back to top

Maulid dan Pesan Damai Dari Tanah Kei

Date:

Oleh: Muhar Syahdi Difinubun

(Direktur Eksekutif Sera Institute)

Tajukmaluku.com-Sebagai salah satu tradisi keagamaan yang terus hidup hingga saat ini, maulid tidak dapat dipahami semata-mata perayaan kelahiran baginda Nabi Muhammad SAW. Ia sekaligus merupakan cermin kesinambungan nilai-nilai (values)—historis, kultural, dan spiritual—yang diwariskan lintas generasi serta menyatukan umat Islam dengan identitas lokal.

Di Kepulauan Kei, perayaan maulid bukan hanya agenda ritual tahunan, tetapi juga wadah penting untuk meneguhkan solidaritas sosial serta memperkuat ikatan antara agama dan adat. Dalam konteks ini, dapat ditelusuri bahwa orang-orang Kei—antara lain kalangan umat Muslim sendiri—yang berpegang teguh pada prinsip “adat ni bavhilun agam” seperti halnya “adat basandi syarak” di ranah Minang, Sumatera Barat, menjadi alasan mengapa kekuatan hidop orang basudara itu terus berlangsung. Prinsip adat dimaksud tersebut yakni mengenai adat yang bersendi atau berdasar pada (nilai-nilai) agama itu sendiri.

Perayaan maulid dengan demikian dapat dibaca sebagai sebuah tradisi yang melampaui ritus atau formalitas keagamaan, ia telah menjadi habitus dari ikhtiar bersama—terutama di antara sesama kaum Muslimin yang berpijak pada spirit kesetaraan dengan menegasi segala bentuk kelas-kelas sosial—demi menjaga “ain ni ain” (rasa saling memiliki antara satu dengan yang lain) atau kohesi sosial di antara mereka.

Secara etimologis, kata maulid berasal dari akar kata Arab و-ل-د (w-l-d) yang berinti pada makna “melahirkan” atau “kelahiran”. Secara leksikal, mawlid pada awalnya menunjuk pada “tempat/waktu kelahiran” atau sekadar “hari kelahiran”. Sementara secara terminologis dalam tradisi Islam istilah ini lazim dipakai untuk menyebut perayaan kelahiran tokoh suci, terutama maulid an-Nabī (kelahiran Nabi Muhammad SAW).

Dalam sudut pandang kesejarahan, praktik memperingati kelahiran tokoh-tokoh suci (termasuk Nabi Muhammad) muncul secara sporadis dalam berbagai komunitas Muslim sejak periode awal kekhalifahan, tetapi peringatan yang bersifat institusional dan berskala publik berkembang kemudian. Beberapa literatur atau studi modern menempatkan akar perayaan maulid yang terorganisir justru dalam konteks Mesir abad pertengahan.

Di Kei khususnya dan pada umumnya di Kepulauan Maluku—termasuk Maluku Utara saat ini, perayaan maulid bukan tidak mungkin dimulai atau ditandai dengan masuknya Islam. Atas dasar itu, maka tradisi mawlid juga tidak bisa tidak diidentikkan dengan kedatangan Habaib (jamak dari Habib) ke Maluku yang umumnya dikenal sebagai para pedagang dari Arab, Gujarat, Persia, dan lain-lain. Beberapa nama dari kalangan Habaib yang cukup dikenal seperti Sayyid Abdurrahman Assyathri (tiba di Kei sekitar 1800-an awal) dan Sayyid Muhammad Al Maghribi atau Muhammad Tuhri bin Ali Az Zawawi (Habib Tripoli atau Ten Bib Tarpol) di Ohoi Lerohoilim, Kei Besar. Atau Al-Habib Muhammad bin Alwi Al-Hamid di Ohoi Dian Pulau serta beberapa klan atau marga-marga dari kalangan jama’ah atau habaib lainnya yang tersebar di seluruh kepulauan Kei saat ini.

