Oleh: Faisal Marasabessy
(Wakil Ketua Gerakan Pemuda Ansor Kota Ambon)
Tak lelah, nafas juang kesejarahan harus terus di hembuskan. Kamis, 10 April 2025 pukul 11.44 WIB, Pemerintah Provinsi Maluku kembali menapak tilas perjuangan pengakuan negara terhadap jasa kepahlawanan tokoh pejuang nasional asal Maluku. Bertempat di Gedung Kementerian Sosial Republik Indonesia, Jakarta Pusat, dokumen pengusulan Abdoel Moethalib Sangadji (A.M. Sangadji) sebagai Calon Pahlawan Nasional diserahkan untuk ketiga kalinya secara berturut-turut sejak 2023.
Penyerahan dilakukan oleh Dra. Jacqueline F. Akyuwen, Kepala Bidang Pemberdayaan Sosial Dinas Sosial Provinsi Maluku. Langkah ini bukan hanya bentuk administratif, tapi refleksi dari konsistensi yang dirawat baik oleh Pemerintah Daerah di bawah kepemimpinan Gubernur Maluku, Hendrik Lewerissa. Pengusulan gelar kepahlawanan kepada A.M. Sangadji menjadi bagian penting bagi HL untuk menghidupkan asa ditengah memori publik yang tumbuh menghadap ke masa depan dan mengabaikan ruang faktual yang diperjuangkan para pendahulu.
Pemimpin yang Menghidupkan Ingatan Sejarah
Di tengah geliat pembangunan fisik dan ekonomi yang tak menentu, Maluku tersandra dalam kebijakan efiensi dari pusat. Gubernur Maluku Hendrik Lewerissa justru menampilkan wajah berbeda dari seorang pemimpin daerah. Ia tampil sebagai figur dengan kesadaran sejarah yang tajam—sebuah kualitas yang makin langka dalam lanskap kepemimpinan saat ini.
Apa yang dilakukan Lewerissa dalam mendorong pengusulan A.M. Sangadji sebagai Pahlawan Nasional sejak awal masa jabatannya bukanlah sekadar kebijakan seremonial. Ia menempatkan memori kolektif masyarakat Maluku sebagai fondasi moral dan politik dalam menjalankan tugas kepemimpinan. Bahwa sejarah, jika dibiarkan redup, berarti membiarkan identitas suatu bangsa memudar.
Langkah Lewerissa sangat terukur dan sistematis. Ia tidak membangun pencitraan lewat wacana populis, melainkan merawat narasi sejarah lewat jalur institusional. Hal ini membuktikan komitmennya melalui kebijakan yang telah dia buat.
Sikap ini selaras dengan semangat ideologis Partai Gerindra yang menaunginya—partai yang menempatkan nasionalisme sebagai nadi perjuangan politik. Nasionalisme, dalam tafsir Lewerissa, bukan slogan kosong, melainkan tindakan konkret untuk mengangkat sejarah bangsanya sendiri, terutama dari daerah yang selama ini terpinggirkan dalam narasi besar Republik.
Bahwa seorang Gubernur dengan latar belakang politik Partai Gerindra—yang selama ini dikenal dengan garis perjuangan kerakyatan dan semangat kebangsaan—justru fokus mengangkat tokoh sejarah dari Maluku, menandai sebuah konsistensi ideologis. Lewerissa membuktikan bahwa membangun bangsa bukan hanya soal jalan dan jembatan, tapi juga tentang meletakkan batu nisan yang layak bagi mereka yang lebih dulu berjuang.
Upaya ini bukan hanya tentang A.M. Sangadji. Ini tentang Maritim Timur yang harus mendapatkan tempat dalam sejarah nasional. Ini tentang bagaimana ingatan sejarah harus ditarik kembali dari pinggiran ke pusat.
Lewerissa sedang mengajarkan satu hal penting: bahwa bangsa yang besar bukan hanya bangsa yang kuat secara ekonomi, tapi juga bangsa yang jujur pada sejarahnya.
A.M. Sangadji: Pejuang dari Timur yang Terlupakan
Abdoel Moethalib Sangadji, atau lebih dikenal sebagai A.M. Sangadji, lahir di Rohomoni, Uli Hatuhaha, Maluku Tengah, pada 3 Juni 1889. Dikenal dengan julukan “Jago Toea”, ia merupakan tokoh sentral dalam Partai Sarekat Islam Indonesia (PSII) bersama H.O.S. Tjokroaminoto dan H. Agus Salim. Namun, berbeda dengan kedua rekannya yang telah diakui sebagai Pahlawan Nasional, A.M. Sangadji hingga kini belum mendapatkan penghargaan serupa dari negara.
Keputusan A.M. Sangadji untuk menolak menjadi Raja di kampung halamannya demi berjuang untuk kemerdekaan Indonesia menunjukkan komitmennya terhadap perjuangan nasional. Ia pernah berkata kepada ayahnya, “Lebih baik berjuang untuk Indonesia Merdeka daripada menjadi Raja.”
