back to top

Waktunya Maluku “Merdeka”

Published:

Oleh: Fadhel Abraham Rumakat

Narasi tentang “Waktunya Maluku Merdeka” adalah seruan terhadap ketidakadilan struktural yang selama ini dirasakan oleh masyarakat Maluku, bukan dalam arti literal mengenai pemisahan dari Negara Kesatuan Republik Indonesia, tetapi dalam arti mendalam tentang pembebasan dari ketertinggalan, ketergantungan, dan ketidakadilan yang seolah menjadi warisan dari sistem politik dan ekonomi sentralistis.

Sejarah Ketertinggalan: Jejak Kolonial yang Belum Selesai

Jika menilik sejarah, Maluku adalah wilayah yang dahulu sangat strategis karena kekayaannya berupa rempah-rempah. Namun, hingga kini, potensi alam yang melimpah ini tidak dinikmati secara optimal oleh penduduk lokal. Kolonialisme memang telah lama berakhir secara fisik, namun jejak-jejaknya masih terasa dalam distribusi sumber daya, kebijakan ekonomi, hingga pengelolaan kekayaan alam.

Maluku menjadi contoh jelas dari kawasan yang selalu diinjeksi tema kesajahteraan, tetapi nyatanya tertinggal jauh dari pusat. Di sinilah letak ketidakadilan struktural itu: Jakarta selalu menjadi poros, dan daerah-daerah seperti Maluku hanya menjadi bagian pinggiran yang dilirik sekadarnya ketika dibutuhkan.

Kita harus bertanya, seberapa sering Maluku dijadikan prioritas dalam kebijakan pembangunan nasional? Bagaimana mungkin Maluku yang kaya dengan potensi sumber daya alam, terutama kelautan, justru masih berkutat dengan kemiskinan dan ketergantungan pada pusat?

Pengelolaan Sumber Daya Alam: Maluku yang Kaya, Masyarakat yang Miskin

Maluku adalah salah satu provinsi terkaya dengan potensi sumber daya alam yang melimpah ruah, terutama di sektor kelautan dan perikanan. Namun, ironisnya, tingkat kemiskinan dan ketimpangan ekonomi di wilayah ini tetap tinggi. Bahkan ada di urutan ke-4 (Buka data BPS Tahun 2023) .

Pengelolaan hasil perikanan yang sebagian besar dikuasai oleh perusahaan-perusahaan besar, terutama yang berpusat di luar Maluku, menandakan bahwa potensi ekonomi daerah ini tidak memberikan dampak signifikan pada kesejahteraan masyarakat lokal.

Apa yang didapat Masyarakat Maluku dari Kekayaan Lautnya?

Nelayan lokal hanya memperoleh bagian kecil dari hasil laut mereka sendiri karena infrastruktur yang buruk dan akses pasar yang terbatas. Pemerintah pusat gagal menyediakan fasilitas yang layak untuk meningkatkan daya saing dan kemampuan ekonomi nelayan lokal, sehingga mereka terus-menerus terjebak dalam lingkaran ketergantungan. Sementara itu, kapal-kapal besar dari luar Maluku bebas mengambil hasil laut dalam jumlah besar tanpa ada kontrol yang berarti. Maluku seharusnya menjadi pusat perikanan dunia, tetapi justru menjadi penonton di tanahnya sendiri. Lagi-lagi karna kebijakan Pusat yang tidak berpihak.

Ketimpangan Infrastruktur: Membangun Dari Pusat, Melupakan Daerah

Pembangunan infrastruktur juga menunjukkan ketimpangan yang sangat jelas. Akses jalan, jembatan, pelabuhan, hingga bandara di Maluku masih tertinggal jauh dibandingkan dengan daerah-daerah lain di Indonesia, terutama di Jawa dan Sumatera. Di saat pemerintah pusat gencar membangun infrastruktur besar-besaran di pulau-pulau besar, Maluku seperti dilupakan.

Kurangnya infrastruktur tidak hanya mempersulit mobilitas barang dan orang, tetapi juga memperlebar kesenjangan ekonomi. Akses yang sulit membuat biaya hidup di Maluku jauh lebih tinggi dibandingkan dengan daerah-daerah lain.