Kedatangan para habaib di Kepulauan Kei—yang paling utama adalah dengan misi keilmuan (dari fiqh hingga tassawuf atau ajaran thoriqoh) melalui aktivitas perdagangan—menandai bahwa proses pribumisasi Islam dengan mengakar dari etika dan spirit atau kearifan lokal (local wisdom) ialah sesuatu yang penting dan bernilai untuk dapat terus diwariskan dari generasi ke generasi. Tersebab, misi tersebut tentu membawa dampak yang positif dan konstruktif—terutama dalam hal praksis perdamaian atau rekonsiliasi—terhadap kehidupan masyarakat di Kei.

Mawlid, antara lain merupakan salah satu warisan atau tradisi yang dimaksud tersebut. Beberapa tradisi lain seperti: debus atau badabus umumnya dirayakan di komunitas Muslim Tayando, tarian hadarat atau samra, tahlil (dari ‘turun-tanah’ atau bud-falo, de tel, de fit hingga de ratut), doa selamat atau selamatan (lel wai) ketika bepergian menunaikan ibadah hajji ke Makkah dan Madinah (bib maaf), perayaan Asyura di bulan Muharam hingga ‘mandi Safar’ dan lain-lain.

Catatan sederhana ini berupaya meneroka sekilas ruang lingkup kesejarahan tentang masuknya Islam di Maluku, terutama di Kepulauan Kei dengan habaib sebagai pemarkanya sekaligus membatasi atau memberi spesifikasi pada tradisi mawlid sebagai warisan atau medium penting terhadap terus berlangsungnya relasi-relasi sosial atau pembangunan perdamaian (peace building) di Tanah Kei. Sebuah catatan reflektif di bulan Sang Nabi.

Islam yang Membumi di ‘Negeri Raja-Raja’

Di ‘Negeri Raja-Raja’ atau Jazīrat al-Mulk, sebuah istilah atau julukan terhadap Maluku yang sudah dikenal sejak lama. Ungkapan Jazīrat al-Mulk itu sendiri berasal dari istilah yang digunakan oleh para pedagang Arab dan Gujarat. Ricklefs (1993) menyebutkan bahwa kata Maluku pada dasarnya berasal dari istilah Jazīrat al-Mulūk, yang berarti “negeri raja-raja”.

Klaim Ricklefs tersebut tentu meliputi Kepulauan Kei sebagai satu kesatuan dari Maluku—selain pada umumnya sebagaimana ditegaskan Andaya (2015) papda wilayah kesultanan seperti di Moloku Kie Raha (empat negeri/kesultanan Maluku) atau Maluku Utara saat ini. Proses masuknya Islam di seluruh wilayah kepulauan ini pun, tentu dengan tidak bermaksud menggeneralisir, secara berangsur dan praktis melalui jalur-jalur perdagangan laut—dua di antara yang paling menyejarah, antara lain ‘Jalur Sutera’ (the silk road) dan ‘Jalur Rempah’ (the spice road).

Usman Thalib dalam “Sejarah Masuknya Islam di Maluku” (2012) menegaskan bahwa menentukan “awal masuknya Islam” bukan perkara sederhana. Islam datang dengan damai, melalui para musafir, pedagang, bahkan tokoh ulama yang menggabungkan dakwah dengan jaringan niaga. Di antara kisah populer adalah hadirnya empat syeikh dari Irak pada abad ke-8 Masehi di Ternate dan Tidore, atau sosok Syekh Abubakar Al-Pasya di Banda Neira. Catatan Portugis pun menyebut bahwa ketika mereka tiba sekitar 1512, masyarakat di Ternate, Banda, Hitu, dan Bacan sudah banyak yang beragama Islam.

Dalam tulisan berjudul “Masuknya Islam di Maluku Tenggara dan Peran Masjid”, Fahrudin (2016) menyebutkan bahwa wilayah Kei dan kepulauan sekitarnya menyimpan jejak panjang interaksi Islam dengan adat, budaya, dan politik setempat. Ia juga mengingatkan bahwa islamisasi di Indonesia Timur—khususnya di Kepulauan Kei—bukan sekadar bagian pinggiran, tetapi bagian integral dari narasi besar sejarah Islam di Nusantara, di mana ciri khasnya adalah Islam tidak datang dalam ruang hampa, melainkan melalui proses dialogis antara agama dan kearifan lokal.

