SEJAK kecil, Beta sudah akrab dengan warna-warni yang berserakan di lantai rumah. Warna kain yang menggantung di sudut, sisa-sisa benang jahit yang beterbangan, dan pola-pola motif yang tak pernah sama. Beta pung Mama seorang tukang jahit, dan dari tangan antua-lah warna-warna itu menjelma menjadi pakaian, taplak, atau baju seragam. Di Mama punya ruang kerja, warna hadir bukan hanya sebagai hiasan, tapi sebagai napas hidup sehari-hari.
Dalam keseharian, warna sering kita anggap enteng. Ia sekadar pelengkap penampilan, penanda suasana hati, atau lambang dari musim dan perayaan. Kita memilih warna pakaian untuk menyesuaikan karakter, atau sekadar agar “nyaman dilihat.” Tapi sesungguhnya, warna menyimpan beban makna yang jauh lebih dalam. Ia melekat pada identitas, menandai status, dan kadang menciptakan batas antara satu kelompok dengan yang lain.
Dalam pandangan Cultural Studies, warna adalah teks yang penuh kepentingan. Ia menjadi ladang tempat ideologi bekerja diam diam. Di balik kesan cerah atau lembutnya, warna menyembunyikan sejarah panjang kolonialisme, rasisme, hingga standar kecantikan yang dikonstruksi. Warna bisa jadi alat kontrol, menentukan siapa yang layak tampil dan siapa yang harus disisihkan. Dalam senyapnya, warna membentuk cara berpikir dan mengatur dunia tanpa banyak suara.
Warna dan Wacana
Di Indonesia, politik warna mencapai intensitas brutal di masa Orde Baru. Ketika itu, merah tak lagi dikenal sebagai warna semangat atau perjuangan. Ia didegradasi menjadi simbol horor, tanda bahaya yang melekat pada tubuh siapa saja yang dicurigai berpihak pada komunisme. Negara menggiring imajinasi publik untuk melihat merah sebagai musuh: ancaman terhadap agama, tatanan sosial, dan stabilitas nasional. Dalam satu gebrakan naratif, warna menjadi vonis.
Reduksi ini bukan kebetulan. Ia lahir dari rekayasa ideologis negara yang didukung penuh oleh militer, media, dan sistem pendidikan. Inilah yang oleh Michel Foucault disebut sebagai kuasa diskursif: mekanisme di mana negara mengatur pengetahuan, membentuk kebenaran, dan menanamkan ketakutan melalui bahasa yang tampak netral. Sebuah warna bisa diubah menjadi alat pengawasan. Sebuah simbol kecil dapat menjadi dalih bagi kekerasan sistemik.
Misalnya, di masa sekolah dulu, tanpa banyak disadari, kita tumbuh dalam ruang belajar yang dipagari oleh ketakutan. Buku-buku dan cerita yang kita konsumsi telah lebih dulu disaring, dibersihkan dari nuansa merah, digantikan oleh doktrin yang disterilkan. Warna yang mestinya mengundang keberanian berpikir, justru dijadikan simbol bahaya. Lewat pemutaran film G30S PKI saban tahun, kita tidak diajak membaca sejarah, melainkan diminta membenci warna merah. Maka merah tak lagi sekadar pigmen, tapi menjelma hantu yang dibentuk dan dipelihara negara untuk membayangi nalar generasi. Sebuah warna dijadikan batas, dipenjara dalam imajinasi kolektif yang dikendalikan, agar ketakutan tetap hidup dan pertanyaan tak pernah tumbuh.
Di sisi lain, warna hijau dimuliakan. Ia dijadikan lambang keimanan, kemurnian, bahkan nasionalisme. Namun pemuliaan ini bukan tanpa agenda. Hijau tidak sekadar simbol, ia menjelma dalam kekuasaan—mewarnai partai politik, organisasi massa, hingga struktur birokrasi yang diberi ruang untuk bertindak represif atas nama moral. Dalam konstelasi politik Orde Baru, hijau menjadi warna yang dilegalkan untuk menumpas merah. Dan dari legitimasi simbolik itulah pembantaian 1965 mendapat pembenaran—seolah kekerasan bisa diterima asal dilakukan demi menjaga moral dan iman mayoritas.
Genosida terhadap warga yang dicap “merah” bukan sekadar tragedi, melainkan proyek ideologis. Amnesty International memperkirakan sekitar 500.000 orang dibunuh, sementara Robert Cribb menyebut antara 200.000 hingga satu juta jiwa. Di Bali, sekitar 80.000 orang—lima persen populasi—terbunuh dalam waktu singkat. Di Jawa Tengah dan Sumatera Utara, pembantaian massal dilakukan tanpa proses hukum, cukup berbekal warna yang dilekatkan pada nama atau keluarga. Komnas HAM menegaskan kekerasan ini sistematis dan terorganisir, menyasar petani, guru, seniman, hingga aktivis perempuan. Dalam sejarah Indonesia, merah bukan lagi sekadar warna, melainkan vonis yang diwariskan dalam ketakutan kolektif.
