back to top

Demokrasi Setengah Hati

Published:

Oleh: Aprizal Pawae

Demokrasi menjadi salah satu bentuk pelaksanaan daulat rakyat. Wujud keterlibatannya
adalah melalui pemilihan umum yang dilaksanakan secara periodik. Melalui adanya demokrasi langsung, maka rakyat memiliki kekuasaan untuk menentukan pemimpin yang kemudian akan diamanahi untuk menjalankan pemerintahan.

Pemilihan kepala daerah dalam kacamata demokrasi dipandang sebagai sebuah
perwujudan atas demokrasi yang modern di tingkat lokal. Strategi propaganda dan agitasi
menjadi senjata aktor untuk bisa mendapatkan suara yang maksimal baik dengan cara formal melalui kegiatan kampanye ataupun kegiatan nonformal berbalut politik identitas dan memainkan isu dinasti politik.

Politik Identitas

Faktor pendorong terbentuknya identitas yang kemudian bermuara dalam konstelasi
politik tanah air adalah adanya perasaan ketidakadilan yang dirasakan oleh individu atau
kelompok masyarakat. Ketidakadilan yang terjadi sebagaian besar ditimbulkan oleh adanya
polarisasi berdasarkan status sosial seperti oligarki, latar belakang pendidikan dan kurangnya rasa egalitarianism. Upaya tersebut disebabkan oleh perasaan termarjinalisasi, mengalami penindasan, terpinggirkan secara sosial, ekonomi, dan budaya dalam kurun waktu yang lama.

Mimi Kartika (2020) dalam laporannya mengatakan bahwa pergeseran isu politik
identitas telah termodifikasi dalam postingan dan cuitan di media sosial yang penuh dengan
ujaran kebencian dan gambar-gambar berkaitan dengan SARA. Isu identitas semakin mengakar di kalangan masyarakat Indonesia sehingga dalam bentuk dan kondisi apapun isu identitas masih menjadi jualan yang berpengaruh.

Umpan baliknya adalah banyak masyarakat yang menggunakan media sosial sebagai
sarana untuk menggiring isu SARA. Data terakhir menunjukkan bahwa sejumlah 130 juta
penduduk Indonesia merupakan pengguna Facebook dan merupakan urutan keempat pengguna Facebook terbanyak di dunia, 50 juta orang pengguna Twitter dan 45 juta orang pengguna Instagram.

Dinasti Politik

Dinasti politik adalah reproduksi kekuasaan dengan mengandalkan kekuatan familisme
atau kekerabatan. Hal tersebut mirip dengan sistem monarki yang mengadalkan garis
keturunan. Hanya yang membedakan adalah dalam sistem demokrasi harus dilalui dengan
pemilihan umum. Namun, strategi politik didasarkan pada ikatan familisme dan kekerabatan.

Jika ditinjau secara hukum, praktik politik dinasti itu konstitusional, merujuk pada
putusan Mahkamah Konstitusi No.33/PUU/XIII/2015. Namun seperti bom waktu, lambat laun akan menghancurkan demokrasi. Pemerintahan cenderung akan bersifat oligarki dan
berpotensi menimbulkan tindakan sewenang-wenang. Semakin mudah seseorang
mendapat kekuasaan dan memiliki kekuasaan mutlak, maka cenderung semakin
tinggi potensi penyalahgunaan kekuasaan (abuse of power). Hal ini sebagaimana
dinyatakan oleh Lord Action bahwa: “power tends to corrupt and absolute power
corruptsabsolutely”
(kekuasaan cenderung korup dan kekuasaan mutlak korup secara mutlak).

Praktik politik dinasti juga dapat dikatakan sebagai pemusatan kekuasaan. Hal ini tentu
saja bertentangan diametral dengan demokrasi yang justru berpijak pada desentralisasi
kekuasaan, baik secara vertikal maupun horizontal. Kekuasaan yang terpusat inilah cenderung dekat dengan kekuasaan absolut. Kekuasaan absolut cenderung korup secara absolut pula. Inilah alasan fundamental mengapa dinasti politik dicurigai berjalin berkelindan dengan korupsi. Selain itu, sentimen negatif atas dinasti politik ini tidak terlepas dari berbagai kasus korupsi yang melibatkan kepala daerah dan dinasti politiknya. Hal ini terbukti dari banyaknya kasus korupsi yang dilakukan oleh kepala daerah. Berdasarkan data yang diperoleh dari Indonesia Corruption Watch, pada tahun 2020 terdapat sedikitnya 294 kepala daerah yang ditetapkan sebagai tersangka korupsi.

Masifnya kasus korupsi kepala daerah tentu memberi dampak yang buruk dalam tata
kelola pemerintahan dan pelayanan daerah. Praktik politik dinasti yang dibiarkan akan
terus berkembang dan menciderai demokrasi.

Demokrasi Substansional

Proses demokrasi masih dimaknai sekadar memenangkan kontestasi. Kualitas
demokrasi yang demikian, tentu masih jauh dari hakikat demokrasi. Tetapi itu semua adalah praktik demokrasi yang tengah kita alami sebagai demokrasi yang sah secara prosedural walaupun dari kacamata demokrasi substantif, masih jauh panggang dari api.

Ukuran demokrasi substantif adalah hadirnya kebijakan politik yang imparsial yaitu
berkerakyatan, menjunjung tinggi kesetaraan, keberagaman, berkeadilan, dan memiliki
perhatian khusus terhadap rakyat yang kurang beruntung. Terperangkapnya kita semua dalam jebakan praktik demokrasi prosedural ini, tidak terlepas dari gagalnya parpol melaksanakan fungsinya dengan baik menurut Undang- Undang Parpol, khususnya pendidikan politik terhadap masyarakat maupun kadernya yang dipandang masih lemah dalam proses kaderisasi alhasil Masyarakat menjadi sangat pragmatis dan tidak memilki idealisme. Banyak figur yang diusung parpol adalah tokoh yang memiliki kemampuan untuk memikul biaya politik dalam pemenangan pilkada. Munculnya persepsi dan figur seperti ini jelas aromanya adalah transaksional.

Politik transaksional meyebabkan arena kontestasi menjadi tidak sehat, situasi ini
mengkondisikan lahirnya dinasti politik dan politik identitas yang berhadap-hadapan secara
diameteral tentu ini adalah iklim yang menghambat pertumbuhan demokrasi membuat
demokrasi berhenti pada tataran prosedural, pola demokrasi seperti ini adalah demokrasi
setengah hati, demokrasi setengah hati bukanlah demokrasi yang sesungguhnya.

Penulis adalah Mahasiswa Pasca Sarjana Hukum Unpatti

Related articles

spot_img

Recent articles

spot_img