Ambon,Tajukmaluku.com-Pernyataan kontroversial Lilis, yang menyebut patung Pahlawan Nasional Dr. Johanes Leimena sebagai “Tete Momo” memicu perbincangan di kalangan warga net Maluku. Istilah “Tete Momo” sendiri merupakan istilah lokal yang memiliki konotasi negatif sebagai sebutan untuk hantu atau momok dalam tradisi budaya Maluku. Ucapan lilis itu pun ditanggapi Sosiolog Maluku DR. A. Manaf Tubaka.
Sebutan ‘Tete Momo’ dalam konteks budaya lokal memang mengacu pada sesuatu yang bersifat negatif, seperti hantu atau momok. Namun, ada sisi lain yang dapat dimaknai secara figuratif sebagai kritik terhadap sesuatu yang dianggap berlebihan,” ujar Tubaka
Namun, dalam konteks penyebutan terhadap patung Pahlawan Nasional Dr. Johanes Leimena, Tubaka menilai tindakan Lilis sebagai “out of context”. “Sebagai konten kreator, seharusnya ia lebih hati-hati. Sebutan ini tidak mendidik, tidak bernilai edukatif, dan justru menghilangkan nilai estetik. Lebih parah lagi, ini menunjukkan kurangnya pemahaman tentang pentingnya menghormati tokoh nasional,” tegasnya.
Dosen Pascasarjana Prodi Sosiologi Agama IAIN Ambon ini juga menyoroti gap literasi budaya yang masih menjadi persoalan di kalangan Generasi Z (Gen Z). Menurutnya, kejadian ini bisa menjadi momen reflektif bagi generasi muda untuk memahami bahwa pahlawan nasional seperti Dr. Johanes Leimena adalah sosok yang memiliki kontribusi besar bagi bangsa. “Kejadian ini membuka pintu bagi upaya meningkatkan literasi budaya. Generasi muda harus belajar bahwa tokoh nasional bukanlah objek sembarangan untuk candaan atau lelucon,” tambahnya.
Lebih lanjut, Ketua ICMI Orda Kota Ambon ini juga menyebut penggunaan istilah “Tete Momo” terhadap pahlawan nasional tidak hanya melukai sensitivitas budaya masyarakat Maluku, tetapi juga menciptakan reaksi tajam dari berbagai kalangan. “Lilis harusnya menyadari bahwa istilah ini punya arti khusus dalam ingatan kolektif masyarakat Maluku. Ketika istilah itu disematkan pada tokoh nasional, wajar jika banyak pihak merasa tersinggung,” ujarnya.
Kontroversi ini, menurut Tubaka, seharusnya menjadi pembelajaran bagi para konten kreator untuk lebih peka terhadap nilai-nilai budaya dan sejarah, terutama dalam membahas figur publik yang memiliki makna mendalam bagi bangsa. “Kritik dan kreativitas itu penting, tetapi harus dilakukan dengan menghormati konteks dan nilai-nilai yang ada,” tutupnya.*Redaksi