back to top

36 Tahun Tanpa Putra Maluku di Kabinet: Diskriminasi Terstruktur atau Pengabaian Sistematis?

Date:

Oleh: Aldin Keliangin

Sudah lebih dari tiga dekade, tepatnya 36 tahun, Republik Indonesia tidak pernah memasukkan putra-putri Maluku ke dalam kabinet. Setiap kali reshuffle diumumkan, setiap kali Kabinet Indonesia dibentuk, wajah-wajah dari Timur selalu absen dari posisi penting yang menentukan arah kebijakan bangsa. Maluku, yang dikenal dengan kekayaan sejarah, budaya, dan sumber daya alam, seolah-olah dilupakan dari percaturan politik nasional.

Sebuah catatan yang menyakitkan, bahkan lebih ironi ketika kita melihat kontribusi besar Maluku dalam sejarah bangsa ini. Namun dalam setiap pengumuman kabinet, baik dalam era reformasi hingga Kabinet Indonesia Maju di bawah Prabowo-Gibran, wajah putra Maluku seakan tidak pernah terpampang di kursi-kursi elite kekuasaan.

Apakah Maluku Tidak Berhak Mendapat Tempat di Kabinet?

Pertanyaan yang terus mengemuka dalam benak masyarakat Maluku: apakah kami tidak berhak untuk mendapat tempat di kabinet? Apakah kemampuan putra-putri Maluku dianggap rendah? Atau ini sekadar cerminan dari diskriminasi struktural yang terus-menerus mengisolasi Maluku dari pusat kekuasaan?

Maluku, yang dikenal dengan kekayaan sejarah, budaya, dan sumber daya alam, seolah-olah dilupakan dari percaturan Elite politik nasional.

Setiap kali pergantian kabinet terjadi, janji perubahan dan representasi daerah selalu dilontarkan, tetapi hasilnya? Nihil. Putra Maluku seakan-akan menjadi warga kelas dua di negeri sendiri, dikesampingkan dan diabaikan dalam proses pengambilan keputusan yang penting bagi bangsa ini.

Maluku bukan sekadar wilayah geografis di timur Indonesia, melainkan bagian integral dari sejarah perjuangan bangsa. Peran Maluku dalam mempertahankan kemerdekaan, mengamankan perbatasan negara, dan kontribusi di berbagai bidang tidak bisa dipandang sebelah mata. Namun mengapa selama 36 tahun, tidak ada satu pun putra Maluku yang dipercaya untuk duduk di kursi kabinet? Hal ini menyiratkan bahwa masih ada diskriminasi nyata dalam representasi daerah, khususnya dari wilayah timur Indonesia.

Apa yang Salah dengan Pusat Kekuasaan?

Ketika Jakarta dan pusat kekuasaan lainnya terus mendominasi percaturan politik nasional, daerah-daerah seperti Maluku terpinggirkan. Ini bukan sekadar masalah representasi politik, tetapi juga soal pengakuan terhadap kontribusi dan hak setiap daerah. Bagaimana mungkin Maluku, dengan segala kekayaan sumber daya dan potensinya, tidak pernah dianggap layak memiliki perwakilan di kabinet? Ini adalah penghinaan terhadap kemampuan dan keberadaan putra-putri Maluku yang telah berjuang dan berdedikasi bagi negara.

Pemerintahan yang sehat adalah pemerintahan yang inklusif, yang mampu merangkul seluruh wilayah Indonesia secara adil dan setara. Lebih dari tiga dekade, kabinet-kabinet yang terbentuk seolah-olah hanya milik segelintir elit di Jakarta dan Jawa. Seharusnya, kepemimpinan nasional tidak hanya ditentukan oleh satu pulau atau satu kelompok etnis saja. Maluku, dengan sejarah panjangnya sebagai salah satu wilayah pertama yang mengakui kemerdekaan Republik Indonesia ini, layak mendapatkan tempat di kancah nasional.

Kabinet Indonesia Maju: Retorika Kosong atau Perubahan Nyata?

Kini, di era Kabinet Indonesia Maju yang dipimpin oleh Prabowo-Gibran, kita kembali menantikan apakah perubahan yang dijanjikan hanya akan menjadi sekadar retorika kosong atau benar-benar menghadirkan perwakilan yang merata dari seluruh penjuru negeri. Mengusung nama “Indonesia Maju,” kabinet ini seharusnya menyadari bahwa kemajuan tidak hanya bisa dicapai dengan segelintir pemimpin dari satu wilayah. Indonesia hanya akan benar-benar maju jika setiap daerah, termasuk Maluku, diberi kesempatan yang sama untuk berkontribusi dalam pemerintahan.

