back to top

Lakban: Kuasa atas Ruang di Pasar Mardika

Date:

Oleh : Ardiman Kelihu

“Katong mau maso tapi maso kamana. Seng ada tampa di dalam lai”. [kami mau masuk ke dalam, ke Gedung baru pasar Mardika, tapi masuk ke lapak yang mana. Tidak ada tempat lagi di dalam”. Kira-kira begitu ungkapan para pedagang di Pasar Mardika yang disampaikan ulang oleh seorang informan ketika saya berbincang soal penataan pasar terbesar di Kota Ambon itu. Ucapan ini menggambarkan ketidakpastian nasib ribuan pedagang setelah relokasi ke gedung baru yang dibangun.

Pada Oktober 2024, Kepala Dinas Perindustrian dan Perdagangan Provinsi Maluku, Yahya Kotta, mengakui bahwa ada sekitar 2.000 pedagang belum mendapatkan lapak di gedung baru Pasar Mardika (RRI, 2024). Mereka adalah pedagang pakaian dan elektronik yang rencananya akan ditempatkan di lantai tiga dan empat. Sebelumnya, pada Mei 2024, para Pedagang Kaki Lima (PKL) menggelar demonstrasi menentang penggusuran paksa oleh pemerintah provinsi. Lapak-lapak yang menempel di sisi jalan dibongkar, dan pedagang diminta pindah ke gedung baru. Namun, pada April 2025, pemerintah mengklaim bahwa sebanyak 1.700 pedagang telah menempati gedung baru tersebut. Klaim ini berlawanan dengan yang disampaikan pedagang bahwa gedung baru itu justru sepi dan hanya diisi tak lebih dari 100 pedagang.

Potongan-potongan cerita di atas terjadi di sembarang waktu, namun terkoneksi satu sama lain. Cerita-cerita itu menyiratkan satu hal “pasar mardika bukan hanya “tempat” ia adalah “ruang” yang diperebutkan”. Virgil Henry Storr (2008) menulis satu artikel menarik berjudul “The market as a social space: On the meaningful extraeconomic conversations that can occur in markets”. Menurutnya pasar tidak sekadar “tempat” (place), melainkan “ruang” (space) yang didalamnya terjadi sejumlah interaksi dan relasi sosial komersil maupun non-komersil. Urusan-urusan komersil dan non-komersil inilah yang menjadikan pasar bisa eksis dari waktu ke waktu.

Pasar mardika juga demikian, dibentuk oleh tarik ulur kekuasaan. Kondisi terakhir, pasar mardika telah ditata ulang, dan para pedagang direlokasi kesana untuk menempati lapak-lapak kecil berukuran 90 sentimeter. Lapak ini dibatasi lakban untuk menandai batas menaruh antar pedagang dalam menaruh barang.

Lakban

Tampak lapak pedagang di gedung baru Pasar Mardika Ambon. Satu lapak itu dipisah dengan lakban untuk dipakai dua pedagang berjualan. Sumber: Tajukmaluku.com

Pada Mei 2025, para pedagang mulai menempati gedung baru Pasar Mardika. Namun, alih-alih menempati lapak seluas 180 sentimeter sebagaimana dijanjikan pemerintah, mereka hanya diberi separuhnya: 90 sentimeter. Lapak itu dibagi dua dengan Batasan lakban yang dibentangkan melintang. Jika diukur, luasnya hanya lima jengkal tangan. Sekilas, ini mungkin tampak sebagai urusan teknis belaka. Namun, penandaan dengan lakban di atas lantai pasar sesungguhnya berkaitan erat dengan kuasa atas ruang. Lakban menjadi penanda penting dalam tata ruang Pasar Mardika—penentu siapa yang boleh menempati ruang dan siapa yang tidak. Ia menentukan seberapa banyak barang bisa dijual, bagaimana pedagang bisa mengakses ruang dan pembeli hingga apakah mereka masih dapat mempertahankan mata pencahariannya atau tidak.

Lakban, dalam konteks ini, adalah instrumen kekuasaan. Garisnya yang sederhana justru memperlihatkan wajah pengaturan ruang pasar yang sangat politis. Ia menjadi alat untuk mendisiplinkan pedagang, mendefinisikan akses atas ruang, sekaligus menyeleksi siapa yang terakomodasi dan tereksklusi dari pasar. Persisi disini, pasar Mardika, bukan hanya ruang ekonomi, ia adalah ruang yang politis—dan lakban menjadi simbol kecil yang membuka perdebatan besar tentang keadilan, eksklusi, dan pengaturan ruang kota yang justru sangat politis. Sebuah debat tentang kekuasaan yang menurut Foucault (1997) terkait pendisiplinan orang melalui sistem “ruang”, space governmentality.

