaran hukum. Jika Kepala Dinas terbukti melakukan tindakan yang bertentangan dengan hukum, seperti korupsi, penyalahgunaan wewenang, atau pelanggaran kode etik, maka tindakan tegas harus diambil.

Ketiga, perubahan kebijakan struktural. Kadang, adanya reorganisasi atau restrukturisasi internal bisa menuntut perubahan kepemimpinan agar selaras dengan arah kebijakan baru.

Dalam sistem pemerintahan yang sehat, seorang Kepala Dinas memang bertanggung jawab langsung kepada Bupati. Namun tanggung jawab ini tidak boleh dijadikan dasar pembenaran untuk pemberhentian tanpa prosedur. Setiap langkah pemberhentian pejabat harus melewati mekanisme evaluasi kinerja yang objektif, penyelidikan menyeluruh terhadap dugaan pelanggaran, dan akhirnya keputusan yang bisa dipertanggungjawabkan secara hukum dan etika.

Tanpa proses yang transparan dan akuntabel, pemberhentian seperti ini justru membuka ruang spekulasi, ketidakpercayaan publik, dan instabilitas dalam birokrasi daerah. Ini bukan hanya soal jabatan, tetapi soal bagaimana negara dijalankan.

Yang lebih penting lagi, keputusan pemberhentian ini—jika terbukti tidak berdasar—berisiko mencoreng wibawa Kepala Daerah itu sendiri. Publik tentu berharap, keputusan yang diambil adalah hasil dari proses yang cermat, berdasarkan kajian hukum dan tata kelola pemerintahan yang baik. Jika tidak, maka sang Bupati akan terjebak dalam pusaran manuver politik yang justru melemahkan posisi strategisnya sebagai kepala eksekutif daerah.

Sebagai penulis opini ini, saya tak punya kepentingan pribadi terhadap siapa yang menduduki jabatan di rezim pemerintahan ini. Yang saya perjuangkan adalah nilai dan prinsip: bahwa roda pemerintahan harus berjalan di atas rel demokrasi yang substantif, konstitusi yang tegas, Undang-undang yang jelas, dan semangat good governance yang menjamin keadilan administratif.

Demokrasi tanpa hukum adalah anarki yang terselubung. Pemerintahan tanpa prosedur hukum yang benar hanya akan membawa kita mundur ke zaman gelap birokrasi. Maka, sebelum bicara pembangunan atau kesejahteraan, mari pastikan dulu bahwa hukum tetap menjadi panglima dalam setiap keputusan publik.

Wawan Gifari Tanasale, Pemerhati Demokrasi & Timses Favorit

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

Share post:

Subscribe

spot_imgspot_img

Popular

Rekomendasi
Terkait

Gagal Framing, Jais Ely Jadi Simbol Amburadulnya Birokrasi Maluku

Ambon,Tajukmaluku.com-Pernyataan Kepala Dinas Pariwisata Provinsi Maluku, Jais Ely, yang...

PLN UIW MMU Bersama Pemkot Ambon Validasi Data PJU, Dukung Program Meterisasi Nasional

Ambon,TajukMaluku.com-PT PLN (Persero) Unit Induk Wilayah Maluku dan Maluku...

Dewan Komisaris dan Direksi PLN Tinjau Infrastruktur Kelistrikan di Maluku

Ambon,Tajukmaluku.com-PT PLN (Persero) terus memperkuat komitmennya dalam menyediakan listrik...

Pembangunan Rumah Makan Bergizi Gratis, Warga Desa Walantenga Siap Sambut Kedatangan Gubernur Maluku

SBT,Tajukmaluku.com-Suasana antusias menyelimuti Desa Walantenga, Kecamatan Tutuk Tolo, Kabupaten...