Ambon,Tajukmaluku.com-Pernyataan Kepala Dinas Pariwisata Provinsi Maluku, Jais Ely, yang menyalahkan Efrita Trifena Lamerkabel dalam polemik Miss Youth Indonesia justru menjadi cermin birokrasi yang tidak empatik, miskin inisiatif, dan gagal membaca arah kepemimpinan.
Polemik finalis Miss Youth Indonesia asal Maluku, Efrita Trifena Lamerkabel, membuka aib lama soal OPD yang hanya sibuk membangun citra, tapi abai pada kerja nyata. Efrita ke Jakarta bukan dengan dukungan Pemerintah Provinsi, tapi dengan menumpang pesawat Hercules TNI. Bukan karena pilihan, tapi karena dinas yang dipimpin Jais Ely menolak memberikan bantuan.
Alih-alih intropeksi, Jais Ely malah melempar tudingan. Ia menyalahkan Efrita karena dianggap tak membangun komunikasi dengan dinas. Pernyataan itu dimuat TribunAmbon.com dan langsung diserbu kritik netizen. Fakta-fakta dibongkar. Netizen menyerang. Keluarga Efrita pun angkat bicara. Mereka sudah mengajukan permohonan dukungan, tapi ditolak.
Blunder Jais Ely adalah pukulan telak bagi Sapta Cita Gubernur Hendrik Lewerissa. Dalam dokumen visi-misi, Hendrik menempatkan peningkatan pelayanan publik sebagai prioritas utama. Tapi yang terjadi, OPD justru mempermalukan anak muda berprestasi secara nasional.
“Pernyataan Jais itu tidak hanya menyederhanakan masalah, tapi juga melukai visi Gubernur Hendrik Lewerissa,” kata Marwan Titaheluw, Direktur Democracy Network for Civil Society (DNCS), kepada Tajukmaluku.com, Senin (21/7/2025).
Menurut Marwan, Kepala Dinas adalah kepanjangan tangan Gubernur. Ketika informasi belum valid dan belum dikroscek, seharusnya Jais Ely menahan diri.
“Pernyataan publik berbasis asumsi itu hanya membentuk opini sesat yang mencederai masyarakat Maluku.” ucapnya.
lanjut Marwan. “Visi Sapta Cita Gubernur Hendrik bicara soal peningkatan pelayanan publik dan reformasi birokrasi juga soal tata kelola pemerintahan yang baik, transparan, dan berpihak pada masyarakat. Bila seorang Kepala Dinas masih mengejar perhatian Gubernur ketimbang melayani publik, itu artinya jabatan dijadikan panggung, bukan tanggung jawab.” Papar, Titaheluw.
Marwan menilai kasus Efrita memperlihatkan bahwa banyak pimpinan OPD di Maluku masih terjebak dalam mentalitas feodal. Mereka tak siap membuka ruang untuk aspirasi masyarakat, apalagi jika tak menguntungkan posisi politik mereka. Di sisi lain, gubernur mesti lebih cermat menentukan siapa yang layak memegang jabatan strategis.
Miss Youth Indonesia hanyalah panggung kecil dari drama besar di tubuh birokrasi Maluku. Tapi cukup untuk menunjukkan siapa yang benar-benar bekerja, dan siapa yang hanya sibuk mencari muka.*(01-FM)