back to top

Misteri Kematian Firdaus di Gunung Binaya: Tubuh Retak, Fakta Tak Lengkap

Date:

Oleh: Ishak R. Boufakar

SUDAH lebih dari tiga minggu jasad Firdaus Ahmad Fauzi diterbangkan ke kampung halamannya di Bogor. Ia adalah pendaki muda berusia 27 tahun yang dilaporkan hilang pada 26 April 2025 di kawasan Gunung Binaya, Pulau Seram, Maluku Tengah—salah satu dari Seven Summit Indonesia, sekaligus kawasan konservasi.

Firdaus ditemukan 21 hari kemudian, di Sungai Yahe dalam kondisi tak bernyawa. Tapi ada yang mengganjal (karena alasan etis, keadaan jasad, Beta tidak menulis secara detil di sini. Meskipun data yang dibebrekan Dokter forensik RSU Masohi, dr. Arkipus Pamuttu bisa dibaca bebas di SentralPolitik.com, 19 Mei 2025). Tetapi satu hal yang pasti, setelah hasil visum dan dokumen visum RSUD Masohi diperoleh publik, kecurigaan itu bukan hanya sah, tetapi juga masuk akal.

Balai Taman Nasional Manusela: Tidak Mau Tahu

Fakta-fakta medis itu mestinya membuka jalan bagi investigasi menyeluruh. Tetapi yang terjadi justru sebaliknya. Identifikasi jasad Firdaus dilakukan hanya lewat jaket parasut dan sepatu. Tidak ada uji DNA. Tidak ada pencocokan dental record. Autopsi menyeluruh tidak dilakukan. Pihak forensik RSU Masohi sendiri dalam keterangannya menyebut “tidak dapat menentukan penyebab pasti kematian.” Tetapi yang pasti “memang aneh….” (selebihnya dibaca di SentralPolitik.com, 19 Mei 2025).

Lebih lanjut, dokter memperkirakan bahwa Firdaus sudah meninggal 14 hari sebelum jasadnya ditemukan.

Lalu mengapa semua ini dibiarkan berlalu begitu saja?

Pasal 133 dan 134 KUHAP mengharuskan penyidikan forensik untuk setiap kematian tidak wajar. Prinsip “Right to the Truth” dalam protokol HAM internasional juga menegaskan hak keluarga korban mengetahui penyebab kematian. Balai Taman Nasional Manusela, sebagai perpanjangan tangan negara di kawasan konservasi, memiliki kewajiban moral dan hukum untuk mengungkap fakta tersebut secara transparan dan tuntas.

Namun dalam kasus Firdaus Ahmad Fauzi, Balai Manusela mengabaikan kewajiban ini. Tidak ada penyidikan forensik serius, uji DNA, atau autopsi menyeluruh. Yang terjadi hanyalah pemulangan jenazah tanpa penjelasan memadai dan keheningan mencurigakan dari pihak yang mestinya bertanggung jawab.

Sikap bungkam Balai Manusela bukan sekadar kelalaian, melainkan pembiaran yang mengingkari hak dasar korban dan keluarganya.

Sungai Yahe dan Teka-teki Jasad Firdaus

Lokasi penemuan jasad di Sungai Yahe menambah kerumitan kasus ini. Sungai tersebut bukanlah jalur utama pendakian. Bahkan, tim SAR sudah sempat menyisir area ini dua minggu sebelumnya tanpa menemukan jejak apa pun. Anehnya, jasad Firdaus ditemukan di tempat tersebut pada Sabtu, 17 Mei 2025—bertepatan dengan hari ulang tahunnya yang ke-27—oleh tim Relawan Pecinta Alam Maluku, bukan oleh aparat resmi.

Setelah ditemukan, jenazah dievakuasi oleh tim relawan menuju Negeri Piliana pada pukul 00.10 WIT. Selanjutnya, jenazah dibawa ke RSU Masohi dan diperiksa oleh tim forensik pada Senin, 19 Mei 2025, pukul 04.30 WIT.

Tidak ada dokumentasi resmi dari lokasi penemuan maupun pengamanan tempat kejadian perkara (TKP). Padahal medan sangat ekstrem, dengan arus sungai yang deras, lembah yang dalam, serta curah hujan tinggi. Bahkan untuk berdiri pun sulit, apalagi berjalan. Pertanyaannya pun muncul: bagaimana jasad Firdaus bisa berada di sana? Apakah ia terjatuh? Dipindahkan? Atau ada kejadian lain yang tak tercatat?

Kawasan Konservasi, Tapi Tak Terlindungi

Gunung Binaya berada di dalam kawasan Taman Nasional Manusela—salah satu kawasan konservasi paling ketat di Indonesia. Dalam aturan resminya, setiap pendaki wajib mengurus Surat Izin Masuk Kawasan Konservasi (SIMAKSI), menggunakan jasa pemandu lokal, dan mengikuti protokol keselamatan yang ditetapkan. Kawasan ini bukan ruang terbuka bebas. Ia adalah zona dengan perlindungan hukum ekologis dan pengawasan administratif yang seharusnya ketat.

