Ambon,Tajukmaluku.com– Angka adalah kepastian. Ia tak bisa dibantah, apalagi dipoles dengan modal retoris bombastis seperti pernyataan Kepala Dinas Pariwisata Provinsi Maluku, Jais Ely dalam wawancaranya yang dimuat oleh salah satu media online lokal. Jais menyebut institusi yang dipimpinya itu masuk dalam “lima besar penyumbang PAD” Pemerintah Provinsi Maluku tahun ini. Klaim itu dilontarkan di tengah capaian PAD sektor pariwisata yang baru menyentuh Rp342 juta hingga pertengahan tahun — atau hanya 36 persen dari target Rp1,1 miliar.
Angka itu, alih-alih menunjukan prestasi, justru memperkuat kesimpulan bahwa sektor pariwisata Maluku masih stagnan. Apalagi jika capaian yang minim itu disebut sebagai “prestasi lima besar”.
Direktur Democracy Network for Civil Society (DNCS), Marwan Titaheluw menyebut pernyataan Jais tersebut sebagai bentuk “manipulasi data berbasis ilusi prestasi”
“Kalau Rp342 juta saja sudah masuk lima besar, itu bukan keberhasilan Dinas Pariwisata, itu cermin betapa rusaknya kinerja OPD-OPD lain dalam menyumbang PAD,” kata Marwan saat dihubungi Tajukmaluku.com. Rabu (23/7/2025).
Jais Ely dalam pernyataannya juga menyebut bahwa capaian PAD itu masih “on track”. Namun, tak ada penjelasan tentang strategi realistis mengejar 64 persen sisa target dalam enam bulan ke depan. Tak ada proyeksi peak season lanjutan, tidak ada roadmap percepatan yang dipaparkan, apalagi pendekatan terukur berbasis data.
“Frasa ‘on the track’ itu hanya jargon pengalihan. Tidak ada skenario real mengejar target. Biasanya kata itu digunakan saat pejabat tidak lagi bicara soal hasil, tapi sibuk memoles citra” Ujar Marwan.
Menurut Marwan, dalam kondisi anggaran yang katanya seret, Jais Ely justru menyebut pendekatan CSR sebagai “strategi inovatif”. Secara tidak langsung Jais Ely mengakui kelemahan dan ketidakmampuan Pemprov Maluku dalam mengelola dan membiayai sektor pariwisata secara mandiri.
“CSR itu tambal-sulam, bukan solusi. setau saya CSR yang ada itu juga inovasi dari BUMD.” tambah Marwan.
Marwan juga menyorot sikap Jais Ely yang terkesan arogan, dimana Jais menyebut sebagian kritik yang diarahkan kepadanya berasal dari opini yang “tidak berbasis data” dan menyarankan pengkritik untuk “belajar dulu”. Kalimat ini justru mempertebal kesan bahwa Jais Ely adalah pejabat yang lebih suka menyalahkan publik daripada membenahi masalah.
“Pernyataan yang defensif itu tidak pantas keluar dari mulut pejabat publik. Justru data yang ia sampaikan sendiri memperkuat pikiran publik Maluku bahwa dia gagal dalam mengelola Pariwisata Maluku” Ujar Marwan.
Selama ini Jais Ely dikenal lihai membungkus kinerja dengan jargon: “kolaboratif”, “strategis”, “gemilang”, “berbasis data”. Namun ketika dilihat dari sisi outcome, narasi-narasi itu tidak terealisasi dalam bentuk program real yang berdampak luas. Tidak ada lonjakan jumlah wisatawan, tidak ada peningkatan signifikan di infrastruktur destinasi, bahkan kontribusi PAD pun stagnan.
“Kalau semua sudah diklaim gemilang padahal angka bicara sebaliknya, cara berpikir publik kita sedang dihina dan kita sedang dipaksa percaya pada dongeng,” tutup Marwan.*(01-F)