Jika Prabowo dan Gibran ingin mencatat sejarah sebagai pemimpin yang mempersatukan dan memperkuat seluruh wilayah Indonesia, maka sudah saatnya mereka melibatkan putra-putri Maluku dalam kabinet mereka. Tidak cukup hanya mendengar aspirasi dari Jakarta dan Jawa, mereka harus mendengar suara dari timur, suara yang sudah terlalu lama dibungkam dan diabaikan. Pengabaian ini hanya akan semakin memperlebar jurang ketidakadilan dan kesenjangan antara pusat dan daerah, yang pada akhirnya akan melemahkan kesatuan bangsa.

Bagaimana Jika Maluku Merdeka?

Dengan segala ketidakadilan yang terjadi, bukan tidak mungkin gagasan kemerdekaan Maluku akan kembali mencuat di kalangan masyarakat. Jika selama 36 tahun Maluku terus diabaikan, apakah artinya kami tidak dihargai sebagai bagian dari Indonesia? Bagaimana mungkin kami diminta setia pada negara yang tidak pernah memberikan ruang bagi kami dalam pengambilan keputusan penting?

Gagasan kemerdekaan memang bukan solusi yang sederhana, tetapi ini adalah konsekuensi logis dari ketidakadilan yang terus-menerus dialami. Jika pemerintah pusat terus menutup mata terhadap kebutuhan dan aspirasi Maluku, maka jangan heran jika wacana pemisahan diri semakin menggema. Maluku memiliki potensi besar untuk mandiri, dengan kekayaan alam yang melimpah dan posisi strategis di jalur perdagangan internasional. Jika kami tidak dianggap penting di Indonesia, mengapa kami tidak mencoba untuk menentukan nasib sendiri?

Waktunya Tindakan Nyata, Bukan Janji-janji Kosong

Sudah saatnya pemerintah pusat berhenti menganggap enteng aspirasi dari Maluku. Bukan hanya soal representasi di kabinet, tetapi juga soal keadilan dan kesetaraan dalam seluruh aspek pembangunan nasional. Jika pemerintah pusat ingin menjaga persatuan dan keutuhan Indonesia, maka mereka harus segera memperbaiki ketidakadilan ini. Maluku dan daerah-daerah lainnya berhak mendapatkan tempat yang layak di kancah nasional, bukan sekadar menjadi penonton dari pinggiran.

Prabowo dan Gibran memiliki kesempatan emas untuk mencatatkan diri mereka dalam sejarah sebagai pemimpin yang benar-benar mewakili seluruh bangsa. Namun jika mereka gagal menyadari pentingnya perwakilan dari Maluku, maka mereka hanya akan melanjutkan siklus diskriminasi dan pengabaian yang sudah berjalan selama 36 tahun. Kita tidak butuh lagi janji-janji kosong, kita butuh tindakan nyata. Maluku harus mendapatkan tempat di kabinet, atau kita akan terus bertanya: Apakah kita masih dianggap sebagai bagian dari Indonesia?

Penulis adalah Aktivis Muda Maluku

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

Share post:

Subscribe

spot_imgspot_img

Popular

Rekomendasi
Terkait

Ketwil PPP Maluku: Menolak Agus Suparmanto Sama Saja Menutup Jalan Bangkit

Ambon,Tajukmaluku.com-Jelang pembukaan Muktamar X Partai Persatuan Pembangunan (PPP), wacana...

Ruko Digerebek, Hartini Bongkar Kelakuan Oknum Polisi Dalam Bisnis Sianida

Ambon,Tajukmaluku.com-Penggerebekan ruko di kawasan Mardika Ambon yang diduga menyimpan...

PLN UP3 Sofifi dengan Pemda Malut Gelar World Cleanup Day 2025

Sofifi,Tajukmaluku.com-Dalam rangka memperingati World Cleanup Day 2025, PLN Unit...

DPRD Maluku Desak BPN Klarifikasi Lahan Bandara Banda

Ambon,Tajukmaluku.com-DPRD Provinsi Maluku meminta Badan Pertanahan Nasional (BPN) segera...