Ambon,Tajukmaluku.com-Kota Ambon mungkin telah mencapai Universal Health Coverage (UHC) dengan kepesertaan Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) sebesar 97,56%, Namun ada ketimpangan data dan Kepersetaan BPJS. Faktanya, hanya 76% peserta yang aktif, sementara puluhan ribu lainnya terdaftar namun tidak bisa mengakses layanan kesehatan.
Kepala BPJS Kesehatan Kota Ambon, Andi Muhammad Irfan, mengakui bahwa dari total peserta JKN, hanya 76% yang aktif. Salah satu faktor utama adalah segmen Penerima Bantuan Iuran Jaminan Kesehatan (PBIJK) yang dikelola oleh Kementerian Sosial, di mana sekitar 15.000 peserta terdaftar dalam sistem tetapi tidak aktif. Ini mengindikasikan adanya masalah dalam sistem administrasi dan koordinasi antar-lembaga.
Selain itu, data dari Data Terpadu Kesejahteraan Sosial (DTKS) menunjukkan bahwa dari sekitar 95.000 warga yang memenuhi kriteria, hanya 70.000 yang terdaftar dalam BPJS Kesehatan. Ini menyisakan gap 20.000 jiwa yang masih belum tercover. Padahal, Menteri Sosial sebelumnya telah meminta Pemkot Ambon untuk mengusulkan tambahan kuota agar masyarakat miskin bisa segera terdaftar.
Puluhan Ribu Menunggak, Subsidi Tak Efektif
Pemerintah Kota Ambon memang memberikan subsidi bagi peserta BPJS Mandiri kelas 3, di mana dari total iuran Rp42.000, peserta hanya perlu membayar Rp35.000 setelah subsidi dari Pemkot dan pemerintah pusat. Namun, hasilnya jauh dari harapan. Dari sekitar 60.000 peserta BPJS Mandiri di Kota Ambon, hanya 20.000 yang aktif membayar, sementara 40.000 lainnya menunggak.
Fenomena ini mengindikasikasikan ada dua kemungkinan: Pertama, beban iuran masih dianggap terlalu berat bagi masyarakat kelas bawah, meskipun telah disubsidi. Kedua, BPJS Kesehatan gagal memastikan sistem pembayaran yang fleksibel dan ramah bagi peserta. Jika hal ini dibiarkan, maka konsep JKN yang ideal itu hanya sebuah ilusi.
Ketua DPW Persatuan Mahasiswa Pencinta Tanah Air Indonesia (PMPI) Maluku, Risman, menilai bahwa rendahnya angka keaktifan peserta merupakan indikasi ketidakberesan dalam pengelolaan BPJS Kesehatan Kota Ambon. Ia melihat ada kelemahan dalam sosialisasi dan edukasi kepada masyarakat, sehingga banyak yang akhirnya nonaktif tanpa memahami konsekuensinya.
“Bagaimana mungkin kita bicara UHC kalau 76% peserta saja yang aktif? Kemana uang iuran mengalir jika puluhan ribu orang tidak bisa menggunakan hak mereka? selain problem administrasi, hal ini jadi bagian dari kegagalan sistemik yang merugikan masyarakat,” tegas Risman.
Ia juga mempertanyakan gap sebesar 20.000 jiwa dalam DTKS yang tidak terdaftar dalam BPJS, yang mengasikan adanya bentuk pembiaran terhadap hak masyarakat miskin.
Terkait dengan BPJS Mandiri yang mengalami tingkat tunggakan tinggi, Risman mendesak pemerintah daerah dan BPJS Kesehatan untuk mencari solusi inovatif. “Jangan hanya menyalahkan masyarakat yang menunggak. Coba evaluasi sistem pembayaran, adakah mekanisme yang lebih fleksibel? Mungkin ada skema cicilan yang lebih ringan? Jangan biarkan BPJS Kesehatan hanya jadi proyek yang membebani rakyat tanpa solusi nyata,” tambahnya.
Lebih lanjut, ia menuntut transparansi dari BPJS Kesehatan Kota Ambon. Bahwa dana yang dihimpun dari iuran peserta harus dipertanggungjawabkan secara terbuka. Masyarakat berhak mengetahui bagaimana pengelolaan anggaran BPJS, terutama dalam menangani peserta yang nonaktif atau menunggak.
“BPJS Kesehatan harus diaudit secara terbuka! Kami akan gelar demonstrasi di BPK dan Kejaksaan menuntut hal ini, agar masyarakat mendapatkan haknya dan sistem ini benar-benar berjalan sebagaimana mestinya, bukan sekadar angka di atas kertas,” tutupnya.*Redaksi