A.M. Sangadji aktif menyebarkan ide-ide kebangsaan dan memperjuangkan kemerdekaan melalui berbagai kegiatan politik dan sosial. Ia juga dikenal sebagai pendidik yang mendirikan madrasah di kampung halamannya dan di beberapa daerah lain di Maluku, seperti Desa Iha, Luhu, Ketapang, Olas, dan Ani. Melalui pendidikan, ia berharap dapat menanamkan nilai-nilai nasionalisme kepada generasi muda.
Perjuangannya tidak lepas dari pengawasan dan tekanan pemerintah kolonial. Ia pernah dipenjara oleh Pemerintah Hindia Belanda di Cipinang dan oleh pemerintah fasis Jepang di Samarinda, Kalimantan Timur. Setelah kemerdekaan, A.M. Sangadji dipercaya sebagai Penasehat Kementerian Pertahanan dalam Kabinet Hatta. Namun, pada 8 Mei 1949, ia ditembak mati oleh aktivis PKI di depan rumahnya di Yogyakarta.
Upaya untuk mengakui A.M. Sangadji sebagai Pahlawan Nasional telah dilakukan sejak 2021, dengan dukungan dari DPRD dan Pemerintah Daerah Maluku. Dokumen pengusulan telah disiapkan dan diserahkan ke Kementerian Sosial Republik Indonesia. Namun, hingga kini, keputusan akhir masih menunggu Keputusan Presiden.
Kamil Mony, cicit A.M. Sangadji, telah aktif memperjuangkan pengakuan ini melalui berbagai tulisan dan kegiatan. Ia menekankan pentingnya menghargai kontribusi tokoh-tokoh dari Indonesia Timur dalam perjuangan kemerdekaan.
Jalan Panjang Pengakuan
Proses pengusulan A.M. Sangadji sebagai Pahlawan Nasional telah berlangsung selama lebih dari dua dekade, menandai perjuangan panjang yang melibatkan berbagai pihak di Maluku. Sejak awal 2000-an, keluarga dan masyarakat Maluku telah berupaya mengangkat kembali peran penting Sangadji dalam sejarah kemerdekaan Indonesia.
Pada tahun 2021, Pemerintah Provinsi Maluku, melalui Dinas Sosial dan DPRD, mulai mengintensifkan upaya pengusulan. Rapat-rapat koordinasi antara Komisi IV DPRD Maluku, Dinas Sosial, dan keluarga Sangadji digelar untuk menyusun dokumen pendukung yang diperlukan. Salah satu syarat utama adalah penyelenggaraan seminar nasional yang membahas kontribusi Sangadji dalam perjuangan kemerdekaan. Seminar ini akhirnya dilaksanakan pada 28 Desember 2022 di Aula IAIN Ambon, dengan menghadirkan pemateri dari berbagai institusi, termasuk Rektor Unpatti Ambon, Rektor IAIN Ambon, Rektor UKIM, unsur Kementerian Sosial, dan pakar sejarah nasional dari Jakarta.
Tim Peneliti dan Pengkaji Gelar Daerah (TP2GD) Maluku juga melakukan penelitian di Kalimantan dan Jawa untuk mengumpulkan bukti sejarah mengenai peran Sangadji. Di Kalimantan, ditemukan monumen yang menunjukkan bahwa masyarakat setempat menganggap Sangadji sebagai tokoh pejuang dari daerah mereka, menandakan luasnya pengaruh Sangadji dalam perjuangan kemerdekaan.
Meskipun telah memenuhi berbagai persyaratan administratif dan akademik, pengusulan Sangadji sebagai Pahlawan Nasional masih menghadapi tantangan. Kamil Mony, cicit Sangadji, menyatakan bahwa perjuangan ini telah berlangsung selama 20 tahun tanpa hasil yang konkret, dan menekankan perlunya keseriusan dari Pemerintah Provinsi Maluku dalam mendorong pengusulan ini ke tingkat nasional.
DPRD Maluku, melalui Komisi IV, terus berkomitmen mendukung pengusulan ini. Mereka telah mengalokasikan anggaran untuk mendukung kegiatan-kegiatan yang diperlukan dalam proses pengusulan, termasuk seminar nasional dan penyusunan dokumen pendukung. Wakil Ketua Komisi IV periode 2019-2024, Rovik Akbar Afifudin, menekankan pentingnya kolaborasi antara DPRD, Dinas Sosial, dan keluarga Sangadji untuk memastikan pengusulan ini dapat segera diajukan ke Kementerian Sosial.
Menutup tulisan singkat ini, penulis berharap semoga secepatnya gelar kepahlawan itu disematkan untuk Jago Toea Abdul Moethalib Sangadji. Amin.