Oleh: Abe Yanlua
“Love looks not with the eyes, but with the mind”
-William Shakespeare
Pagi cerah semilir angin bulan oktober berhembus membawa pesan musim hangat, saya hendak menemui seorang kerabat dosen pada fakultas ekonomi Universitas Pattimura, yang baru saya kenali beberapa hari lalu, dan sepanjang perjalanan, jalan-jalan kota dihiasi poster dan baliho para politis, dengan berbagai slogan dan tagline, yang lebih mirip brosur barang tidak laku. Sungguh alangkah menderitanya menjadi tua dengan kenangan masa muda yang berisi janji indah para politisi.
Setibanya disana, saya diajak berjalan di halaman fakultas yang dihuni dengan para pedagang dengan beragam jajanan, ia memesan segelas minuman dan sepiring gorengan. Di lain sisi tak jauh dari tempat kami berdua, terlihat seorang mahasiswa atau lebih layak sebagai seorang pemuda tampan yang tengah siap dengan seikat bunga, untuk mengutarakan cintanya serta janji-janji yang hendak dijaminkan atas nama masa depan, dihadapan seorang perempuan yang ia cintai.
But unfortunately Cinta itu seringkali seperti politik, anda bisa bermain-main dengan cinta begitu juga dengan politik, mungkin ini yang menjadi alasan bell hooks pernah menuliskan “yang menulis tentang cinta jarang sekali berkutat pada praktiknya, dan bahkan cenderung fokus pada penerimaan cinta, alih-alih pemberian cinta atau ketiadaan cinta” (All About Love: New Visions. 2000). Meski pada akhirnya sang perempuan menerima cinta si pemuda, tetapi iya lupa kalau cinta ini memang buta.
Ruang Publik, Sesat Pikir
Pilkada 2024 kini memasuki momentum strategis, yaitu masa kampanye yang menghadirkan Public Space, sebagai tempat perjumpaan wacana dan narasi politik antara kandidat dan masyarakat, atau di antara sesama masyarakat. Setidaknya dalam rekam Hendri Lefebvre dalam The Production of space. Bahwa ruang publik dibentuk melalui interaksi sosial, hubungan kekuasaan, dan simbolisme yang tercermin dalam kehidupan sehari-hari, setidaknya di dalam perspektif ini, dapat diandaikan bahwa ruang publik, dipenuhi dengan makna yang diciptakan oleh dialektika antar-aktor-aktor politik, serta masyarakat. Sehingga lanskap politik kita akan terbentuk berdasarkan narasi yang di produce kedalam ruang publik.
Tentu kita berharap para kandidat mampu memanfaatkan situasi ini dengan memproduksi wacana dan narasi yang bermutu, terukur dan rasional, serta ide-ide yang pada gilirannya akan menjadi janji yang diharapkan mampu menjawab masalah kedaerahan seperti, masalah kesejahteraan, infrastruktur, lahan pekerjaan pendidikan kesehatan, sampai pada kemiskinan. Ketimbang mendominasi mekanisme kampanye melalui serangkaian alat peraga kampanye (baliho, poster, bendera, dll), orasi monolog, sampai penggunaan buzzer di media sosial semata. Semua itu tidak akan menghadirkan ruang-ruang politik yang deliberatif dalam membincangkan isu-isu daerah yang sangat strategis dan fundamental bagi masyarakat.
Nah alih-alih memproduksi diskursus politik dengan ekosistem yang rasional, Ruang Publik kita seperti mengalami sesat pikir, untuk memunculkan perdebatan yang bersifat substansi, visi-misi, dan kebutuhan ruang public, dengan kata lain kita tidak mampu menciptakan argumentasi alternative yang dominan ke arah pembangunan, sebab Public Space kita sedari awal sudah disuguhi hegemoni wacana tidak bermutu dari para politisi, para tim pemenang dan para juru kampanye, seperti isu dan wacana kesamaan identitas, suku, ras, kedaerahan, Geografi dan agama.