Namun kasus Firdaus Ahmad Fauzi justru menunjukkan hal sebaliknya. Seorang pendaki resmi bisa hilang selama 21 hari tanpa tanggap darurat yang sigap, tanpa tim penyelamat profesional yang memadai, dan tanpa sistem komunikasi yang layak. Ketika akhirnya jasadnya ditemukan dalam kondisi mengenaskan di Lembah Terjun Aimoto, yang terjadi bukanlah proses forensik menyeluruh, tetapi penutupan kasus secara tergesa.

Tak ada investigasi pascakejadian. Tak ada audit prosedur keselamatan. Tak ada pertanggungjawaban dari otoritas taman nasional.

Jika seseorang bisa hilang di kawasan konservasi selama tiga minggu, ditemukan dalam keadaan tubuh tak wajar tanpa penyelidikan medis yang memadai, dan negara tidak merasa perlu menjelaskan apa pun kepada publik—maka ini bukan sekadar kelalaian. Ini adalah bentuk pembiaran.

Kawasan konservasi menjadi label kosong jika tidak disertai perlindungan nyata terhadap manusia maupun ekosistemnya. Alih-alih menjadi ruang aman dan terlindungi, Binaya justru tampak seperti zona tanpa kehadiran negara—sunyi dari pengawasan, dan hening dari tanggung jawab.

Tuntutan Etis dan Protokol Kemanusiaan


Kasus Firdaus seharusnya menjadi titik balik. Balai Taman Nasional Manusela tidak bisa lagi bersembunyi di balik tembok birokrasi atau jargon konservasi. Harus ada kesadaran bahwa keselamatan manusia di kawasan lindung bukan sekadar urusan administratif, melainkan mandat moral dan kemanusiaan.

Sudah waktunya Indonesia memiliki protokol terpadu untuk menangani insiden di kawasan konservasi—protokol yang mengintegrasikan Basarnas, BKSDA, kepolisian, tenaga medis, dan otoritas lokal dalam satu sistem tanggap darurat yang jelas dan efektif. Setiap kematian di hutan lindung mesti ditangani dengan standar forensik modern: autopsi menyeluruh, uji DNA, dokumentasi akurat lokasi penemuan, serta pelaporan terbuka kepada publik dan keluarga korban. Prosedur ini bukan hanya persoalan teknis, melainkan bentuk penghormatan terhadap hak hidup dan martabat manusia.

Lebih dari itu, diperlukan audit independen—baik oleh Komnas HAM, LPSK, maupun lembaga masyarakat sipil—untuk menelusuri apakah dalam kasus Firdaus telah terjadi pengabaian sistematis, penyimpangan prosedur, atau bahkan upaya penutupan informasi secara sengaja. Sebab jika kebenaran bisa dikubur begitu saja di balik lebatnya hutan-hutan lindung, maka tak satu pun dari kita yang benar-benar aman. Konservasi tanpa keadilan adalah kemunafikan.

Kematian Firdaus adalah panggilan darurat: untuk membongkar kelumpuhan struktural, membangun sistem tanggap yang manusiawi, dan memastikan bahwa tak ada lagi yang hilang dalam senyap—tanpa pencarian yang sungguh-sungguh, tanpa kejelasan, dan tanpa keadilan.

**

Firdaus Ahmad Fauzi datang ke Binaya membawa impian dan masa depan. Yang kembali dengan serangkaian pertanyaan yang dibiarkan menggantung.

Pemerintah daerah hadir. Relawan dan masyarakat adat berjibaku. Tapi Balai Taman Nasional Manusela—lembaga negara yang paling bertanggung jawab atas kawasan ini—justru absen total. Tak ada pengawasan, tak ada penyelidikan, tak ada transparansi.

Ini bukan kelalaian teknis, tapi pengingkaran etis. Karena bila institusi yang diberi mandat perlindungan justru diam saat nyawa melayang di wilayahnya, maka yang perlu dievaluasi bukan hanya prosedurnya, tapi keberadaannya.

Kita menolak tutup mata. Kita menuntut akuntabilitas. Sebab diam adalah bentuk kekerasan lain.

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

Share post:

Subscribe

spot_imgspot_img

Popular

Rekomendasi
Terkait

Gagal Framing, Jais Ely Jadi Simbol Amburadulnya Birokrasi Maluku

Ambon,Tajukmaluku.com-Pernyataan Kepala Dinas Pariwisata Provinsi Maluku, Jais Ely, yang...

PLN UIW MMU Bersama Pemkot Ambon Validasi Data PJU, Dukung Program Meterisasi Nasional

Ambon,TajukMaluku.com-PT PLN (Persero) Unit Induk Wilayah Maluku dan Maluku...

Dewan Komisaris dan Direksi PLN Tinjau Infrastruktur Kelistrikan di Maluku

Ambon,Tajukmaluku.com-PT PLN (Persero) terus memperkuat komitmennya dalam menyediakan listrik...

Pembangunan Rumah Makan Bergizi Gratis, Warga Desa Walantenga Siap Sambut Kedatangan Gubernur Maluku

SBT,Tajukmaluku.com-Suasana antusias menyelimuti Desa Walantenga, Kecamatan Tutuk Tolo, Kabupaten...