back to top

Kucing di Pangkuan Kekuasaan: Nilai Bobby, Lebih Tinggi Dari Harga Diri Orang Maluku (Sebuah Refleksi)

Date:

Oleh: Faisal Marasabessy

Di jendela dingin berdiri lampu-lampu kota menyisakan wajah lelapnya malam. Diantara jalan-jalan dan bangku-bangku kota, beberapa orang dibiarkan tidur dalam kelaparan, sementara beberapa hewan peliharaan orang kaya begitu pulas kekenyangan di atas kingkoil.

Bobby begitu sapaannya, ia mungkin adalah wajah dari pesona kekuasaan, yang mencerminkan kesan ‘kehidupan yang tenteram’ di lingkaran elit politik. Pada beberapa kesempatan, Bobby sering terlibat aktif di sosial media bersama Prabowo Subianto. Jika Prabowo Subianto adalah presiden republik Indonesia, maka bobby adalah presiden untuk para kucingnya. Di lain tempat pada ruas tubuh Timur Indonesia terutama Maluku, bahkan untuk membayangkan sulit rasanya mendapatkan akses setara dari pusat kekuasaan yang dinikmati Bobby.

Perlu diingat, Maluku adalah monumen, yang pernah menjadi momentum dalam merubah arah lintasan sejarah bangsa ini. Namun posisi tawar Maluku selalu berada pada derivasi kedua, dan terkesan menjadi figuran. Akibatnya, kendati Maluku memiliki resources yang cukup bahkan melimpa, justru dalam pengelolaannya seringkali menciptakan ketidakadilan. Sumber daya yang diharapkan dapat dikelola untuk memberikan dampak Trickle down effect terhadap pertumbuhan ekonomi Maluku malah menciptakan kerutan pada wajah-wajah yang dihiasi beragam jenis merek skincare dengan harga murah. Yang juga tak cukup untuk membeli sampoh si Bobby.

Diskriminasi Itu Nyata

Diskriminasi terhadap orang Maluku bukanlah hal baru. Dari sejarah konflik sektarian hingga kebijakan ekonomi yang tidak berpihak pada rakyat, masyarakat Maluku telah lama merasa terpinggirkan dari narasi pembangunan Indonesia.

Diskriminasi kerap terselubung dalam sikap paternalistik dari pemerintah pusat. Masyarakat Maluku dipandang sebagai “objek” pembangunan, bukan subjek yang berhak menentukan masa depannya sendiri. Dalam banyak kasus, suara orang Maluku hanya dianggap penting selama masa pemilu, di mana janji-janji politik dihamburkan tanpa realisasi yang jelas setelahnya. Cerita pilu tentang itu bisa kita baca diberbagai media.

Di tengah situasi ini, kita harus bertanya: Apakah kucing Bobby yang duduk nyaman di pangkuan Prabowo setiap hari memiliki hak-hak yang lebih besar daripada orang-orang Maluku yang terus berjuang untuk mendapatkan kesejahteraan?

Pertanyaan diatas bukan sekadar sentimen emosional melainkan sebuah refleksi dari betapa jauhnya kesenjangan keadilan yang dialami masyarakat Maluku dalam narasi nasional.

Menggugat Narasi Pusat

Opini ini bukanlah soal iri hati terhadap Bobby, melainkan sebuah gugatan terhadap ketimpangan yang nyata antara pusat dan daerah. Orang Maluku tidak meminta untuk diperlakukan seperti kucing peliharaan; Mereka hanya ingin keadilan yang setara sebagai warga negara yang sah dan berhak. Namun, ketika seekor kucing bisa mendapatkan lebih banyak sorotan, perhatian, dan kenyamanan daripada manusia-manusia yang hidup di daerah yang kaya namun terpinggirkan, maka kita harus menggugat narasi besar yang sedang dimainkan di atas panggung politik nasional.

Pusat kekuasaan di Jakarta seringkali tidak mampu (atau tidak mau) melihat kenyataan yang ada di luar Jawa. Orang-orang Maluku, Papua, dan daerah-daerah timur lainnya tetap dilihat sebagai periferi yang tidak signifikan. Jika ada sumber daya yang bisa diambil, maka eksploitasi dilakukan tanpa pertimbangan terhadap kesejahteraan jangka panjang masyarakat setempat. Jika ada konflik, solusinya hanyalah pendekatan militeristik. Sementara itu, di ruang-ruang kekuasaan, figur-figur seperti Bobby dengan mudah menjadi maskot yang menyimbolkan kehidupan yang serba terjamin.

Diskriminasi Ini harus Berakhir

Orang Maluku, seperti halnya daerah-daerah lain di Indonesia, harus mendapatkan hak yang setara dalam akses terhadap sumber daya, pendidikan, kesehatan, dan partisipasi politik. Mereka bukan objek yang bisa dieksploitasi atau dipinggirkan. Jika perhatian lebih diberikan kepada seekor kucing daripada kepada masyarakat yang terus berjuang di tengah ketidakadilan, maka jelas ada yang salah dengan prioritas bangsa ini.

Perjuangan untuk keadilan tidak boleh berhenti hanya di panggung politik pusat. Masyarakat Maluku harus terus mengorganisir diri, memperjuangkan hak-haknya, dan menggugat sistem yang tidak adil ini. Keadilan bukanlah soal siapa yang lebih dekat dengan kekuasaan, tetapi soal siapa yang mendapatkan hak-haknya sebagai manusia dan warga negara. Bobby mungkin tidak bersalah, tetapi simbolisme yang ia bawa mencerminkan ketidakadilan yang harus segera kita perbaiki.

Saatnya Indonesia bangkit dari narasi ketimpangan ini. Jika kita terus membiarkan situasi ini terjadi, maka bukan hanya harga diri orang Maluku yang ternoda, tetapi juga martabat seluruh bangsa. Sebuah bangsa yang adil tidak akan pernah menganggap binatang peliharaan lebih penting daripada rakyatnya sendiri.

Penulis adalah Djong Ambon Kontemporer

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

Share post:

Subscribe

spot_imgspot_img

Popular

Rekomendasi
Terkait

Ketwil PPP Maluku: Menolak Agus Suparmanto Sama Saja Menutup Jalan Bangkit

Ambon,Tajukmaluku.com-Jelang pembukaan Muktamar X Partai Persatuan Pembangunan (PPP), wacana...

Ruko Digerebek, Hartini Bongkar Kelakuan Oknum Polisi Dalam Bisnis Sianida

Ambon,Tajukmaluku.com-Penggerebekan ruko di kawasan Mardika Ambon yang diduga menyimpan...

PLN UP3 Sofifi dengan Pemda Malut Gelar World Cleanup Day 2025

Sofifi,Tajukmaluku.com-Dalam rangka memperingati World Cleanup Day 2025, PLN Unit...

DPRD Maluku Desak BPN Klarifikasi Lahan Bandara Banda

Ambon,Tajukmaluku.com-DPRD Provinsi Maluku meminta Badan Pertanahan Nasional (BPN) segera...