Dalam sela-sela acara pelantikan pengurus ICMI Maluku periode 2025 – 2030 pada tanggal 27 Januari kemarin, Gubernur Maluku terpilih Hendrik Lewerissa saat pidatonya menyampaikan bahwa beberapa pokok pikiran tentang strategi pembangunan provinsi Maluku yang akan terus di akselerasi untuk menyambut cita-cita Pembangunan Maluku 2045, dengan konsep hilirisasi perikanan.
Maluku merupakan salah satu provinsi yang terletak di bagian timur Indonesia dan mempunyai potensi perikanan melimpah, namun belum berbanding lurus dengan daya saing industri pengolahannya. Berada pada tiga Wilayah Pengelolaan Perikanan (WPP), yaitu WPP 714, 715, dan 718, membuat potensi ikan di wilayah perairan Maluku adalah yang terbesar di Indonesia dengan persentase sebesar 37% atau 4,39 juta ton per tahun (Kementerian Kelautan dan Perikanan Republik Indonesia, 2022).
Tidak hanya berasal dari perikanan tangkap, wilayah Maluku juga merupakan lingkungan strategis untuk lahan budidaya perikanan yang saat ini masih belum optimal dikembangkan, dimana pemanfaatan lahan budidaya laut masih 5%, budidaya air payau 3,5%, dan budidaya air tawar di bawah 2% (Dinas Kelautan dan Perikanan Provinsi Maluku, 2021). Posisi vital Maluku untuk sektor perikanan juga terlihat dari sempat dipilihnya provinsi tersebut untuk pembangunan Lumbung Ikan Nasional (LIN) yang ditargetkan selesai pada tahun 2023. Namun, karena beberapa kendala, proyek tersebut akhirnya belum bisa dilanjutkan.
Potensi perikanan Maluku tidak diragukan, bahkan digadang sebagai poros maritim nusantara. peluang ekonomi tersaji di depan mata. Namun, ada berbagai tantangan yang menanti diselesaikan. Perlu ada kebijakan komprehensif dari hulu hingga hilir supaya kita bisa berdaya dan sejahtera melalui sektor perikanan yang melimpah ini.
Hilirisasi/industrialisasi perikanan rakyat layak menjadi master plan. Ini bisa mendatangkan manfaat yang luar biasa bagi masyarakat Maluku umumnya. Tetapi konsep hilirisasi harus perlu kehati-hatian dalam menentukan kebijakan pembangunan agar tidak berdampak secara ekonomi dan sosial ke masyarakat nantinya menjadi merugi. Kemudian pengembangan potensi ekonomi sektor potensial yang memberikan kontribusi terbesar terhadap kemajuan ekonomi daerah merupakan prioritas kebijakan yang harus dilaksanakan dan pendapatan daerah merupakan sumber penerimaan yang harus dikelola dengan baik untuk menunjang pembangunan daerah.
Pendapatan Asli Daerah (PAD) merupakan faktor pendukung proses pembangunan daerah dimana melalui pendapatan asli daerah (PAD) pemerintah daerah mampu membiayai berbagai pengeluaran yang dilakukan oleh daerah dan pada dasarnya bertujuan untuk kemajuan daerah.
Persoalan Masalah
Dalam beberapa dekade terakhir, kondisi wilayah pesisir Indonesia menghadapi berbagai ancaman serius. Eksploitasi berlebihan terhadap sumber daya alam, pencemaran lingkungan, degradasi ekosistem, abrasi pantai, dan dampak perubahan iklim telah mengakibatkan penurunan kualitas lingkungan pesisir secara signifikan. Kondisi ini diperparah dengan meningkatnya tekanan demografis dan aktivitas pembangunan yang tidak memperhatikan daya dukung lingkungan.
Data dari Kementerian Kelautan dan Perikanan menunjukkan bahwa lebih dari 35% terumbu karang Indonesia berada dalam kondisi rusak, sementara luas hutan mangrove terus mengalami penyusutan setiap tahunnya. Hal ini berdampak langsung pada penurunan hasil tangkapan ikan dan pendapatan masyarakat nelayan. Jika tidak segera diatasi, degradasi lingkungan pesisir ini dapat mengancam keberlanjutan mata pencaharian masyarakat pesisir dan ketahanan pangan nasional maupu Maluku.
Faktanya, pemanfaatan belum dilakukan secara optimal. Produksi perikanan tangkap di laut Maluku pada 2021 hanya mencapai 4,5 juta ton atau 37%. masalah menghampiri masyarakat Maluku dan wilayah kelautannya. Mulai dari ekosistem laut yang tercemar, fasilitas melaut termasuk keselamatan nelayan yang belum memadai, jerat tengkulak yang mencekik, ketersedian pasar penjual tidak baik, proses pengolahan yang masih minim, hingga ancaman kapal asing.