Seorang informan berkata, “Itu dong datang tarik lakban saja, lalu bajual di situ”—mereka datang, membentangkan lakban, dan dari situ menentukan siapa yang boleh berjualan. Pernyataan ini memperlihatkan bagaimana nasib pedagang sepenuhnya bergantung pada garis lakban. Lakban bukan lagi benda fisik semata. Ia telah menjadi simbol kontrol, regulasi, dan kuasa atas ruang yang bekerja secara halus tapi efektif di Pasar Mardika.

Tulisan ini ingin memeriksa politik penataan ruang di Pasar Mardika dengan menjadikan penandaan melalui lakban sebagai pintu masuk analisis. Lakban mencerminkan logika kekuasaan dalam mengatur ruang: siapa yang mengatur ruang, bagaimana ukuran-ukuran “ruang” seperti lapak ditentukan, dan sejauh mana itu semua berkaitan dengan kebijakan penataan pasar yang lebih luas. Dan apa implikasi bagi kehidupan para pedagang kecil yang selama ini bergantung pada pasar? Pertanyaan-pertanyaan ini penting diajukan untuk melihat “kuasa pengaturan” di pasar mardika.

Mardika: Ruang yang Diperebutkan

Sebelum gedung baru pasar Mardika ditempati, para pedagang sempat berdemonstrasi memprotes ukuran lapak yang sempit. Sayangnya, protes mereka mereka kalah jauh dan diabaikan. Terlepas dari pro-kontra tersebut, pembagian lapak pedagang dengan lakban mencerminkan konseptualisasi negara atas ruang. Negara mendefinisikan ruang menurut perspektifnya—yang dalam konteks Pasar Mardika untuk mencitapkan ketertiban dan kebersihan. Caranya adalah dengan melakukan relokasi ke Gedung baru, dan menempati lapak-lapak yang telah ditentukan ukuran, harga dan lokasinya. Henri Lefebvre (1905) menyebut “ruang” semcam ini sebagai “representasi ruang”—alias ruang yang didesain, digambarkan, atau dikonseptualkan oleh negara. Seperti peta, denah, gambar, zonasi, RT/RW, atau aturan-aturan teknokratis lainnya. Ini adalah ruang yang diidealkan negara. Melalui ruang ini negara mudah mengontrol masyarakat—yang seringkali menjadi pintu masuk untuk menentukan siapa yang memiliki akses dan terekslusi dari penataan ruang.

Lakban di Pasar Mardika mereproduksi logika itu. Meski diklaim sebagai upaya menata dan mengakomodasi para pedagang, penanda lakban justru berfungsi sebagai instrumen penguasaan dan pengendalian. Penataan ini lebih mencerminkan logika akumulasi: siapa yang bisa membayar, dia yang bisa menempati. Dalam praktiknya, banyak pedagang harus membayar mahal. Praktik informal seperti “komisi”, lobi, atau relasi informal lain dengan mereka yang punya kuasa dalam proses penataan pasar juga terjadi. Pedagang yang tak punya akses otomatis terpinggirkan. Kalaupun peroleh lapak, mereka harus membayar sewa Rp600 ribu, yang dianggap tidak sebanding dengan pendapatannya.

Lebih jauh, pembagian lapak dengan ukuran 90 sentimeter namun ditempati banyak orang pasti memudahkan penghitungan: berapa banyak pedagang bisa ditampung, dan berapa potensi pendapatan yang bisa dikutip oleh pemerintah daerah. Asumsinya, dengan cara ini pendapatan daerah bisa lebih basar dan ketertiban di kawasan mardika bisa tercapai. Namun model perhitungan dan ukuran-ukuran itu merugikan pedagang. Dalam kerangka ini, penataan pasar Mardika melalui angka dan ukuran-ukuran ruang itu mencerminkan apa yang disebut antropolog Arjun Appadurai (1996) sebagai strategi enumeratif—yakni strategi kekuasaan untuk menghitung, mengkategorikan, mengukur dan mencatat masyarakat ke dalam angka-angka agar lebih mudah diatur. To enumerate is to imagine the social, and govern it, enumerasi adalah cara negara membayangkan masyarakat, sekaligus mengatur mereka sesuai kepentingannya.