Situasi keislman tersebut tentu tidak bisa diceraikan dari keberadaan dan peran sentral habaib. Dalam konteks Kepulauan Kei, kehadiran mereka (baca: habaib) tidak hanya memperkaya spiritualitas lokal, tetapi juga memperkuat kohesi sosial melalui tarekat, majelis-majelis ilmu, dan perayaan keagamaan seperti halnya mawlid. Alkatiri & Hayaze (2022) menyebutkan bahwa habaib merupakan sebuah kelompok sosial-religius keturunan Nabi Muhammad SAW yang memainkan peran penting dalam sejarah keislaman di Nusantara. Dari kolonialisme Belanda hingga era kontemporer, identitas habaib tidak pernah statis, melainkan selalu dinegosiasikan dalam perjumpaan antara tradisi Arab, Islam lokal, dan dinamika sosial-politik Indonesia.

Pada titik ini, perihal masuknya Islam di Maluku, khsusunya di Kepulauan Kei, yang ditandai oleh kedatangan para pedagang dari Arab, Gujarat atau Persia—antara lain Habaib atau para Syaikh yang mengajarkan ilmu serta menyemai nilai-nilai Islam dengan tidak mempertentangkannya dengan nilai-nilai lokal (local values) pada masyarakat setempat—menjadi alasan mengapa Islam secara adaptif dapat bertahan terus membumi hingga saat ini. Hal demikian tentu berkaitan dengan ungkapan atau petitih yang dipegang oleh orang-orang Kei tentang “adat ni bavhilun agam” yang setali-tiga uang “adat basandi syarak” di Minangkabau, Sumatera Barat. Menariknya, prinsip lokalitas tersebut tidak hanya berlaku bagi komunitas Islam di Kei, pada komunitas Kristen (Protestan atau Katolik)—termasuk sebagian Hindu di Tanimbar Kei—pun berlaku demikian.

Senandung Damai dari Rebana Maulid

Keterjumpaan Islam dengan budaya lokal sebagaimana terjadi di Kepulauan Kei selama ini, tak pelak menjadi semacam “pintu masuk” yang efektif bagi upaya pembangunan perdamaian di masyarakat ketika sewaktu-waktu dilanda konflik. Hal ini terutama sekali berakar dari diktum tentang Islam sebagai seperangkat nilai praksis yang raḥmatan li-l-‘ālamīn, rahmat bagi seluruh penghuni alam, di mana—dalam pandangan atau ajaran tarekat tertentu—nilai-nilai tersebut bermuara pada personifikasi baginda Nabi Muhammad SAW.

Prasetyo (2023) dalam sebuah tulisan artikel dengan judul “Islam dan Transformasi Budaya Lokal di Indonesia” menegaskan bahwa Islam di Indonesia tidak hanya hadir sebagai sistem kepercayaan teologis, melainkan juga sebagai kekuatan transformatif yang mengubah wajah kehidupan masyarakat. Seni, arsitektur, bahasa, adat, hingga kuliner, semuanya disentuh oleh nilai-nilai Islam.

Sebagai sebuah seni, tradisi perayaan mawlid pada komunitas Muslim di Kei tampak tak ada perbedaannya secara ritual dibandingkan dengan komunitas Muslim di luar Kei seperti masyarakat Bugis dan Buton di Sulawesi, masyarakat Madura, Banten, Betawi dan Sunda di Jawa atau Minangkabau di Sumatera bahkan negara lain di luar Indonesia. Namun, secara sosio-historis-kultural, perayaan mawlid tentu menjadi momentum yang belum tentu sama di masing-masing tempat.

Pasalnya, barangkali seperti Natal dan Tahun Baru, perayaan mawlid di Kei tak jarang dimaknai sebagai momentum perjumpaan sosial di antara lapisan masyarakat. Perjumpaan sosial dimaksud tersebut, misalnya, tentu tidak hanya di antara komunitas Muslim dengan non-Muslim, tapi terutama di antara sesama komunitas Muslim Kei itu sendiri di tengah realitas bangunan masyarakatnya yang cenderung hierarkis.

