Ambon,Tajukmaluku.com-Sejak pertama kali masuk Maluku pada 2018, PT Spice Islands Maluku (PT SIM) perusahaan produksi pisang abaka ini memegang SKT untuk ribuan hektar lahan di Hatusuwa. Namun, alih-alih mengoptimalkan izin itu, PT SIM justru memilih melirik wilayah lain. Hatusuwa ditinggalkan, optimalisasi ribuan hektar tanpa laporan bulanan maupun tahunan kepada Pemerintah Daerah Seram Bagian Barat (SBB) nyaris tak pernah terdengar.
Masalah memuncak di 2020–2021, ketika PT SIM merangsek ke wilayah Kawa. Sebuah kawasan sensitif karena berbatasan langsung dengan hak ulayat di Ety dan beberapa dusun, termasuk Pelita Jaya. Sejarah konflik antarwilayah membuat keputusan itu riskan.
Beberapa bulan lalu Bupati Asri Arman sempat mengambil jalan tengah, menunda sementara aktivitas perusahaan demi mencegah benturan horizontal di masyarakat. Namun, PT SIM tetap terlihat menyalakan bara dengan membentuk opini publik seolah Bupati Asri Arman menghentikan aktivitas mereka padahal apa yang dilakukan justru terlihat bijak.
Sebagai kepala daerah sekaligus penanggung jawab tertinggi di wilayahnya, Bupati Asri Arman tentu saja tak ingin ada konflik yang merugikan masyarakat, apalagi diketahui PT SIM sendiri selama ini tak pernah melaporan secara resmi soal optimalisasi lahan yang sebelumnya digarap, atau pun soal hitungan data real dari klaim kalkulasi investasi Rp 600M yang digembar-gemborkan di ruang publik sebagai kerugikan investasi atau soal hasil ekspor dari produksi pisang abaka selama ini kepada Pemda SBB.
Dari Kontrak ke Pelepasan Hak
Kabar terbaru menambah lapisan gelap praktik PT SIM. Lahan 632,25 hektar di Desa Kawa, yang diyakini masyarakat hanya dikontrakkan untuk perkebunan abaka, ternyata sudah beralih status menjadi pelepasan hak penuh ke PT SIM. Informasi ini mengejutkan warga, mereka merasa ditipu habis-habisan.
Gelombang protes muncul dari Masyarakat Kawa, mereka menuding PT SIM telah mengubah hubungan kerja sama menjadi perampasan hak. Status “kontrak” yang selama ini diyakini ternyata hanyalah ilusi.
Koordinator BEM Nus Maluku, Adam Rahantan, membaca langkah PT SIM sebagai strategi licik: membiarkan Hatusuwa terbengkalai, lalu menggeser operasi ke Kawa dan Ety, wilayah yang sarat ketegangan sosial. Dengan begitu, perusahaan seolah melempar bola panas ke tengah masyarakat dengan membuat pemerintah daerah SBB terjebak di posisi sulit.
“Harusnya PT SIM fokus mengoptimalkan izin di Hatusuwa. Kenapa justru masuk ke Kawa tanpa sosialisasi, padahal daerah ini rentan konflik?” kata Adam.
Izin Pemprov, Beban Pemda SBB
Ironisnya, izin PT SIM sejak awal keluar dari Pemerintah Provinsi Maluku, bukan dari Pemda SBB. Namun, setiap kali terjadi gesekan, Pemda-lah yang diseret ke ruang publik, seakan menjadi pihak yang bertanggung jawab penuh. Situasi ini menambah lapisan absurditas. Perusahaan mendapat legitimasi dari atas, tetapi meninggalkan bara api di bawah.
Kini masyarakat Kawa menuntut keadilan. Mereka mendesak pemerintah turun tangan, membuka fakta secara transparan, dan memastikan hak ulayat tidak dilucuti lewat permainan hukum dan kontrak abu-abu.
Di tengah protes yang kian memuncak, satu hal jadi jelas: PT SIM bukan sekadar gagal berinvestasi, melainkan diduga turut merancang peta konflik di SBB. Dan selama pola ini dibiarkan, ketegangan sosial di Seram Bagian Barat menjadi bom waktu yang tinggal menunggu ledakan berikutnya.*(01-F)