Oleh: M Kashai Ramdhani Pelupessy
(Mahasiswa S3 Psikologi UGM yang Concern pada Isu Psikologi Kebencanaan)
“Alam punya kemauannya sendiri”, kredo ini yang harus kita pegang sebelum menghadapi bencana alam. Gunung meletus, gempa bumi, dan tsunami merupakan peristiwa yang terjadi secara alami tanpa campur tangan manusia di dalamnya. Kita tidak bisa menghindarinya. Kita hanya bisa memahaminya sebagai sebuah proses alamiah.
Namun, tak semua orang melihat peristiwa alam itu dengan perasaan yang sama. Ada yang melihatnya dengan bahagia karena gejala alam itu menandakan bahwa ia sedang hidup, tapi ada juga melihatnya dengan perasaan cemas. Kecemasan muncul karena bencana telah merenggut sumber primer dari kehidupan masyarakat. Bencana telah menurunkan kondisi ekonomi rumah tangga, menghilangkan nyawa anggota keluarga, merusak fasilitas publik, dan mengubah struktur sosial yang ada.
Perasaan cemas yang muncul pasca bencana harus dimitigasi. Proses mitigasi ini perlu kerjasama kolektif baik dari pemerintah dan semua unsur lapisan masyarakat. Belajar dari pengalaman gempa Maluku tahun 2019 silam, pemerintah saat ini harus berupaya menaikkan atensinya pada proses mitigasi bencana. Namun, dari semua usaha mitigasi, yang paling tak kalah penting ialah program kesiapsiagaan sebelum menghadapi bencana.
Istilah mitigasi dan kesiapsiagaan ini memiliki sedikit perbedaan. Sejumlah ahli memasukkan istilah mitigasi ini sebagai proses pemulihan pasca bencana, sedangkan kesiapsiagaan merupakan usaha masyarakat sebelum menghadapi bencana. Indonesia yang terletak di wilayah ring of fire menunjukkan bahwa negara ini sangat rawan terjadi bencana, sehingga kesiapsiagaan harus menjadi program prioritas pemerintah saat ini dan kedepannya.
Hidup di Negara Cincin Api
Terdapat beberapa daerah di Indonesia yang telah melewati banyak bencana alam begitu parah. Ambil contoh adalah Di Sumatera Utara, Danau Toba merupakan bukti bencana alam maha dahsyat sekitar 78 ribu tahun lalu. Erupsi gunung api purba Toba waktu itu telah mendorong homo sapiens harus mengurung dirinya di Afrika, populasi manusia menyusut hingga 60%, dan rantai makanan terganggu.
Selain Danau Toba, gempa bumi diikuti tsunami paling mengerikan juga pernah terjadi di Maluku sekitar tahun 1674 dan 1899. Gempa di Maluku terjadi karena wilayah ini berada di kawasan seismik aktif. Peristiwa alam di Maluku waktu itu tercatat korban meninggal mencapai 2.320 pada tahun 1674 dan 3.864 orang tewas tahun 1899.
Selain itu, bencana yang masih kita ingat sampai sekarang ialah tsunami Aceh tahun 2004 telah mengorbankan 170.000 jiwa, bencana tsunami Palu tahun 2018, bencana tsunami Pangandaran tahun 2006, dan tsunami Mentawai tahun 2010. Bencana yang baru saja terjadi tahun 2024 lalu ialah gempa tektonik di Kertasari, kabupaten Bandung.
Sederet peristiwa alam itu menunjukkan bahwa Indonesia termasuk salah satu negara paling rentan mengalami bencana di dunia. Hal ini karena letak Indonesia berada di wilayah ring of fire yang biasa disebut sebagai Circum-Pacific Belt. Panjang wilayah cincin api ini sekitar 40.000 kilometer (24.900 mil) dengan menelusuri batas-batas lempeng tektonik yang melewati sejumlah daerah di Indonesia dari Sumatera sampai Papua.
Sekitar 75% gunung berapi aktif berada di sepanjang wilayah tersebut. Melimpahnya gunung berapi aktif ini disebabkan oleh pergerakan lempeng, dimana setiap lempeng saling tumpang tindih yang biasa disebut zona subduksi.
Hidup di negara yang diselimuti cincin api ini membuat pemerintah dan masyarakat harus lebih meningkatkan kesiapsiagaannya. Hal ini karena bencana kadang datang secara tiba-tiba, sebagaimana Longstaff (2005) mengistilahkannya sebagai “kejutan”.
Namun, tampaknya kita belum secara totalitas menerapkan program kesiapsiagaan sebelum menghadapi bencana. Ada banyak faktor dari program kesiapsiagaan ini yang tampaknya belum kita wujudkan secara tuntas. Salah satu faktor diantaranya ialah keadilan pembangunan ekonomi dan penyediaan fasilitas publik yang berkualitas.
Kemajuan pembangunan ekonomi tampaknya masih berat sebelah. Beberapa daerah di Indonesia yang rawan terjadi bencana masih tergolong masyarakat miskin. Sejumlah ahli mengatakan bahwa bencana yang dialami masyarakat di daerah miskin cenderung membuat mereka sulit pulih pasca bencana. Belakangan ini pemerintah sudah berupaya menaikkan status ekonomi di sejumlah daerah melalui pembangunan infrastruktur (jalan tol) dan hilirisasi sebagai program prioritas.
