Ambon,Tajukmaluku.com-Ketua DPD Ikatan Pedagang Pasar Indonesia (IKAPPI) Kota Ambon, Azhar Ohorella menyebut pemutusan kontrak kerja jasa parkir di Pasar Mardika oleh Disperindag atas arahan Wakil Gubernur Maluku, Abdullah Vanath.
Menurutnya, instruksi tersebut bukan saja mencederai etika pemerintahan yang sehat, tetapi juga menimbulkan aroma kuat intrik politik dan juga yang berpotensi merusak kepercayaan publik terhadap pemerintah daerah.
“Keputusan pemutusan kontrak kerja jasa parkir di Pasar Mardika Ambon yang dilakukan atas arahan Wakil Gubernur Maluku bukan saja mencederai etika pemerintahan yang sehat, tetapi juga menimbulkan aroma kuat intrik politik yang berpotensi merusak kepercayaan publik terhadap pemerintah daerah,” kata Azhar kepada Tajukmaluku.com, Selasa (1/7/2025).
Dijelaskan, dalam sebuah negara demokrasi, setiap kebijakan publik yang dikeluarkan oleh pejabat pemerintahan harus berlandaskan pada asas transparansi, akuntabilitas, dan kepentingan umum.
Namun, sayangnya, prinsip-prinsip tersebut tampaknya telah diabaikan dalam keputusan kontroversial yang diambil oleh Kepala Disperindag Yahya Kota baru-baru ini atas arahan Wagub.
“Pemutusan kontrak ini dilakukan secara sepihak dan tanpa mekanisme evaluasi terbuka yang dapat dipertanggungjawabkan. Padahal, perusahaan jasa parkir yang mengelola area tersebut, yaitu CV Rumbia Perkasa, telah ditetapkan sebagai pengelola melalui perjanjian kerjasama resmi berdasarkan prosedur yang sah dan terbuka,” ucapnya.
Lanjutnya, CV Rumbia Perkasa selaku pengelola parkir di kawasan pasar mardika tersebut bekerja berdasarkan surat perjanjian kerja sama dengan Disperindag Provinsi Maluku, kewajiba selalu dijalankan sebagai bentuk kontribusi terhadap Pendapatan Asli Daerah (PAD).
“Lantas, apa alasan di balik pemutusan kontrak secara mendadak ini? Mengapa kontrak yang sah dan masih berjalan itu justru dihentikan tanpa evaluasi kinerja atau dialog resmi? Jika memang ada permasalahan teknis, bukankah seharusnya diselesaikan sesuai klausul dalam kontrak? Ataukah ini adalah bentuk intervensi politik berkedok arahan pimpinan?” ucap Ohorella.
“Langkah yang diambil oleh Kadis Disperindag, Yahya Kota yang menyatakan hanya melaksanakan arahan Wakil Gubernur Maluku, adalah tindakan yang mencerminkan lemahnya kemandirian birokrasi kita. Kepala dinas adalah pejabat profesional. Ia seharusnya memastikan bahwa kebijakan yang diambil didasarkan pada data, prosedur, dan akuntabilitas publik, bukan pada kehendak atau manuver politis semata,” imbuhnya.
Lebih mengkhawatirkan lagi lanjut Azhar, berdasarkan informasi yang beredar di kalangan internal dan para pelaku pasar, pihak swasta lain yang menggantikan CV Rumbia Perkasa itu adalah orang dekat wakil gubernur Abdullah Vanath.
“Pasar Mardika merupakan pusat denyut ekonomi terbesar di Kota Ambon, menampung lebih dari 3.200 pedagang aktif dan dikunjungi ribuan masyarakat setiap hari. Stabilitas dan keteraturan pasar sangat krusial. Ketika sistem parkir yang selama ini berjalan lancar tiba-tiba diganti dengan cara yang tidak prosedural, maka yang paling terdampak adalah pedagang kecil dan pengunjung yang akan menghadapi kekacauan, pungutan liar, dan potensi konflik di lapangan,” ujarnya.
Kata Azhar, pemutusan kontrak CV Rumbia Perkasa bukan hanya soal administrasi. Ini adalah cermin dari bagaimana kekuasaan bisa digunakan secara sepihak untuk menggusur pihak yang dianggap tidak punya kedekatan dengan kekuasaan. Politisasi ruang publik seperti ini disebut sebagai racun dalam tata kelola pemerintahan yang demokratis.
“Kami dari DPD IKAPPI Kota Ambon mengecam keras tindakan sepihak ini. Kami menilai bahwa keputusan tersebut merupakan preseden buruk dan berpotensi menjadi pintu masuk bagi manipulasi lebih besar terhadap tata kelola pasar. Jika pengelolaan jasa parkir saja bisa diatur atas dasar kepentingan politik, bagaimana nasib program-program lain yang menyangkut nasib pedagang kecil?” tutur Azhar.
IKAPPI juga mendesak Gubernur Maluku, Hendrik Lewerissa untuk turun tangan melakukan evaluasi atas tindakan Kadis Disperindag Yahya Kota dan mengkaji ulang intervensi Wakil Gubernur yang telah melampaui batas kewenangan teknisnya. Gubernur harus memastikan bahwa setiap kebijakan publik didasarkan pada prinsip profesionalitas, bukan pada keinginan untuk menyenangkan kelompok tertentu.
“Kami juga meminta DPRD Provinsi Maluku, khususnya Komisi II, untuk segera memanggil Kadis Disperindag, Yahya Kota guna menjelaskan secara terbuka alasan di balik pemutusan kontrak ini. Rakyat Maluku berhak tahu apakah kontrak itu diputus karena alasan obyektif atau karena tekanan politik yang tidak bertanggung jawab,” pintanya.
Selain itu, IKAPPI menuntut agar seluruh proses pengelolaan jasa di lingkungan pasar mardika ambon baik parkir, keamanan, maupun pengelolaan kios dilakukan melalui mekanisme lelang terbuka, transparan, dan dapat diawasi publik. Jika tidak, maka pasar rakyat akan terus menjadi ladang rebutan kekuasaan oleh elit-elit politik lokal yang hanya berpikir jangka pendek.
“Pasar Mardika bukan milik pejabat. Pasar ini milik rakyat. Dan rakyat berhak atas keteraturan, keadilan, dan keberpihakan dari negara bukan permainan politik di balik meja. Kami akan terus mengawal persoalan ini. Kami tidak akan diam terhadap bentuk-bentuk penyalahgunaan kewenangan yang mengorbankan kepentingan rakyat kecil. Jika negara terus diam, maka rakyat akan bersuara lebih keras. Saatnya kita bersuara lantang. Saatnya kita lawan politisasi pasar!” tandas Ohorella.* (03-M).