Catatan Redaksi Tajukmaluku.com
“Tak ada yang lebih tahu luka Maluku selain putra daerahnya. Hanya anak negeri yang tahu cara menjahit luka kampungnya sendiri.”
Kalimat itu menjelma lirih kala para putra daerah dipercaya menduduki jabatan strategis di provinsi yang dikepung banyak luka: geografis, fiskal, dan politik.
Iqbal Tamher, putra Maluku Tenggara ini mengemban amanah sebagai Kepala Balai Pelaksana Jalan Nasional ((BPJN) Maluku. Baru pertama kali seorang putra daerah memegang amanah ini. Tak mudah memang, belum genap satu tahun menjabat Kepala BPJN Maluku, ia harus terseok oleh kebijakan efisiensi anggaran dari pusat.
Satu demi satu rencana besar mesti ditunda. Beberapa yang telah masuk tahap perencanaan, bahkan terancam stagnan. Bukan karena ketiadaan roadmap, melainkan soal realitas: uang negara sedang dipangkas untuk membayar utang. Maluku, seperti biasa, tak jadi prioritas.
Di luar kantor, bisik-bisik mulai terdengar. Tudingan bahwa BPJN stagnan. Bahwa Iqbal Tamher tak cukup progresif dan tak layak untuk jabatan strategis ini. Beberapa bahkan menyerang identitasnya sebagai “orang Maluku” yang dianggap tak lebih dari simbolisasi lokal tanpa produktivitas yang berarti.
Narasi-narasi tendensius itu seperti menabrak tembok sunyi. Iqbal lebih memilih menggelar peta dan membuka data. Menyusun prioritas. Memetakan kembali kerentanan wilayah. Menganalisis jalur logistik vital di Pulau Seram, menelusuri rute lama yang rusak di Buru, dan menimbang ulang konektivitas antara Maluku Tengah dan Tenggara.
Narasi sinis yang dibangun di beberapa media terhadap Iqbal hingga suara mikrofon dari para demonstran yang berulang kali bergema di jalan Putuhena seolah menafikan medan kerja yang sedang dihadapi. Mereka lupa bahwa Maluku bukan Pulau Jawa. Jalan di sini dibangun bukan di atas dataran subur, melainkan di lereng rawan longsor, di atas lahan gambut, dan di antara aliran sungai liar yang belum sepenuhnya dipetakan. Biaya satu kilometer jalan di Maluku bisa setara dengan membangun tiga kilometer jalan di Pulau Sumatera. Tapi laporan BPK dan anggaran tetap memakai angka seragam nasional.
Sosok Iqbal mengingatkan pada jejak yang pernah ditinggalkan Muhamat Marasabessy, Kepala Balai Wilayah Sungai (BWS) Maluku periode 2012–2016.
Sebagai teknokrat lokal, Marasabessy menulis sejarah infrastruktur air di Maluku dengan tinta keberanian dan strategi. Bendungan Way Apu, yang kini menjadi Proyek Strategis Nasional (PSN), adalah hasil lobi Marasabessy ke pemerintah pusat. Proyek itu menembus pusat setelah dua tahun proposalnya ditolak dengan alasan beban fiskal. Ambon Waterfront City, kawasan reklamasi dan perlindungan pantai yang hari ini dihuni RS Leimena dan Mapolda Maluku, bermula dari fondasi teknis yang ia siapkan dalam skema berjenjang sejak 2013. Program Ambon Flood Control, dimulai dari pembangunan cek dam di Petra dan Rinjani, telah menghapus kenangan buruk banjir tahunan di Batu Merah.
Apa yang dijalani Iqbal hari ini sebagai “jalan sunyi seorang anak negeri.” yang tak hanya bekerja sebagai insinyur, tapi juga sebagai duta untuk memohonkan keadilan anggaran dari Jakarta.
Posisi Strategis dan Visi Pertahanan
Iqbal sadar bahwa menjual narasi pembangunan infrastruktur di Maluku hanya dari kacamata ekonomi tidak cukup. Ia lalu menyusun pendekatan geopolitik. Bahwa harus melihat Maluku sebagai wilayah pertahanan nasional di jantung Indo-Pasifik. Dalam dokumen Grand Design Pertahanan Negara 2020–2024, Kementerian Pertahanan menetapkan Maluku sebagai salah satu poros logistik strategis Indonesia bagian timur. Pulau-pulaunya menjadi titik sandar alami yang menopang arus pelayaran global dari Laut Banda hingga Pasifik Barat.
Narasi tersebut sejalan dengan Asta Cita Prabowo Subianto, presiden terpilih yang menempatkan infrastruktur pertahanan sebagai fondasi pembangunan nasional. Tentu saja pendekatan ini jadi jalan tengah untuk mengangkat derajat pembangunan Maluku ke arena nasional.
Namun semua itu tetap tak menyingkirkan problem paling klasik: UANG. Tahun 2024 hingga triwulan pertama 2025, BPJN Maluku hanya menerima realisasi anggaran sebesar 62 persen dari kebutuhan ideal. Efisiensi pusat berdampak pada skema pemeliharaan dan pelebaran jalan nasional di Seram Utara dan Maluku Tenggara Barat. Program jembatan gantung di pulau-pulau kecil juga tertunda.
Belum lagi tantangan teknis:
Lebih dari 60 persen jalur jalan nasional di Maluku dibangun di atas tanah labil dan batuan muda vulkanik yang mudah longsor.
43 sungai besar aktif di wilayah Maluku belum memiliki sistem pengendalian banjir terpadu.
Cuaca ekstrem dan topografi pegunungan mempersulit mobilisasi alat berat dan material.
Dalam sebuah laporan internal yang berhasil diperoleh redaksi, terdapat 19 titik rawan longsor di jalan nasional Seram yang hingga kini belum tersentuh perbaikan akibat keterbatasan anggaran tahun berjalan.
Saat sebagian publik Maluku menagih hasil instan dari kerja pembangunan, Iqbal Tamher tahu bahwa ia sedang berjalan di medan yang tak semua orang mau tempuh. Jalan yang penuh jebakan politis, keterbatasan fiskal, dan ekspektasi publik yang membuncah. Ia tetap memilih menyusun jalan satu demi satu. Karena baginya, menjadi anak negeri bukan soal nostalgia. Tapi soal tanggung jawab.
Dalam perenungan bisa jadi hati kecilnya berkata:
“Beta seng bisa bikin semua jalan mulus. Tapi beta bisa mulai, dari jalan yang bisa bikin orang kampung seng susah pulang.” *(01-F)