Namun, program itu tampaknya belum membuahkan hasil maksimal. Program prioritas itu disinyalir hanya menguntungkan beberapa konglomerat tertentu, sementara masyarakat miskin di akar rumput semakin menderita. Idealnya, pembangunan ekonomi ini harus berbasis pada prinsip keadilan. Hal ini yang dapat menopang masyarakat lebih siap sebelum menghadapi bencana.
Selain itu, peningkatan fasilitas publik yang berkualitas juga merupakan faktor kunci kesiapsiagaan sebelum menghadapi bencana. Fasilitas publik ini seperti ketersediaan rumah sakit dan puskesmas yang memiliki alat-alat kedokteran super canggih, serta jumlah tenaga medis yang mumpuni. Dengan ketersediaan fasilitas publik seperti ini maka akan membuat masyarakat lebih siap sebelum menghadapi bencana di kemudian hari.
Modal Sosial dan Spiritualitas
Selain ketersediaan fasilitas kesehatan publik dan orientasi pembangunan ekonomi yang adil sebagai tonggak kesiapsiagaan masyarakat sebelum menghadapi bencana, Indonesia beruntung karena masyarakat telah memiliki modal sosial dan spiritualitas yang kuat sebelum menghadapi bencana. Modal sosial dan spiritualitas ini menjadi faktor penting dari kesiapsiagaan sebelum menghadapi bencana.
Bourdieu (1986) mengartikan modal sosial sebagai kumpulan sumber daya yang terkait dengan jaringan relasional di dalam masyarakat, sudah bertahan lama, terlembagakan, dan diakui secara bersama. Modal sosial ini yang memberi inspirasi bagi anggota di dalam masyarakat untuk lebih siap menghadapi bencana.
Salah satu karakteristik dalam masyarakat kolektif seperti Indonesia adalah cenderung memiliki modal sosial seperti rasa kebersamaan. Rasa kebersamaan ini terekspresikan misalnya dalam perilaku efikasi kolektif untuk bersama-sama menghadapi kesulitan. Selain itu, perilaku yang muncul dari modal sosial dari masyarakat kolektif juga adalah kekompakkan (gotong royong) yang didalamnya terdapat dukungan sosial dan saling memotivasi saat menghadapi situasi sulit (bencana).
Perilaku-perilaku seperti itu perlu ditransmisikan secara terus–menerus melalui pendidikan formal dan non-formal. Hal ini karena rasa kebersamaan ini tampaknya mulai memudar saat kita memasuki era globalisasi. Era ini telah membawa budaya individualisme sehingga membuat kita cenderung tidak peduli dengan orang lain. Olehnya itu, pendidikan karakter perlu menjadi skala prioritas di lembaga formal dan non-formal untuk menguatkan rasa kebersamaan sebagai modal sosial masyarakat Indonesia. Hal ini yang dapat membuat kita lebih siap menghadapi bencana.
Selain modal sosial, masyarakat Indonesia juga memiliki karakter spiritualitas sebagai panduan hidupnya saat melihat situasi sulit seperti bencana. Salah satu pakar psikolog klinis, Prof. Subandi, menjelaskan bahwa spiritualitas sangat membantu masyarakat untuk terus bertahan dalam situasi sulit.
Dalam artikelnya di Australasian Journal of Disaster and Trauma Studies tahun 2014, Prof. Subandi menjelaskan bahwa spiritualitas yang dimiliki masyarakat akan memandu mereka mengembangkan traumanya ke arah positif pasca bencana. Dalam kata lain, bencana cenderung akan dilihat secara positif sebagai anugerah dari Tuhan. Spiritualitas yang sudah dimiliki masyarakat Indonesia merupakan faktor penting dalam kesiapsiagaan menghadapi bencana.
Kesejahteraan Sosial
Semua hal yang dipersiapkan sebelum menghadapi bencana itu sebetulnya bertujuan untuk menjaga sekaligus meningkatkan stabilitas kesejahteraan sosial. Hampir sebagian besar ilmuwan mengatakan bahwa bencana cenderung mengakibatkan masyarakat mengalami ketidaksejahteraan. Situasi ini tentu akan memicu hadirnya fenomena sosial yang lebih parah kedepannya seperti konflik horizontal, bunuh diri, dan penggunaan zat adiktif untuk meredakan gejala stres pasca bencana.
Olehnya itu, pemerintah perlu memprioritaskan program kesiapsiagaan sebelum menghadapi bencana dengan memperhatikan faktor-faktor kunci yang telah dijelaskan di atas.
Selain mitigasi, program kesiapsiagaan sebelum menghadapi bencana harus menjadi skala prioritas pemerintah saat ini dan kedepannya. Hal ini karena Indonesia berada di wilayah cincin api yang rentan mengalami bencana alam secara terus menerus. Peningkatan pembangunan ekonomi yang berkeadilan, penyediaan fasilitas publik yang berkualitas, dan mempertahankan modal sosial serta spiritualitas melalui pendidikan adalah sederet faktor kunci menuju kesiapsiagaan sebelum menghadapi bencana.