Ambon,Tajukmaluku.com- Pernyataan calon Wakil Gubernur Maluku, Abdullah Vanath, yang secara terbuka menyebutkan bahwa “Pemimpin Islam seng tau malu” dalam salah satu sesi kampanye telah memicu kontroversi di berbagai kalangan. Pernyataan ini dinilai mengandung generalisasi yang berpotensi melukai umat Muslim, terutama para pemimpin Islam yang selama ini menjaga marwah kepemimpinan dengan nilai-nilai keislaman yang tinggi. Kritik keras pun disampaikan oleh Wakil Sekretaris Jenderal Pengurus Besar Serikat Mahasiswa Muslimin Indonesia (PB SEMMI), Ali Alkatiri, yang melihat bahwa pernyataan Vanath justru menunjukkan ketidakpekaannya terhadap dinamika masyarakat.
Dalam keterangannya, Alkatiri menilai pernyataan itu tidak hanya mencederai hati masyarakat Muslim Maluku yang religius, tetapi juga mencerminkan kegagalan Vanath memahami konteks kepemimpinan Islam dalam realitas sosial.
“Pernyataan yang dilontarkan saudara Abdullah Vanath itu tidak mencerminkan kebijaksanaan seorang calon pemimpin yang diharapkan mampu mempersatukan masyarakat Maluku dalam keberagaman. Ini bukan hanya soal terminologi atau bahasa, tapi soal makna yang dititipkan pada setiap kata. Seorang pemimpin harus bijaksana dalam berbicara, apalagi di hadapan publik yang memiliki nilai-nilai religius dan budaya yang kuat,” tegas Alkatiri.
Menurut Alkatiri, kalimat yang dilontarkan Vanath menggambarkan kurangnya sensitivitas terhadap posisi seorang pemimpin Muslim dalam masyarakat yang memandang penting agama sebagai landasan moral dan etika. Dengan mengeneralisasi bahwa “pemimpin Islam tidak tahu malu”, Vanath dianggap telah melangkah ke wilayah yang sensitif, menyeret nilai Islam ke dalam debat politik dengan cara yang tidak pantas.
Alkatiri menambahkan, kritiknya ini bukan sekadar respons emosional, tetapi sebuah refleksi dialektik terhadap standar kepemimpinan Islam. Baginya, seorang pemimpin Islam yang baik adalah ia yang meneladani sikap Rasulullah SAW, yaitu berkomunikasi dengan kasih sayang dan tanpa mencederai sesama.
“Islam mengajarkan kepemimpinan yang berlandaskan pada rasa malu dan integritas. Jika saudara Vanath menyebut bahwa pemimpin Islam tidak tahu malu, itu artinya beliau gagal menyerap esensi kepemimpinan Islam yang sesungguhnya. Bagi seorang Muslim, rasa malu adalah benteng moral dan menjadi ukuran dalam bertindak,” kata Alkatiri.
Dalam perspektifnya, pernyataan yang kurang etis dan tidak berlandaskan empati ini tidak seharusnya keluar dari mulut seorang calon pemimpin yang beragama Islam. Di tengah masyarakat Maluku yang berjuang mempertahankan nilai-nilai tradisional dan religius, ucapan seperti ini justru akan memecah belah dan menimbulkan prasangka.
Alkatiri mendesak agar Vanath segera menyampaikan klarifikasi dan permintaan maaf secara terbuka atas ucapannya tersebut. Menurutnya, ini adalah bagian dari tanggung jawab moral yang harus diemban oleh seorang calon pemimpin. Ia juga mengingatkan bahwa ucapan tanpa tanggung jawab hanya akan mengikis kepercayaan masyarakat.
“Seorang calon pemimpin yang mencalonkan diri untuk melayani rakyat haruslah memiliki moralitas dan tanggung jawab dalam ucapan dan tindakan. Klarifikasi dan permintaan maaf itu penting, bukan sekadar untuk menjaga citra pribadi, tetapi sebagai bentuk penghormatan terhadap masyarakat yang memiliki kepercayaan besar pada nilai-nilai Islam,” tambahnya.
Menurut Alkatiri, di tengah semakin meningkatnya krisis kepercayaan masyarakat terhadap politikus, figur pemimpin Muslim mestinya menjadi teladan yang baik. “Kami di SEMMI mengingatkan saudara Vanath, dan siapa pun yang mengaku pemimpin Islam, untuk menjaga adab dalam bertutur. Ingatlah bahwa nilai-nilai Islam itu melekat pada rasa malu, rendah hati, dan bijaksana. Ketika rasa malu hilang dari seorang pemimpin, maka yang terjadi adalah runtuhnya legitimasi moral di mata masyarakat,” jelas Alkatiri dengan penuh ketegasan.
Ia berharap kritik ini bisa membuka ruang refleksi bagi Abdullah Vanath dan kandidat lainnya, bahwa politik bukan sekadar soal meraih kekuasaan, tetapi tentang menjaga kepercayaan publik dengan tutur kata dan sikap yang mencerminkan kematangan jiwa seorang pemimpin.
“Politik Maluku membutuhkan pemimpin yang beradab dan bijaksana, yang mampu menginspirasi, bukan menghakimi. Kami, masyarakat Maluku yang religius, menuntut kepemimpinan yang mencerminkan akhlak mulia. Mari kita wujudkan Maluku yang bersatu dalam keberagaman dengan menjunjung tinggi etika dan nilai-nilai moral dalam setiap langkah politik kita.” imbuhnya.
Hal ini diharapkan dapat membuka ruang bagi Abdullah Vanath untuk berefleksi dan memahami kembali esensi dari kepemimpinan Islami yang mengedepankan akhlak, adab, dan tanggung jawab moral.*Refleksi