Di pasar mardika, strategi ini tidak bekerja dengan rapi sehingga memperumit persoalan. Tidak ada data tunggal tentang jumlah pedagang pasar mardika. Datanya bisa berbeda-beda antara pemerintah kota, asosiasi pedagang, dan pemerintah provinsi. Seorang informan mengatakan : ketidak-jelasan data tentang jumlah pedagang ini merumitkan penataan, membuka ruang bagi praktik percaloan, termasuk kesulitan mendeteksi pendapatan dan aliran uang dari aktifitas di pasar mardika ke kas daerah. Di ruang tanpa pendataan yang jelas inilah, praktik-praktik informal berlaku.

Kuasa di Mardika

Barangkali, strategi menarik lakban untuk membagi dua lapak berukuran 180 sentimeter adalah jalan tengah untuk menyiasati persoalan enumerasi ini. Sayangnya, siasat ini juga mengandung cacat. Bagaimanapun penentuan “batas suatu ruang” adalah tindakan yang tidak netral karena selalu mengandung relasi kuasa, sama halnya membuat batas dari lakban. Tindakan ini melibatkan sejumlah aktor yang berpengaruh dalam penataan pasar mardika. Aktor mendesain ukuran dan menarik lakban pasti terafiliasi ke kekuasaan tertentu—dan dengan begitu posisinya juga harus dibaca dalam jejaring politik dan bisnis yang melibatkan sejumlah aktor kuat. Ia adalah “titik kecil” dari struktur kekuasaan yang lebih besar, yang terhubung antar elit politik dan bisnis di level atas, hingga kelompok preman dan kernet di pasar mardika.

Jika diurut, penandaan lakban bukan soal kecil. Ia adalah persoalan yang tak terpisah dari berbagai persoalan sebelumnya dalam penataan pasar mardika. Seperti perselisihan antar pemerintah daerah, keterlibatan swasta sebagai pihak ketiga, afiliasi dengan elit lokal tertentu, peran organisasi pedagang, pro-kontra penggusuran, pembongkaran ruko, segmentasi etnis dan agama, kriminalitas hingga jejak panjang konflik Maluku yang bermula dari pertikaian di kawasan pasar ini. Semua persoalan ini—tidak boleh dilihat terpisah-pisah. Ia adalah “gambar besar” tentang kuasa pengaturan ruang yang bekerja di pasar mardika—yang dalam banyak kasus juga mencerminkan kondisi ekonomi-politik dari Kota Ambon. Perspektif ini membawa kita untuk melihat pengaturan ruang di pasar mardika sebagai praktik yang politis—dimana hubungan-hubungan kuasa dan bisnis diorganisasikan oleh elit—yang seringkali tidak menyangkut hajat hidup masyarakat kecil, seperti pedagang tadi, melainkan kepentingan politik dan bisnis mereka sendiri.

Seorang informan bicara panjang lebar bahwa penataan pasar mardika, tidak didasarkan pada pendataan pedagang—yang saya sebut di atas sebagai persoalan enumerasi. Ini adalah salah satu akar persoalan yang memicu konflik antar pemerintah provinsi Maluku dan Kota Ambon soal kewenangan mengelola pasar mardika. Titik tengkarnya adalah soal siapa yang berhak memperoleh pendapatan dari aktifitas di pasar mardika—retribusi, parkir, kebersihan biasa sewa kios di pasar dan sebagainya yang sejak awal telah disepakati oleh kedua pihak. Hal-hal ini memang telah diatur dalam sejumlah perjanjian kerjasama, namun konflik mencuat pasca pembangunan gedung pasar mardika baru.

Begini ceritanya. Pada tahun 1988, pasar mardika dibangun melalui kerjasama antara Pemerintah Provinsi Maluku dan PT. Bumi Perkasa Timur. Setahun setelahnya, pada 1989, pasar mardika dikelola melalui perjanjian bersyarat antara pemerintah provinsi Maluku dan Kota Ambon. Dalam skema tersebut, Pemerintah Kota Ambon diberi wewenang mengelola bangunan, sarana umum, dan aktivitas pasar, dengan kewajiban menyetor 20 persen dari pendapatan ke Pemerintah Provinsi selama lima tahun. Namun praktiknya, pemerintah provinsi mengklaim tidak menerima setoran tersebut sejak 1989 hingga 1994. Persoalan kian rumit karena setelah 1994, seluruh aktivitas pasar, termasuk penarikan retribusi dan sewa kios—terus dijalankan oleh Pemerintah Kota Ambon tanpa persetujuan pemerintah provinsi. Artinya sejak saat itu hingga hari ini pendapatan dari aktifitas di pasar mardika tidak mengalir ke kas provinsi. Polemik itu berujung pada rekomendasi DPRD Provinsi agar pengelolaan pasar diberikan ke Pemerintah Kota Ambon—namun langkah ini jua belum menemui titik akhir.

