War Is Peace. Freedom Is Slavery, Ignorance Is Strength (George Orwell dalam 1984)
Perang adalah Perdamaian, Kebebasan adalah perbudakan, ketidakpedulian adalah kekuatan, begitulah kalimat paradox Orwell guna mengolok-olok, mengejek kekuasaan yang gemar berperang. Paradox sendiri merupakan pikiran yang ingkar terhadap kenyataan. Sementara bagi Plato kondisi paradox hanya akan dialami oleh mereka yang terpenjara oleh pikiran sendiri. Paradox juga merupakan ajakan untuk keluar dari cara pikir itu-itu saja.
Pada akhirnya hari-hari ini muncul paradox pada tubuh pemerintahan. Jika melihat Kebijakan efisiensi anggaran yang digunakan oleh presiden Prabowo melalui Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 1 Tahun 2025 dan diperjelas melalui Surat Menteri Keuangan Nomor S-37/MK.02/2025.
Paradox Efisiensi-Kabinet
Kendati dampak dari kebijakan efisiensi anggaran ini berhasil menghemat Rp 306,69 triliun dalam APBN 2025. Besarnya target penghematan anggaran justru menunjukan ada yang salah dengan proses perencanaan dan penggaran dalam birokrasi Indonesia selama ini, jika bukan karena perencanaan dan tata kelola yang buruk selama ini, niscaya kebijakan efisiensi di tahun 2025 tak ada.
Jika melihat angka dari kebijakan efisiensi anggaran, jumlah ini sangat berpeluang untuk meningkatkan stabilitas ekonomi, jika kemudian anggaran ini dialokasikan kepada proyek-proyek strategis terhadap pembangunan nasional, 2025.
Sayangnya efisiensi anggaran di awal pemerintahan ini, dinilai tidak serius mengingat jika melihat postur kabinet yang tidak hanya gemoi tapi juga gendut di tambah staf khusus kepresidenan dan beberapa penambahan para staf menteri, justru tidak membawa pesan efisiensi anggaran.
Padahal dengan sistem meritokrasi dan birokrasi yang rasional, memungkinkan efisiensi operasional dan pengelolaan sumberdaya akan jauh lebih baik, dengan struktur birokrasi atau kabinet yang lebih ramping seperti Amerika serikat dan beberapa negara lainnya. Sehingga dampak dari efisiensi anggaran dapat meningkatkan pelayanan publik dan kebutuhan nasional.
Dampak Paradox Legitimasi
Max Weber, mendaku suatu rezim politik itu sah berarti bahwa para pesertanya memiliki keyakinan atau iman tertentu, untuk patuh, terhadap setiap sistem otoritas (legitimasi). Weber juga menekankan sebuah kepatuhan harus dituntun berdasarkan birokrasi rasional, termasuk dalam efisiensi anggaran.
Kendati kebijakan efisiensi anggaran dinilai populis, yang diharapkan mampu menaikan kepercayaan masyarakat terhadap pemerintah. Namun jika tidak dikelola dengan hati-hati dengan prosedur yang tepat. justru akang menghilangkan tingkat kepercayaan dan legitimasi publik.
Lugasnya hasil dari efisiensi anggaran dana tersebut dialihkan, untuk memenuhi program Makan Bergizi Gratis. proyek presiden jika tidak dilihat berdasarkan kebutuhan justru akan memunculkan reaksi reaksonis, sebagaimana beberapa hari yang lalu terjadi di papua.
Selain itu Pemangkasan anggaran atau efisiensi anggaran pemerintah yang diharapkan untuk semakin mendukung penguatan sektor pendidikan. Apalagi ada mandatory spending minimal 20 persen yang wajib ditunaikan oleh pemerintah, sebagaimana termaktub dalam Pasal 31 UUD 1945. Dari total anggaran pendidikan tahun 2025 yang mencapai Rp 724 triliun, Kemendikdasmen mendapat alokasi 4,63 persen atau Rp33,5 triliun. Ini menjadi paradox besar.
Lain sisi hal ini berpotensi menimbulkan masalah sosial . Pengurangan anggaran di sektor tertentu, terutama subsidi atau bantuan sosial, bisa memicu ketidakpuasan publik yang berdampak pada stabilitas politik. Efek jangka panjangnya bisa berimbas pada melemahnya legitimasi politik pemerintah.
Kalau sudah begini, ada benarnya paradox kalimat akhir Orwell “Ignorance Is Strength”, ketidakpedulian adalah kekuatan.
Muh Akbar Yanlua (Abe Yanlua), Penulis adalah Pengajar di Universitas Pattimura. Anggota Lembaga Hikmah & Kebijakan Publik (LHKP) Pimpinan Wilayah Muhammadiyah Maluku (2022-2027)