Tajukmaluku.com-Pengesahan revisi Undang-Undang Tentara Nasional Indonesia (UU TNI) dan Undang- Undang Kepolisian Negara Republik Indonesia (UU Polri) adalah sebuah kemunduran serius dalam tatanan hukum dan demokrasi di Indonesia.
Secara yuridis normatif, revisi ini bertentangan dengan prinsip negara hukum yang menjamin supremasi
sipil dan membatasi peran aparat bersenjata dalam kehidupan politik serta pemerintahan sipil.
Secara historis, kita telah melihat bagaimana dominasi militer dan kepolisian dalam urusan sipil di era Orde Baru menciptakan rezim yang represif, membungkam kritik, serta menutup ruang demokrasi. Alih alih belajar dari kesalahan masa lalu, revisi ini justru membuka jalan bagi kembalinya otoritarianisme dalam wajah baru yang lebih sistematis.
Salah satu aspek paling berbahaya dalam revisi UU TNI adalah diperbolehkannya perwira aktif menduduki jabatan sipil. Ini bukan sekadar perubahan administratif, melainkan langkah mundur yang mengancam prinsip supremasi sipil, yang menjadi pilar utama dalam sistem demokrasi modern.
Konstitusi Indonesia, melalui Pasal 30 ayat (3) UUD 1945, telah secara tegas memisahkan peran TNI dan Polri, di mana TNI berfungsi dalam pertahanan negara, sedangkan keamanan dalam negeri menjadi kewenangan kepolisian.
Reformasi 1998 telah menegaskan pemisahan ini sebagai bagian dari upaya menghapus praktik Dwi Fungsi ABRI, yang selama Orde Baru menjadi alat utama dalam menindas oposisi politik dan gerakan
rakyat. Dengan disahkannya revisi ini, pemerintah justru membuka kembali celah bagi militer untuk mencampuri urusan pemerintahan sipil, yang dapat berujung pada semakin kaburnya batas antara militer dan kekuasaan politik.
Sementara itu, revisi UU Polri semakin memperkuat impunitas aparat kepolisian, yang selama ini telah dikenal dengan tindakan represifnya terhadap masyarakat sipil. Alih-alih memperkuat mekanisme akuntabilitas dan transparansi dalam kepolisian, revisi ini justru mengurangi kontrol publik serta memperbesar potensi penyalahgunaan kekuasaan.
Secara historis, kita telah menyaksikan bagaimana kepolisian menjadi alat negara untuk menekan kritik terhadap pemerintah, membungkam aksi massa, dan menindak aktivis dengan dalih keamanan nasional. Dengan disahkannya revisi ini, kepolisian semakin sulit untuk diawasi dan semakin leluasa dalam menggunakan kekuatan represif tanpa konsekuensi hukum yang jelas.
Kemunduran demokrasi ini tidak bisa dilepaskan dari meningkatnya represi terhadap kebebasan pers, yang seharusnya menjadi pilar utama dalam sistem negara hukum. Teror terhadap jurnalis Tempo baru-baru ini adalah bukti nyata bahwa rezim saat ini semakin tidak toleran terhadap kritik dan transparansi. Ketika jurnalis menjadi target serangan dan intimidasi hanya karena menjalankan tugasnya dalam mengungkap kebenaran, maka negara ini telah kehilangan arah sebagai negara demokrasi.
Oleh karena itu, secara pribadi, penulis mengutuk keras segala bentuk teror, intimidasi, dan kekerasan terhadap jurnalis! Serangan terhadap jurnalis bukan hanya pelanggaran terhadap kebebasan pers, tetapi juga serangan brutal terhadap hak masyarakat untuk mendapatkan informasi yang jujur dan transparan. Ini adalah tindakan pengecut yang mencerminkan ketakutan rezim terhadap kebenaran!
Revisi UU TNI dan UU Polri serta meningkatnya serangan terhadap kebebasan pers harus dipahami sebagai bagian dari strategi besar untuk mengonsolidasikan kekuasaan secara represif. Ini bukan hanya soal perubahan regulasi, tetapi juga bagian dari agenda politik yang bertujuan untuk mempersempit ruang demokrasi dan melemahkan kontrol publik terhadap negara. Ketika militer kembali diizinkan masuk ke ranah sipil, kepolisian semakin kebal hukum, dan jurnalis menjadi target kekerasan, kita sedang menyaksikan kembalinya politik otoritarian dalam bentuk yang lebih terselubung.
Demokrasi tidak akan bertahan jika rakyatnya diam dan membiarkan penguasa bertindak sewenang-wenang. Kita harus menolak normalisasi militerisme, menuntut akuntabilitas aparat, serta memastikan bahwa kebebasan pers tetap terjaga. Jika revisi ini dibiarkan tanpa perlawanan, maka kita sedang menuju era di mana hukum bukan lagi menjadi instrumen keadilan, melainkan senjata bagi penguasa untuk menindas rakyatnya. Kita tidak bisa tinggal diam-kita harus melawan, sebelum semuanya terlambat.
Zidni Ilman Warnangan, Penulis adalah Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Pattimura Ambon.