Beberapa wilayah laut di Maluku juga diduga tercemar limbah pertambangan seperti gunung botak di pulau buru. Pencemaran ini akan mengganggu kualitas hidup masyarakat, berpotensi merusak ekosistem perairan, pun kualitas hasil tangkapan akan menurun. Yang paling dirasakan nelayan, ikan menjauh ke tengah laut. Hanya kapal bertonase besar yang mampu menjangkau dengan jarak jauh. Sayangnya, kebanyakan nelayan kita justru tidak memilikinya. Demi melaut dan mendapat penghasilan, mereka harus menyewa kapal sesuai ukuran yang dibutuhkan. Selain waktu, nelayan perlu mengeluarkan ekstra biaya operasional untuk bahan bakar minyak (BBM) dan persediaan selama melaut begitu besar, kemudian masalah keselamatan nelayan yang sering diabaikan patut diperhatikan. Mereka kerap menerjang gelombang tinggi dengan peralatan dan perlengkapan melaut seadanya. Banyak kasus nelayan hilang yang biasanya dengan sampan/kapal kecil sering terjadi di perairan provinsi Maluku.
Kemudian sering terjadi 10 tahun terakhir kejahatan Kebijakan transhipment atau alih muat ikan ditengah laut membuat ikan tidak lagi didaratkan di pelabuhan sekitar provinsi Maluku, yang berdampak pada kekurangan bahan baku di sektor hilir maupun pendapatan daerah dari sisi pelayanan jasa retribusi pelabuhan perikanan, ini yang menyebabkan provinsi maluku memiliki kerugian sangat besar selama ini. Selanjutnya setiba di darat, masih ada masalah. Karena kapal sewaan, maka hasil tangkapan dibagi dengan pemilik kapal. Selebihnya, biasanya harus dijual ke tengkulak karena mereka berutang biaya operasional untuk melaut. Harga jual lebih sering rendah dibanding harga pasar. Apesnya lagi, harga pasar pun tidak melulu bagus. Kadang mereka tak punya pilihan selain menjualnya, karena cold storage terbatas.
Masalah masih berlanjut. Sebagian besar warga belum mengolah hasil perikanan yang punya nilai tambah. Mimpi hilirisasi/industrialisasi (modernisasi) pengolahan hasil perikanan masih jauh dari harapan. Ada keterbatasan pengetahuan dan persoalan orientasi serta keberpihakan kebijakan pemerintah (termasuk modal dan fasilitas). Selama ini, pengolahan ikan hasil tangkapan biasanya monoton hanya berujung di dapur saja, belum ada inovasi signifikan untuk mengolahnya menjadi olahan yang menarik dan berkelas.
Tak hanya ancaman dari dalam negeri, ancaman juga datang dari luar negeri. Kapal berbendera asing dengan tonase besar kerap tertangkap basah mengambil ikan di wilayah perairan Indonesia, termasuk Maluku. Potensi perikanan dikeruk. Imbasnya, nelayan sulit mendapat ikan apalagi dengan gerakan pendorongan LIN dan ANP sebagai privatisasi laut menambah buruknya ekonomi Masyarakat pesisir yang harus bersaing dengan nelayan Perusahaan yang skala besar.
Kini pemerintah hendak menerapkan sistem kuota dengan nama Sistem Kontrak WPPNRI. Instrumen ini adalah fakta empiris perampasan laut (ocean grabbing). Di dalamnya melibatkan aktor negara dan korporasi nasional maupun asing. Mereka nantinya menguras sumber daya ikan di WPPNRI. Saya menduga instrumen baru dan rancangan kelembagaannya bakal menjustifikasi privatisasi sektor perikanan.
Regulasi yang Sudah Ada
Melalui regulasi/kebijakan pemerintah. Terkait pembuangan (dumping) limbah pabrik ke wilayah perairan, Indonesia mengatur dalam Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor 6 Tahun 2021 tentang Tata Cara dan Persyaratan Pengelolaan Limbah Bahan Berbahaya dan Beracun. Tidak semua limbah dapat dibuang ke laut, hanya limbah dengan kriteria tertentu. Setiap orang yang melakukan pembuangan limbah ke laut wajib memiliki persetujuan dari Pemerintah.
Banyak regulasi juga sudah mengatur tentang keselamatan nelayan. pertama ada Undang-Undang (UU) No. 45 Tahun 2009 tentang Perikanan, UU No. 7 Tahun 2016 tentang Perlindungan dan Pemberdayaan Nelayan, Pembudidaya Ikan, dan Petambak Garam, Peraturan Pemerintah No. 51 Tahun 2002 tentang Perkapalan, dan lainnya.
Regulasi-regulasi itu mencakup tipe-tipe kapal untuk melaut, peralatan dan perlengkapan yang harus ada di kapal, dan lainnya. Terkait kapal asing, Indonesia cukup melindungi perairan kita dengan sejumlah regulasi yang melarang pengambilan ikan di wilayah perairan Indonesia. Sebut saja, UU Nomor 31 Tahun 2004 tentang Perikanan, UU Nomor 45 Tahun 2009 tentang Perubahan Atas UU Nomor 31 Tahun 2004 tentang Perikanan, UU Nomor 5 Tahun 1983 tentang Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia, dan lainnya. Regulasi tersebut mengatur larangan, sanksi pidana, penenggelaman, serta hal lain.