Beberapa daerah di Maluku semisal Seram Bagian Timur, Tanimbar. Akses Internet juga terbatas, padahal di era digital seperti ini, ketidakmampuan untuk terhubung dengan dunia luar berarti ketidakmampuan untuk bersaing secara ekonomi dan pendidikan.

Pendidikan: Diskriminasi Dalam Akses dan Kualitas

Ketidakadilan juga sangat terasa di sektor pendidikan. Banyak wilayah di Maluku yang belum memiliki fasilitas pendidikan yang memadai, mulai dari minimnya jumlah sekolah, kekurangan guru, hingga kualitas pendidikan yang sangat tertinggal dibandingkan dengan daerah-daerah lain. Generasi muda Maluku yang seharusnya menjadi agen perubahan, justru terjebak dalam sistem pendidikan yang tidak memberikan mereka kesempatan untuk berkembang.

Tiap tahunnya, angka putus sekolah, pengangguran intelektual masih tinggi, akses ke perguruan tinggi sangat terbatas. Banyak anak-anak Maluku yang harus meninggalkan kampung halamannya, pergi menyambung hidup di Provinsi tentangga, sebut saja Maluku Utara dengan PT. IWIP-nya. Ketidakadilan ini semakin mengakar karena tanpa pendidikan yang baik, masyarakat Maluku akan terus berada dalam siklus kemiskinan dan ketergantungan.

Ketergantungan Ekonomi: Otonomi Setengah Hati

Otonomi daerah seharusnya memberikan kewenangan lebih besar kepada daerah untuk mengelola sumber daya dan kebijakan lokal. Namun, dalam praktiknya, otonomi ini lebih sering menjadi sebatas simbol daripada kenyataan. Pemerintah daerah sering kali tidak memiliki cukup sumber daya, baik secara finansial maupun kapasitas, untuk menjalankan fungsi-fungsi pemerintahan dengan optimal.

Maluku masih bergantung pada dana transfer dari pusat. Ketergantungan ini membuat Maluku tidak memiliki kebebasan untuk menentukan arah kebijakan yang sesuai dengan kebutuhan lokal. Pemerintah pusat, yang sering kali tidak memahami dinamika lokal, justru mendikte kebijakan-kebijakan yang kurang relevan. Jika terus begini, kapan Maluku bisa benar-benar merdeka dalam menentukan nasibnya sendiri?

Waktunya Maluku “Merdeka”

Membangun dengan KemandirianMerdeka dalam konteks ini bukan berarti memisahkan diri dari Indonesia, melainkan bebas dari ketergantungan, ketidakadilan, dan ketertinggalan yang selama ini membelenggu. Maluku butuh kebijakan yang lebih berpihak pada kepentingan masyarakat Maluku, mulai dari pengelolaan sumber daya alam yang adil, pembangunan infrastruktur yang memadai, hingga pendidikan yang merata dan berkualitas.

Pemerintah pusat harus melihat Maluku sebagai potensi besar yang perlu diberdayakan, bukan sekadar wilayah pinggiran yang ditinggalkan. Desentralisasi yang lebih nyata harus diberikan kepada Maluku, dengan sumber daya yang cukup untuk mengelola kekayaan alam dan manusia di wilayah ini. Ini bukan hanya soal keadilan bagi Maluku, tetapi juga soal keadilan bagi Indonesia sebagai satu kesatuan bangsa. Jika Maluku berkembang, maka Indonesia akan semakin kuat. Seperti idiom yang diucapkan oleh Bung Karno “Indonesia tanpa Maluku bukanlah Indonesia”

Waktunya Maluku merdeka dari ketidakadilan, ketergantungan, dan marginalisasi. Waktunya kita bersama-sama membangun Maluku sebagai wilayah yang maju, mandiri, dan sejahtera, demi Indonesia yang lebih adil dan merata.

Penulis adalah Anggota Gerakan Pemuda Alwasliya Provinsi Maluku.

Related articles

spot_img

Recent articles

spot_img