Terlepas dari pro-kontra dan benar-salahnya penerapan kebijakan ini, tapi soal utama dari polemik ini menjadikan pasar mardika bukan hanya pasar sebagai tempat (place), ia adalah “ruang” (space) yang mengandung kuasa pengaturan yang kompleks. Pasar mardika diatur dan dinegosiasikan sedemikian rupa oleh negara—pemerintah daerah, dan aktor-aktor yang berkepentingan di dalamnya. Kuasa pengaturan ruang ini bekerja dengan memanfaatkan ketidak-jelasan tata kelola pasar—yang kelak melahirkan praktik informal seperti menarik lakban tadi. Meskipun tampaknya dapat mengakomodir para pedagang dan menciptakan ketertiban dalam jangka pendek,namun mekanisme ini justru memperlihatkan betapa lemahnya pengelolalaan pasar secara institusional.

Ketidakjelasan pengelolaan Pasar Mardika menciptakan “arena abu-abu” bagi masuknya aktor-aktor yang mengandalkan kedekatan akses dan modal dalam penataan pasar. Seorang informan bercerita bahwa : soal siapa yang menjadi juru parkir, menagih retribusi, menjaga keamanan pasar di malam hari, kernet dan sebagainya tidak diatur melalui kebijakan resmi. Melainkan penunjukannya lebih ditentukan oleh kedekatan dengan elite lokal yang punya kuasa menentukan akses. Pasar Mardika, adalah ruang di mana kesepakatan-kesepakatan dinegosiasikan, jejaring sosial, dan praktik informal berkelindan menentukan siapa yang bisa mengakses dan mengatur ruang pasar.

Polemik di level atas antara pemerintah kota dan provinsi terkait dengan peran aktor-aktor yang ada di level tengah. Mereka ini memiliki modal dan akses ke kekuasaan. Mereka terhubung ke pemerintah daerah melalui hubungan-hubungan bisnis dan politik—yang dalam banyak kasus berkaitan langsung dengan penataan pasar mardika. Seorang informan menyampaikan bahwa—level tengah ini diisi elit lokal, para pemimpin asosiasi pedagang, dan pebisnis yang terlibat dalam pembangunan dan penataan pasar mardika. Elit lokal terafiliasi dengan kepala daerah (walikota dan gubernur) dan terkelindan dengan pemimpin organisasi pedagang di pasar mardika. Seperti Ikatan Pedagang Pasar Indonesia (IKAPPI) dan Asosiasi Pedagang Pasar Mardika (APPMA). Belakangan juga terdapat sejumlah organisasi serupa. Seperti Ikatan Pedagang Pasar Mardika Ambon (IPPMA), dan Asosiasi Pedagang Kaki Lima (APKL).

Para aktor ini berperan penting mengontrol tata ruang dan aktifitas di pasar. Baik itu kontrol atas pedagang, lapak, pengaturan jasa keamanan, hingga penyediaan dukungan melalui mobilisasi politik di Pemilu. Meskipun modus operandinya tidak sepenuhnya transparan, jelas bahwa jejaring yang saling terkelindan dengan elit lokal dan bisnis. Seperti elit lokal, pemimpin organisasi pedagang, dan pemerintah daerah—provinsi maupun kota–menjadi struktur kunci yang membentuk dinamika ruang di Pasar Mardika, termasuk pengaturan lapak lapak jualan tadi.

Upaya mendamaikan ketegangan antara pemerintah dan pedagang dengan memberi lakban mungkin tampak efektif dalam jangka pendek. Namun, jika akses pedagang atas ruang untuk berjualan tidak diatur secara adil dan partisipatif, konflik bermotif ekonomi bisa saja terjadi. Bahkan, konflik ini berpotensi meluas dan terintrusi dengan sentimen identitas etnis maupun agama. Mengingat identitas para pedagang di Pasar Mardika juga kerap dikaitkan dengan ketimpangan ekonomi dan dominasi etnis tertentu di ruang-ruang ekonomi kota, termasuk di pasar mardika.