Sayangnya, politik kebijakan regulasi tersebut belum cukup memberi perlindungan nyata karena pengimplementasiannya masih belum dirasakan oleh nelayan kita secara menyeluruh. Perlu ada komitmen dan konsekuen dari pemerintah untuk menjalankan regulasi-regulasi tersebut. Bahkan sering terjadi privatisasi pulau pulau kecil di wilayah tangkap di Maluku.
Kemudian Untuk terbebas dari tengkulak, pemerintah provinsi juga bisa menghidupkan kembali Koperasi Unit Desa atau (KUD) untuk nelayan dan warga lainnya. Supaya mereka bisa lebih aman dalam hal pinjam-meminjam keuangan, sehingga tidak bergantung tengkulak.
Pemanfaatan secara Optimal
Melimpahnya potensi di sektor perikanan ini perlu diseriusi, dimanfaatkan secara optimal supaya bisa menghidupkan masyarakat. Melirik negara tetangga, Vietnam, kita bisa melakukan hilirisasi dan industrialisasi hasil perikanan yang serupa. Vietnam sudah stabil dan merasakan manisnya rantai global pengolahan dan penjualan hasil perikanan.
Mengacu data Vietnam Fishing Industry Report (2019), pada 2021 hasil ikan laut tangkap Vietnam adalah 47% dari total hasil perikanan keseluruhan. Pada 2020 mencapai 3.700.300 miliar ton dan angka ekspor perikanannya begitu mencengangkan, mencapai 1.548.255 miliar ton sejumlah 8.514.592.000 dolar Amerika. Ada sekitar 160 negara tujuan ekspor—Jepang, Tiongkok, Amerika Serikat, dan lainnya.
Menyadari potensi wilayahnya bisa mendatangkan ekonomi bagi negara dan warganya, Vietnam menciptakan ekosistem pengolahan dan penjualan hasil perikanannya dengan begitu rapi. Olahannya beragam meliputi produk mentah, setengah jadi, dan jadi seperti tuna kaleng, minyak ikan, makanan ringan, dan sejenisnya. Vietnam memahami bahwa industri ini adalah skala besar. Supaya bisa bersaing secara global dan berkelanjutan, kuncinya terletak pada kualitas ekspor yang perlu dipertahankan/ditingkatkan. Kiat-kiat hilirisasi/industrialisasinya bisa kita pelajari pemerintah Maluku.
Monitoring dan evaluasi harus melibatkan masyarakat juga perlu dikembangkan. Sistem monitoring berbasis masyarakat yang mengintegrasikan pengetahuan lokal dengan metode ilmiah dapat memberikan data yang lebih komprehensif tentang kondisi ekosistem pesisir dan efektivitas program pengelolaan. Data ini penting untuk pembelajaran dan perbaikan program secara berkelanjutan, Aspek budaya dan kearifan lokal perlu diintegrasikan dalam setiap tahapan pengelolaan. Nilai-nilai budaya dan praktik tradisional yang telah terbukti efektif dalam menjaga kelestarian lingkungan perlu dilestarikan dan diperkuat. Hal ini juga penting untuk memastikan keberlanjutan program dan penerimaan masyarakat. Selain itu, lembaga adat dan organisasi masyarakat pesisir perlu diperkuat agar mampu menjalankan peran dalam pengelolaan wilayah pesisir secara efektif. Penguatan kelembagaan ini mencakup aspek organisasi, manajemen, dan kemampuan teknis.
Transfer pengetahuan antar generasi perlu difasilitasi untuk memastikan keberlanjutan program. Generasi muda perlu dilibatkan dalam berbagai kegiatan pengelolaan dan diberi kesempatan untuk belajar dari pengalaman generasi sebelumnya, sambil mengembangkan inovasi baru yang sesuai dengan tantangan masa kini.
Harapan Masyarakat Maluku
Untuk mempercepat pertumbuhan ekonomi, dan pengembangan sektor perikanan di butuhkan faktor-faktor pendukung seperti, Infrasturktur jalan, Kesehatan, Pendidikan, penambahan Pelabuhan perikanan, penyedian akses jaringan di setiap desa pesisir, infrastruktur produksi dan distribusi barang, terdapat jaminan pasok bahan baku, tersediannya sumber daya energi dan harga pasar kompetitif, SDM yang handal, peningkatan penggunaan teknologi, perbaikan kontrol politik mata rantai pasar dari pemerintah Provinsi Maluku. Selam ini pemerintah Provinsi Maluku sangat lemah dalam kontrol politik sehingga daya saaing masyarakat sangat lemah karena kebijakan kebijakan masih belum berpihak terhadap masyarakat, pertemuan gubernur maluku bersama pimpinan daerah di magelang semoga menjadi diskusi yang bukan hanya sekedar di meja bundar, tetapi harus ada kebijakan yang membentuk kesejahtraan masyarakat Maluku.
Akselerasi Pembangunan perikanan dengan nilai tambah dapat di laksanakan melalui pengembangun pusat perikanan, serta mendorong partisipasi dunia usaha masyarakat Maluku dalam Pembangunan menuju peningkatan daya saing lebih baik, Menuju Maluku Pung Bae.
Yatsrib Akbar Sowakil, Penulis adalah anak muda Bumi Bupolo