
Tajukmaluku.com-Narasi Bahlil Lahadalia sebagai “martir politik” dalam polemik tambang nikel Pulau Gag, Raja Ampat, terdengar dramatis sekaligus menyesatkan. Kita disuguhi kisah seorang anak kampung dari Timur yang “dikorbankan” oleh elite karena keberaniannya membekukan tambang. Seolah-olah, langkah Bahlil adalah wujud keberpihakan terhadap lingkungan dan rakyat kecil. Sayangnya, kisah ini lebih mirip fiksi politik daripada realitas sosial. Sebab jika kita berbicara Papua, Maluku, atau “Timur Indonesia”, yang harus tampil bukan hanya wajah, tapi juga keberpihakan.
Pembelaan terhadap Bahlil, yang kini menjabat Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), didominasi oleh dua logika besar: pertama, bahwa tambang Pulau Gag adalah warisan kebijakan lintas rezim selama 27 tahun; dan kedua, bahwa Bahlil telah bertindak progresif dengan membekukan operasi PT Gag Nikel demi audit lingkungan.
Kedua klaim ini, jika diperiksa lebih dalam, tidak hanya rancuh secara logika, tapi juga berbahaya secara sosial-politik. Terutama ketika “wajah Timur” dijadikan perisai dari kebijakan ekstraktif yang merusak pulau kecil dan mengorbankan ruang hidup masyarakat adat.
Bahlil kerap menggunakan narasi “anak kampung dari Timur”—sebuah identitas yang kerap dipakai sebagai justifikasi moral atas tindakannya di pemerintahan. Namun representasi politik bukan perkara asal-usul, tapi soal sikap dan keberpihakan. Jika benar mewakili Papua dan Maluku, bagaimana mungkin ia tidak lantang menolak tambang di Pulau Gag sejak awal?
Data dari Badan Pusat Statistik (2023) menyebutkan, angka kemiskinan di Papua Barat Daya mencapai 21,82%, tertinggi kedua secara nasional. Maluku mencatat 16,42%, juga jauh di atas rata-rata nasional. Namun hingga kini, tidak ada satu pun kebijakan konkret yang menunjukkan keberpihakan Bahlil terhadap pengurangan ketimpangan struktural di wilayah ini—terutama yang disebabkan oleh eksploitasi sumber daya alam.
Yang muncul justru narasi pembangunan ala negara: bawa investor, buka tambang, bangun smelter. Seolah-olah semua masalah rakyat Timur bisa diselesaikan dengan ekspor nikel.
Bukan Pewaris, Tapi Pengelola
Klaim bahwa Bahlil tidak bisa disalahkan karena tambang Pulau Gag adalah warisan empat rezim sebelumnya, menyederhanakan peran kementerian sebagai pengelola aktif kebijakan pertambangan. Sejak menjabat sebagai Menteri Investasi, Bahlil adalah bagian dari aktor strategis yang mempercepat proyek hilirisasi nikel di seluruh Indonesia Timur, termasuk di kawasan pulau-pulau kecil.
Pembekuan tambang Pulau Gag pada 5 Juni 2025 yang dilakukan Bahlil justru datang setelah tekanan publik dan pemberitaan luas soal potensi pelanggaran UU Pulau Kecil. Bahkan sebelum menjadi Menteri ESDM, ia tidak pernah mempersoalkan keberadaan tambang itu. Diam adalah sikap politik. Maka jika diamnya bertahun-tahun tak dikritisi, maka pembekuan mendadak itu lebih mencerminkan kalkulasi politik, bukan keberanian moral.
Pulau Gag hanya seluas 65 km². Berdasarkan UU No. 27 Tahun 2007 jo. UU No. 1 Tahun 2014, pulau kecil dengan luas kurang dari 2.000 km² dilarang digunakan untuk pertambangan terbuka. Fakta ini tidak dibantah siapa pun. Namun yang terjadi, negara justru memberikan serangkaian izin: dari Izin Pinjam Pakai Kawasan Hutan (IPPKH) pada 2015, hingga Izin Operasi Produksi tahun 2017.