Sejarah kelam ini bukan sekadar kisah tentang darah yang tumpah, tapi juga tentang pewarnaan yang menancap dalam benak. Merah dicap najis, hijau diagungkan sebagai suci. Dalam kerangka pikir Pierre Bourdieu, ini adalah bentuk kekerasan simbolik—ketika dominasi bekerja lewat simbol dan makna yang tampak wajar, tapi sejatinya dipaksakan. Warna menjadi instrumen klasifikasi sosial: bukan sekadar tampilan visual, tapi tanda yang mengatur siapa yang berhak bicara dan siapa yang harus dibungkam. Pewarnaan ideologis ini meresap ke dalam tubuh kolektif, menjadikan batas antara yang sah dan yang haram seolah kodrati, padahal dibentuk oleh kuasa yang ingin langgeng.
Hijau, Kuasa, dan Kekerasan yang Disamarkan
Pasca kejatuhan Soeharto, dominasi warna tak serta-merta runtuh. Justru sebaliknya: warna hijau naik takhta, menjadi simbol dominan dalam lanskap politik dan ekonomi Indonesia mutakhir. Ia bermetamorfosis menjadi lambang kesalehan, kemurnian moral, bahkan keberlanjutan lingkungan. Namun di balik tampilan suci itu, hijau menyimpan wajah lain—wajah kekuasaan yang eksploitatif dan licik. Banyak kebijakan dan investasi memakai jubah hijau demi legitimasi, padahal bekerja merusak hutan, merampas ruang hidup, dan menghisap tenaga kerja hingga kering.
Ambil contoh proyek Food Estate. Pemerintah mempromosikannya dengan jargon ketahanan pangan dan pertanian berkelanjutan. Namun di lapangan, seperti di Kalimantan Tengah, Sumatera Utara, dan Papua, yang terjadi justru sebaliknya: hutan dibabat, lahan masyarakat adat digusur, dan sistem pertanian industri yang diterapkan menyebabkan degradasi tanah serta hilangnya biodiversitas lokal. Laporan Mongabay Indonesia (2021) dan Tempo (2023) mencatat kerusakan ekologis yang masif, kegagalan panen, serta konflik agraria yang meningkat di lokasi-lokasi Food Estate tersebut. Yang ironis, semua itu dibungkus rapi dengan istilah ramah lingkungan: eco-friendly, smart agriculture, sustainable. Jargon-jargon yang membuat kita mabuk, terlena oleh bunyinya yang canggih, dan lupa siuman untuk menyelidiki apa yang sebenarnya disembunyikan di balik kata-kata tersebut.
Begitu banyak hal kini diklaim hijau. Energi hijau, investasi hijau, bahkan kapitalisme hijau. Semua datang dengan jargon penyelamatan bumi, disambut hangat oleh negara, korporasi, dan lembaga donor. Tapi di lapangan, hijau sering kali hanyalah warna baru dari penindasan yang lama. Lihat proyek PLTA di tanah adat Papua—seperti Kali Yigi dan Kali Urum di Tambrauw—yang menurut laporan The Gecko Project dan Mongabay Indonesia (2022) menimbulkan konflik dengan masyarakat adat dan mengancam ekosistem hutan primer. Di Sulawesi, pembangunan PLTA Poso dan Malea yang dikembangkan oleh PT Malea Energy juga dilaporkan memicu penggusuran, penolakan warga, serta perusakan aliran sungai dan kawasan pertanian masyarakat (lihat Mongabay, 2021 dan Tempo, 2022). Alih-alih menjawab krisis iklim, proyek-proyek ini justru meninggalkan jejak konflik agraria, kriminalisasi warga, dan kerusakan ekologis yang tak bisa dipulihkan.
Di tingkat global, mekanisme carbon trading dan carbon offset bekerja seperti siasat cuci muka. Film dokumenter The Carbon Con (Al Jazeera Investigations, 2023, disutradarai oleh Juliana Ruhfus) memperlihatkan bagaimana perusahaan multinasional membeli “izin merusak” lewat skema hijau yang terdengar ilmiah, sambil terus menyedot sumber daya tanpa rasa bersalah. Film lain seperti Planet of the Humans (2020) dan Carbon Hunters (2021) juga menunjukkan bagaimana perdagangan karbon dan transisi energi sering kali menyembunyikan wajah lama kolonialisme lingkungan: menggusur masyarakat adat, merampas tanah, dan mengalihkan perhatian publik dari aktor utama krisis iklim.