Barangkali, analisis P.M. Laksono (2016:13) yang menggambarkan dengan sangat bagus sebab konflik Maluku yang bermula dari pasar Mardika, sebagai persoalan ekonomi yang kemudian terelaborasi ke dalam isu agama dan etnis patut jadi refleksi. Tulisnya begini “terhadap eskalasi konflik itu dimulai dari perkara yang sering kita perkecil, yaitu dari soal ‘uang receh’ yang dipertengkarkan ‘orang kecil’ pula (kernet dan penumpang angkutan kota)?. Yang disebut ‘kebetulan’ itu terkait marka kelas, etnis dan agama, sehingga jadilah soal ‘kecil’ itu membesar dan tak terkendali”. Perkara yang dianggap kecil, yang dipertengkerkan orang kecil di pasar Mardika ini seyogyanya adalah urusan besar—yang mensituasikan pasar mardika sebagai “ruang yang politis”. Lakban yang membagi lapak ke dalam ukuran 90 sentimeter bukanlah persoalan sepele. Ia berkaitan dengan kuasa pengaturan ruang pasar mardika yang seringkali mengabaikan perjuangan masyarakat kecil yang sedang mempertahankan hidupnya.Persis ditengah pertarungan kuasa dan modal antara elit Maluku yang arahnya juga selalu sulit diterka : kepada siapa mereka sebenarnya berpihak?.

1 KOMENTAR

  1. Maaf sebelumnya jika komentar saya kurang baik di pandangan saudara, saya merupakan pedagang aktif di pasar Mardika dari tahun 2007 hingga saat ini.
    Melihat tulisan ini saya jadi prihatin, apa yang kakak tulis 99% mendekati kebenaran terlebih itu berbicara tentang hubungan antara pasar politik dan dan pemerintah
    saya jadi teringat tulisan Dandy Dwi laksono dalam bukunya indonesia for sale ” ideologi pasar tidak hanya berhenti pada perkara-perkara ekonomi saja tapi ia juga mengarur hukum, politik dan budaya dalam berkehidupan
    Nah saya hanya ingin menggaris bawahi bahwa Mardika merupakan pasar sentral di kota Ambon kehadirannya telah menjadi bentuk yang sakral bagi para pedagang, perjanjian kontrak politik merusak citra Mardika karena saya tahu betul siapa dalang yang bermain dibelakang layar untuk urusan ini, disamping visi misi pemerintah menerbitkan dan menciptakan kota Ambon yang bersih dan teratur. disisi lain ada oknum’ yang dengan sengaja memainkan sandiwara untuk megutak Atik Mardika dengan dalih medukung visi misi pemerintah padahal mereka ingin bermain dalam skala penetapan penentuan pengisian tempat di gedung baru Mardika tentu dengan dasar perjanjian politik yang telah di bangun sebelumnya.
    Saya melihat ini sebagai bentuk ketidak mampuan pemerintah mengatur para pedagang aktif untuk menempati pasar baru yang telah dibangun.
    Saya ingin berbicara panjang lebar mengenai hal ini dengan anda karena ada kerumitan yang lebih besar dari sekadar melihat Mardika sebagai pasar.
    Terima kasih..

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

Share post:

Subscribe

spot_imgspot_img

Popular

Rekomendasi
Terkait

PLN UP3 Ternate Resmikan PLN Taste House Kie Raha, Dukung UMKM Lokal dan Gaya Hidup Listrik

Ternate,Tajukmaluku.com-PT PLN (Persero) Unit Induk Wilayah Maluku dan Maluku...

PLN UPK Maluku Jalin Kerja Sama Pengelolaan Sampah Domestik dengan DLH Kota Ternate

Ternate,Tajukmaluku.com-PLN Unit Induk Wilayah Maluku dan Maluku Utara (UIW...

Penumpang Keluhkan Layanan KM Pangrango: Banyak Kecoa dan Ruangan Pengap

Ambon,Tajukmaluku.com-Salah satu penumpang, Putri Hastari keluhkan pelayanan di KM....

Politik Kebajikan Melalui Abolisi dan Amnesti ataukah Fenomena Ade Pasang Gaya, Kaka Tabola bale

Oleh: Dr. Abdul Manaf Tubaka, M.SiTajukmaluku.com-Di bulan kemerdekaan ini,...