Pada gilirannya situasi ini akan melahirkan preferensi pemilih yang tidak didasari pada visi-misi yang jelas. Bila merujuk argumentasi yang dibangun seorang akademisi Prancis Michel Foucault bahwa politik (kekuasaan) tidak pernah bisa dilepaskan dari pengetahuan dan/atau sebaliknya pengetahuan menghasilkan kekuasaan. Melalui Power/Knowledge (1980), Faucault berusaha menunjukkan relasi kekuasaan dan pengetahuan. Melalui rezim wacana, yang dominan, kekuasaan itu bersifat menyebar dan berada di mana-mana (omnipresent), yang terdapat dalam setiap relasi sosial dan perebutan ruang publik. sehingga perilaku masyarakat ditentukan melalui narasi-narasi atau paradigma yang berkembang. pada akhirnya keterpilihan calon akan didasari pada identitas, suku, ras, kedaerahan, Geografi dan agama. dalam Pilkada 2024, bukan pada visi-misi dan ide yang terukur dan visioner. Pada akhirnya, pertanyaannya adalah kapan sesat pikir ini akan disudahi ?
Ruang Publik Sebagai Wahan Tindakan
Di pertengahan abad 20, Hannah Arendt seorang perempuan dengan penuh pesona yang menghiasi cakrawala ilmu politik. Dengan mengadopsi pikiran ini, ia mengandaikan ide akan pholih, Res-Publica, atau Ruang Publik, sebagai wahana tindakan, Sebab bagi Arend sendiri, politik harus dipahami sebagai sebuah “tindakan” yang kemudian disebutnya sebagai Vita Activa. Vita Activa adalah suatu keadaan dimana manusia mendapatkan eksistensinya sebagai warga negara, yang tidak hanya menjalani aktifitas keseharian hidup.
Artinya setiap warga negara harus ikut berpartisipasi di dalam Ruang Publik Pilkada kita, guna merancang kehidupan bersama, baik melalui ide, opini, narasi, wacana, hingga perasaan akan cinta dipercakapkan bahkan diperjumpakan. Pada titik ini lah Vita Activa memungkinkan kemunculan ruang publik sebagai wahana tindakan. dengan kata lain tindakan membutukan ruang publik dan ruang publik memungkinkan tindakan itu disalurkan.
Bahwa pholih atau Res Publica yang merupakan hal-hal yang menyangkut rakyat memungkin masyarakat atau warga negara, untuk bertindak atau ikut berpartisipasi dalam menarasikan wacana dan opini kearah visi pembangunan dan kesejahteraan. Ketimbang berkutat pada narasi kedaerahan suku dan agama. Pada titik ini pilkada sebagai arena Ruang Publik tidak hanya menentukan siapa yang nantinya terpilih tetapi juga melahirkan praktik kebudayaan yang menopang tiang demokrasi nantinya. Francis Fukuyama sendiri dalam bukunya The Great Disruption (1999). Demokrasi agar bisa berhasil membutuhkan dukungan budaya yang dimiliki bersama. Kebudayaan yang dimaksud adalah kebudayaan berdialektika untuk membangun wacana dan narasi yang bermutu, visioner dan membangun.
Ruang publik merupakan wahana tindakan yang memungkinkan perseteruan argumentasi terjadi dalam kondisi kesetaraan. Habermas menggambarkan bahwa ruang ini meliputi infrastruktur nyata dan norma-norma yang mendukung dan memungkinkan kritik-kritik politik diperbincangkan. Di mana panduannya adalah argumentasi rasional dan diskusi kritis yang menjadikan kekuatan argumen menjadi lebih penting dibandingkan dengan identitas, agama suku ras, dan kedaerahan. Selain itu Pemerintah daerah yang terpilih nantinya melalui pilkada bisa saja akan merumuskan bahkan menetapkan kebijakan, berdasarkan wacana dan narasi dominan.Untuk itu, menjadi sangat penting masyarakat sedari awal hadir untuk memproduksi wacana, narasi dan ide yang lebih produktif ke arah kesejahteraan dan keadilan.
Mungkin ini juga yang menjadi alasan mengapa Shakespeare menulis “Love looks not with the eyes, but with the mind” untuk mengajak kita memilih melalui pemikiran rasional. Sebab sedari awal cinta memang buta dan karena itu ia tidak memiliki mata.
Penulis adalah Pengajar di Universitas Pattimura