Di Indonesia, praktik serupa bisa disimak dalam film dokumenter Sexy Killers (2019), produksi WatchDoc, disutradarai oleh Dandhy Laksono dan Ucok Suparta, yang membongkar bagaimana energi “bersih” justru disokong oleh kekuasaan oligarkis yang rakus dan merusak. Film lain seperti The EndGame (2021) dan Kala Benoa (2015) juga memperlihatkan bagaimana proyek-proyek “hijau” digunakan untuk melegitimasi penggusuran, kriminalisasi, dan perampasan ruang hidup atas nama pembangunan. Ini bukan transisi energi. Ini transisi citra.
Beberapa minggu lalu, sebuah video memperlihatkan aktivis Greenpeace menyoroti kerusakan ekologis akibat tambang di Pulau Gag, Raja Ampat. Suaranya keras, menuntut penghentian aktivitas industri yang dianggap mengoyak jantung laut Papua. Pemerintah merespons cepat: Menteri ESDM Bahlil Lahadalia mengumumkan penghentian sementara operasi tambang untuk evaluasi. Tapi hanya dalam hitungan hari, sebuah video lain beredar. Kali ini bukan protes, melainkan sambutan. Warga menyodorkan spanduk: “Laut Kami Bersih, Berita Pulau Gag Hancur Itu Hoaks.” Sebuah pesan yang terdengar gamblang, bukan untuk mempertanyakan tambang, tapi membelanya.
Dari kasus Pulau Gag, warna bekerja bukan sekadar penanda visual, melainkan alat retoris yang membentuk kebenaran. Laut biru Raja Ampat—yang dalam laporan Kompas (6/6/2021) sempat disebut tercemar akibat aktivitas tambang—tiba-tiba dibingkai ulang oleh narasi warga yang menyebut, “laut kami bersih.” Biru yang semula bisa menjadi alarm ekologis, kini justru dipakai sebagai argumen bahwa tak ada yang perlu dikritisi. Ia tak lagi bicara tentang karang yang rusak atau ekosistem yang terganggu, melainkan menjadi wajah tenang dari industri yang sedang dijaga citranya.
Begitulah bagaimana warna bekerja dalam kuasa: biru dan hijau tidak lagi merepresentasikan laut dan hutan, melainkan menjelma bahasa politik yang membungkam kritik dan memoles legitimasi. Hijau hadir dalam bentuk laporan reklamasi, spanduk dukungan, dan jargon ramah lingkungan. Sementara biru digunakan sebagai pembungkus naratif bahwa semuanya baik-baik saja. Dalam lanskap tambang dan konservasi hari ini, warna-warna alam justru digunakan untuk menyembunyikan luka-luka ekologis. Mereka tak lagi bicara tentang kehidupan, tetapi tentang apa yang boleh terlihat dan apa yang harus ditutupi.
Sejauh ini, politik warna kerap luput dari pengawasan kritis. Ia dianggap sekadar pilihan visual, padahal dalam logika Cultural Studies, tak ada warna yang polos. Setiap warna lahir dalam relasi kuasa—diproduksi, disebarkan, dan ditanamkan oleh kekuatan dominan untuk mengatur bagaimana dunia dibayangkan. Ketika hijau dijadikan kedok atas perampasan ruang hidup, dan biru dijadikan bukti bahwa semuanya baik-baik saja, yang terjadi bukan sekadar manipulasi citra, tapi pembajakan makna secara sistematis. Warna bukan lagi cermin kenyataan, melainkan perangkat untuk membentuk kenyataan sesuai selera kekuasaan.
Kita hidup di zaman ketika warna tak hanya menghiasi, tapi juga menghakimi. Ia menentukan siapa yang dianggap peduli lingkungan, dan siapa yang harus diam atau dicurigai. Di tengah banjir simbol dan pencitraan, membaca warna dengan kritis bukan soal gaya, tapi soal bertahan dalam nalar. Menolak tunduk pada narasi warna artinya menolak tunduk pada kekuasaan yang menyaru sebagai alam. Warna bisa dijadikan dalih untuk menyelamatkan bumi, tetapi juga untuk menyingkirkan yang tak sejalan dengan logika pembangunan.
Sudah waktunya kita membaca ulang warna sebagai teks kuasa. Jangan mudah terpukau oleh hijau yang menjanjikan keselamatan, apalagi takut dituduh “wahabi lingkungan”—label yang belakangan dipakai untuk mendiamkan kritik atas proyek-proyek yang membungkus perusakan dengan jargon keberlanjutan. Dalam dunia yang makin dikuasai oleh sandiwara visual, warna tak lagi sekadar aksen estetika, melainkan instrumen dominasi: ia bisa menenangkan sambil menyesatkan, merangkul sambil menyingkirkan. Maka skeptis terhadap warna bukanlah bentuk paranoia, tapi kesadaran politik paling dasar.
Ishak R. Boufakar, Penulis adalah Mahasiswa Cultural Studies UNHAS