Ambon,Tajukmaluku.com-Pernyataan Calon Wakil Gubernur Maluku, Abdullah Vanath, tentang “Pemimpin Islam Tartau Malu” menuai kritik dari Ali Alkatiri, Wakil Sekretaris Jenderal PB SEMMI, terhadap pernyataan Vanath ditanggapi oleh Kabid PTKP HMI Cabang Ambon, Sahrul Soulissa, dalam rilisan berita di salah satu media online, ia (Sahrul) menyebutkan bahwa kritikan Ali Alkatiri tersebut dianggap menggeneralisir situasi dan tidak memahami konteks dari ucapan Vanath.
Menanggapi tudingan Sahrul, Alkatiri mempertanyakan, “Apakah kebebasan berbicara calon pemimpin bisa begitu saja dimaafkan dengan alasan konteks politik dan moralitas publik?” Ali berpendapat bahwa dalam situasi politik yang kompleks seperti ini, justru sikap tegas perlu ditegakkan demi memastikan pemimpin tidak sembarang membuat pernyataan yang berpotensi merusak solidaritas antarumat beragama di Maluku.
Menurut Alkatiri, kritiknya terhadap Vanath bukan sekadar menanggapi kalimat justru ia melihat pada konteks lebih luas di mana pernyataan seorang pemimpin harus mencerminkan persatuan, keadilan, dan tidak merendahkan satu kelompok dengan pernyataan generalisir (Baca; “Pemimpin Islam Tartau Diri).
Alkatiri memaparkan, bila setiap ucapan politisi dimaknai secara bebas tanpa penalaran kritis, masyarakat akan terus-menerus dibawa pada ilusi dan tidak mampu menilai objektivitas calon pemimpin yang diusung. Pernyataan Vanath terkait “Pemimpin Islam Tartau Malu” memiliki konsekuensi yang serius terhadap pandangan publik dan tidak dapat dinormalisasi sebagai ujaran yang bebas dari kritik.
Alkatiri menegaskan bahwa setiap pernyataan politik yang disampaikan calon pemimpin, apalagi menyentil agama, harus melalui pertimbangan matang. Menurutnya, Vanath justru berbicara dalam konteks pemimpin Islam yang lebih luas, sebab tak ada batasan dan spesifikasi wilayah tertentu, Vanath seolah mengabaikan tanggung jawabnya sebagai calon pemimpin untuk tidak mengeluarkan pernyataan yang dapat memicu keresahan publik, terkhusus umat muslim Maluku.
Vanath yang menggaungkan perlunya pemimpin bermoral itu justru tercoreng oleh tindakan di lingkaran terdekatnya. Baru-baru ini, dalam sebuah video yang beredar saat kampanye, istrinya melontarkan tudingan yang tak pantas, dengan menyebut suku Bugis, Manado, Buton, dan Jawa sebagai “pekerja seks komersial” di Maluku.
Tindakan tersebut tidak hanya menyinggung martabat suku-suku besar yang memiliki peran bersejarah di Maluku, tetapi juga mencerminkan kemunafikan yang terang-terangan. Bagaimana mungkin seorang calon pemimpin yang menekankan moralitas dan tanggung jawab dalam politik membiarkan narasi negatif yang mengandung unsur diskriminatif dan penghinaan kepada etnis tertentu?
Sebagai seorang yang berlatar belakang HMI, Alkatiri pun menyayangkan respons Sahrul Solissa yang cenderung “melindungi” ucapan Vanath tanpa berpikir yang konstruktif, menurutnya, Sahrul hanya asal berpikir.
Alkatiri menegaskan bahwa kritiknya adalah bentuk edukasi politik kepada publik. Pernyataan yang tidak mengindahkan prinsip keadilan bisa berakibat buruk dalam jangka panjang. “Kritik saya adalah sikap untuk mendorong kedewasaan dalam politik, bukan sebaliknya. Pernyataan Vanath harus dikritisi sebagai bagian dari proses pilkada yang sehat dan transparan,” ujarnya.
Sebagai aktivis SEMMI, Alkatiri menyerukan agar publik tetap kritis dalam menyikapi setiap narasi yang berkembang, terlebih dalam kontestasi politik yang rentan terhadap sentimen primordial. Menurutnya, membiarkan pernyataan Vanath tanpa kritik, sama saja memberi legitimasi pada calon pemimpin untuk “asal bicara.” Apa yang dilakukan Vanath justru berdampak pada penurunan kualitas demokrasi dan merendahkan moralitas publik.
Setiap politisi yang berlaga di panggung demokrasi, terutama di Maluku, perlu mempertimbangkan dampak ucapannya terhadap keutuhan masyarakat apalagi dari seorang yang telah berhaji (Baca;Abdullah Vanath). Alkatiri mengingatkan bahwa tanpa kritik yang jelas dan tegas, iklim demokrasi di Maluku akan terbawa pada arah yang tidak kondusif. Tutup.*Redaksi