back to top

Keruntuhan Trust: Dari Aksi Massa Menuju Ancaman Supremasi Sipil

Date:

Oleh: Abe Yanlua

Tajukmaluku.com-Sejarah selalu mempunyai cara untuk mengingatkan kita. Situasi yang memanas di tanggal 28 Agustus 2025, disusul eskalasi bentrok, yang diwarnai gas air mata, batu dan bom molotov, setelah kendaraan brimob melindas seorang pengemudi ojol Affan Kurniawan di depan massa protes dan mata kamera. segera para personel diamankan dan diperiksa, namu rasa-rasanya kepercayaan publik (Public Trust), terlanjur mengalami keruntuhan.

Kumpulan Masalah

Gelombang protes yang terjadi hari-hari ini di beberapa kota di Indonesia, memang dialasi oleh beragam persoalan, disonansi yang terjadi dimulai dari persoalan, kemiskinan, lahan pekerjaan, kenaikan pajak, dan kesan elit politik yang mendapatkan keistimewaan di tengah kesulitan ekonomi masyarakat, serta cara komunikasi para anggota DPR terkesan menghina masyarakat. puncaknya kematian Affan Menjadi katalis ledakan kemarahan dari semua persoalan ini.

Aksi masa ini bukanlah merupakan aksi spontan kematian. kematian Affan berfungsi sebagai Focal Point atau Wake-up Call yang mempersatukan narasi ketidak adilan. dalam Teori social Movement, sebuah peristiwa tragis sering kali menjadi Political Opportunity, yang memobilisasi massa dalam sebuah insiden yang melibatkan aparat, dengan cepat akan bertransformasi dari kasus individu menjadi simbol kekerasan negara (State Violence)

Kita tau beberapa tragedi yang kemudian menjadi focal point di antaranya. Tragedi Muhammad Yusuf Kardawi (Yusuf) yang tewas dalam kerusuhan di Tolikara (2021) menjadi simbol ketegangan bernuansa SARA dan memicu gelombang kemarahan. Kematian George Floyd di AS (2020) adalah contoh global bagaimana satu insiden menjadi katalis global bagi gerakan Black Lives Matter melawan kekerasan polisi, menunjukkan pola bagaimana sebuah tragedi personal dapat mendapatkan resonansi universal. Mohamed Bouazizi membakar dirinya sebagai bentuk protes terhadap penyitaan dan dan penghinaan yang dilakukan oleh seorang pejabat. tindakanya ini menjadi awal dari bergulirnya revolusi Tunisia.

Sementara Doug McAdam, seorang profesor sosiologi dari Stanford University yang terkenal dengan teori mobilisasi politik, berargumen bahwa ketidakpuasan yang sudah ada membutuhkan insiden pencetus untuk memobilisasi massa. Insiden itu harus dapat dirangkum dalam sebuah narasi sederhana tentang ketidakadilan yang mudah dipahami dan dikomunikasikan (McAdam, 1982).

Sehingga apa yang terjadi hari-hari ini bukanlah respons spontan terhadap satu kebijakan, melainkan letupan rasa ketidakadilan. Ia menyuarakan keresahan: lemahnya kemampuan bukan hanya lemahnya bahkan pada ketidakmampuan negara dalam memenuhi mandatnya.

Hilangnya kepercayaan Masyarakat (withdrawal of consent)

Protes yang berujung pada aksi amukan massa terhadap Institusi negara, terutama kepada DPR. diakibatkan oleh adanya disonansi, dimana DPR sebagai Perwakilan Rakyat, alih-alih menjadi kanal atau saluran aspirasi masyarakat, justru malah mengalami kemacetan dan terkesan memperkeruh masalah lewat serangkaian komunikasi yang buruk. Ketika saluran formal ini macet atau tidak didengar, jalan satu-satunya yang tersisa bagi rakyat adalah turun ke jalan.

Seperti yang diungkapkan oleh filsuf Jurgen Habermas (1991) tentang public sphere (ruang publik), di mana diskursus publik yang kritis terbentuk di luar institusi negara. Unjuk rasa adalah manifestasi fisik dari ruang publik tersebut, di mana warga secara langsung menyatakan ketidaksetujuannya. begitupun dengan Kematian Affan bukan tragedi personal, melainkan simbol hilangnya jaminan keselamatan warga dari institusi kepolisian yang seharusnya melindunginya.

Dititik inilah dimensi terpenting terletak pada erosi kepercayaan publik Trust. ketika bangunan kepercayaan itu runtuh. maka kohesi sosial akan mengalami keretakan, Masyarakat akan mengambil pilihan non demokratis untuk mengekspresikan ketidakpuasannya bahkan sampai pada taraf perbuatan criminal. Bagi Fukuyama (1995), trust bukan sekadar perasaan interpersonal, melainkan lem perekat masyarakat modern yang kompleks dan prasyarat bagi stabilitas demokrasi dan pertumbuhan ekonomi. Kerusuhan sosial tersebut adalah manifestasi nyata dari erosi trust yang parah terhadap institusi-institusi utama negara.

Persoalan jika kondisi ini terus dibiarkan mengalami Snowball Effect, maka supremasi sipil civilian supremacy bisa saja menjadi taruhannya. Kini ancaman terhadap supremasi Sipil tengah mengintai kita, dan jika alasan ini dijadikan dalil negara untuk menormalisasi peran militer dirana sipil yang dalam pengande Prof Jimly sebagai “Staatsnoodrecht” Berupa hak negara untuk bertindak diluar ketentuan UU dan bahkan apabila diperlukan. sehingga memungkinkan keterlibatan militer dalam mengendalikan massa dengan cara represif, dengan menggunakan senjata dan dan peluru. Kepercayaan publik ambruk, ruang sipil dipersempit, demokrasi tinggal kulit. Supremasi sipil hilang, digantikan kontrol militer di ruang publik.

Ingat kita tidak boleh mengulang sejarah saat keamanan dijadikan dalil untuk menukarnya dengan kebebasan. jika situasi ini terus berlangsung kita semua sudah harus berhitung ulang.*

Penulis adalah seorang pengajar di Universitas Pattimura.

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

Share post:

Subscribe

spot_imgspot_img

Popular

Rekomendasi
Terkait

Ketwil PPP Maluku: Menolak Agus Suparmanto Sama Saja Menutup Jalan Bangkit

Ambon,Tajukmaluku.com-Jelang pembukaan Muktamar X Partai Persatuan Pembangunan (PPP), wacana...

Ruko Digerebek, Hartini Bongkar Kelakuan Oknum Polisi Dalam Bisnis Sianida

Ambon,Tajukmaluku.com-Penggerebekan ruko di kawasan Mardika Ambon yang diduga menyimpan...

PLN UP3 Sofifi dengan Pemda Malut Gelar World Cleanup Day 2025

Sofifi,Tajukmaluku.com-Dalam rangka memperingati World Cleanup Day 2025, PLN Unit...

DPRD Maluku Desak BPN Klarifikasi Lahan Bandara Banda

Ambon,Tajukmaluku.com-DPRD Provinsi Maluku meminta Badan Pertanahan Nasional (BPN) segera...