Dalam konteks budaya atau kearifan lokal masyarakat Kepulauan Kei, bentuk perjumpaan sosial tersebut diracik dengan filosofi “ain ni ain”. Model atau bentuk perjumpaan dimaksud tidak hanya di antara kelompok yan ur (diaspora) dengan mang ohoi (penjaga petuanan/ulayat) seperti halnya kaum Muhajirīn dengan Anṣār dalam sirah Nabawiyah, tetapi juga di antara kalangan kubni (pemerintah/pengurus negara) dengan bal ruyat (kelompok masyarakat), ten-yanat (tua-muda), yaa-war (adik-kakak), vat-bran (perempuan-lelaki), dan seterusnya.

Bentuk-bentuk perjumpaan seperti itu antara lain merupakan ‘jalan panjang’ bagi terwujudnya konsolidasi perdamaian secara kontinyu. Sehingga suasana perayaan mawlid di Kepulauan Kei pada hakikatnya adalah cerminan dari perilaku atau karakter hidup baginda Nabi Muhammad SAW sebagai sebaik-baiknya suri teladan, poros pemersatu umat, suku bangsa serta bahasa yang berbeda-beda—titik temu dari apa yang disebut sebagai raḥmatan li-l-‘ālamīn.

Suasana perayaan mawlid tersebut kerap disuguhi dengan nyanyian qasidah atau pembacaan ratib dan barzanji, tarian-tarian hadarat atau samra yang menambah syahdu. Nomay & Warwefubun (2021) dalam hal ini menyajikan bahwa tarian Hadarat, misalnya, merupakan ritual khas yang dilaksanakan masyarakat atau komunitas Muslim di Kepulauan Kei—Kota Tual dan Kabupaten Maluku Tenggara—dalam perayaan hari-hari besar keagamaan seperti Idulfitri, Iduladha, pernikahan, khitanan, mawlid dan berbagai aktivitas keagamaan lainnya. Dalam tradisi hadarat, masyarakat melakukan silaturahmi keliling kampung sambil menari, diiringi lantunan shalawat kepada Nabi Muhammad SAW dengan musik rebana.

Dari riak suara orang-orang ber-shalawat diiringi tetabuhan rebana hadarat yang mendentum dalam perayaan mawlid itu, refleksi dan konsolidasi damai terus mengiang dalam ingatan dan imajinasi kolektif orang-orang Kei tentang hidup bersama (living together) dalam bingkai “ain ni ain”. Meskipun tidak dapat dimungkiri juga—konteks ini sekaligus sebagai semacam otokritik kebudayaan—bahwa lantaran adanya turbulensi antar kelompok masyarakat di Ohoi-Nuhu (kampung), umumnya diakibatkan oleh persoalan-persoalan temporal seperti politik praktis limatahunan, konsolidasi perdamaian tersebut menjadi mandek. Sesuatu yang lazim sekaligus terus menjadi ‘pekerjaan rumah’ bersama.

Epilog

Akhirnya, pesan damai dari tanah Kei melalu tradisi perayaan mawlid boleh jadi menemukan relevansinya ketika pengakuan bersama tentang “adat ni bavhilun agam” itu dapat menjadi pelindung dalam realitas kehidupan majemuk seperti pada masyarakat Kei itu sendiri. Bukan sekadar simbol, momentum seremonial atau tereduksi menjadi gema tahunan belaka. Tabe hormat!*

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

Share post:

Subscribe

spot_imgspot_img

Popular

Rekomendasi
Terkait

Ruko Digerebek, Hartini Bongkar Kelakuan Oknum Polisi Dalam Bisnis Sianida

Ambon,Tajukmaluku.com-Penggerebekan ruko di kawasan Mardika Ambon yang diduga menyimpan...

PLN UP3 Sofifi dengan Pemda Malut Gelar World Cleanup Day 2025

Sofifi,Tajukmaluku.com-Dalam rangka memperingati World Cleanup Day 2025, PLN Unit...

DPRD Maluku Desak BPN Klarifikasi Lahan Bandara Banda

Ambon,Tajukmaluku.com-DPRD Provinsi Maluku meminta Badan Pertanahan Nasional (BPN) segera...

Tanah Banda di Jual, Intan Nasri Memilih Diam

Ambon,Tajukmaluku.com- Lahan yang sejak 1970-an ditetapkan sebagai zona hijau...