Lalu mengapa kementerian, termasuk di masa kepemimpinan Bahlil, tidak pernah meninjau ulang seluruh izin ini? Mengapa baru sekarang bicara soal audit lingkungan, bukan soal penghentian permanen? Karena, sekali lagi, keberpihakan diuji bukan ketika ada tekanan publik, tapi ketika keputusan sulit harus diambil tanpa popularitas.
Salah satu argumen yang dipakai untuk menyudutkan kritik terhadap Bahlil adalah bahwa Greenpeace dan LSM lingkungan lain baru bicara setelah 7 tahun tambang beroperasi. Logika absurd ini menuai tanda tanda besar, apakah lambatnya kritik akan membatalkan urgensi masalah? Bukankah justru menunjukkan bahwa selama ini pemerintah berhasil menyembunyikan kerusakan sistemik di Pulau Gag? Yang keliru bukan aktivis yang baru bicara, tapi negara yang selama bertahun-tahun membiarkan pelanggaran hukum ini terjadi secara terstruktur dan sistematis.
Oligarki Lama atau Oligarki Baru?
Narasi lain yang terus diulang adalah bahwa Bahlil sedang melawan oligarki tambang. Padahal, menurut laporan Auriga Nusantara (2023), kebijakan pencabutan 2.078 izin tambang oleh Bahlil justru membuka peluang bagi masuknya investor-investor baru, dengan proses rekomendasi yang tidak sepenuhnya transparan. Bahkan sebagian wilayah yang izinnya dicabut, kini masuk dalam daftar proyek strategis nasional.
Bila benar Bahlil melawan oligarki, seharusnya dia menghentikan model ekstraktivisme di pulau-pulau kecil seperti di Papua dan Maluku, bukan malah melanggengkannya dengan wajah baru. Yang berubah mungkin hanya pemilik konsesi, tapi model perampasan ruang tetap sama: atas nama hilirisasi dan pertumbuhan ekonomi.
Narasi tentang Bahlil sebagai korban politik terlalu menyederhanakan lanskap konflik. Korban yang sebenarnya adalah masyarakat adat di Raja Ampat, nelayan pesisir, dan generasi muda Papua Barat Daya yang akan mewarisi pulau-pulau rusak akibat pertambangan. Alih-alih membela tanah kelahiran, para elite politik asal Timur justru menjadikan wilayah itu sebagai “lahan tumbal” investasi negara. Pulau Gag adalah contoh paling telanjang bagaimana wajah Timur bisa menjadi tameng untuk praktik pembangunan eksploitatif.
Identitas Timur tak seharusnya jadi tameng untuk kekuasaan. Kita perlu berhenti membela pejabat hanya karena mereka berasal dari “kampung yang sama.” Apa gunanya anak kampung yang naik ke pusat, jika keputusan-keputusannya justru mengukuhkan ketimpangan dan eksploitasi di kampung asalnya?
Sebagai penutup, “Kebudayaan melahirkan peradaban, kearifan dan kemanusiaan. Anak kebudayaan, akan menjaga tanah dan alamnya, menjadi pelopor sebagai pewaris nilai dan jejak sejarah“. Bahlil bukan anak kebudayaan Maluku-Papua, sebab tak ada DNA kebudayaan dalam diri perusak lingkungan yang diwariskan para leluhur.
Ketika wajah Timur menjadi simbol, tapi tidak dibarengi keberpihakan pada rakyat Timur, maka itu bukan representasi—itu hanya branding politik. Dan branding, seperti kita tahu, bisa dipoles, disulap, dan dijual.
Fadel Rumakat, Aktivis Maluku yang fokus dalam advokasi masalah lingkungan dan korupsi di Maluku. Ia adalah pendiri LSM RUMMI (Rumah Muda Anti Korupsi)