
Ishak R. Boufakar bicara tentang maraknya penebangan sagu dan lenyapnya peran perempuan dalam tata kelola pangan di Seram Timur.
Wawancara Tajukmaluku.com
Senin, 26 Mei 2025 |
Pada 24 Mei lalu, Ketua HKTI Seram Bagian Timur menyebut harga jual batang sagu hanya Rp50 ribu. Ia menilai harga itu terlalu murah dan menyengsarakan petani. Tapi di kampung-kampung penghasil sagu, cerita itu sudah lama terdengar. Penebangan sagu terjadi setiap hari, tanpa skema budidaya, tanpa pelibatan perempuan, dan tanpa perhatian dari lembaga formal.
Tajukmaluku.com mewawancarai Ishak R. Boufakar, mahasiswa Kajian Budaya Unhas, yang meneliti praktik jual beli sagu dan eksklusi perempuan dalam pengelolaan sumber daya alam di Seram Timur. Berikut petikan wawancara yang dilakukan melalui sambungan daring pada Ahad sore, 25 Mei 2025.
Bagaimana Anda melihat pernyataan Ketua HKTI yang menyebut harga batang sagu terlalu murah?
Itu pernyataan yang normatif dan datang terlambat. Di kampung, warga sudah bertahun-tahun menjual sagu dengan harga segitu. Mereka tahu itu murah, tapi kebutuhan ekonomi memaksa. Pernyataan seperti itu tidak menyentuh akar masalah: tidak ada kontrol, tidak ada perlindungan, dan tidak ada alternatif selain menjual.
Apakah penjualan sagu ini termasuk praktik eksploitatif?
Iya, dalam banyak aspek. Sagu ditebang dalam jumlah besar, tapi tidak ada upaya penanaman kembali. Padahal sagu itu bukan seperti pisang. Ia tumbuh 10 sampai 15 tahun, dan hanya berbunga sekali. Begitu ditebang, dia mati. Tidak ada yang tanam lagi. Ini pembiaran yang sistematis.
Apa yang Anda temukan soal peran perempuan dalam tata kelola sagu?
Justru itu yang mengkhawatirkan. Perempuan yang dulu memegang pengetahuan dan praktik pengolahan sagu, kini nyaris tidak dilibatkan dalam keputusan menebang. Transaksi jual beli sagu didominasi laki-laki. Perempuan hanya tahu ketika batang sagu sudah hilang dari dusun.
Apa dampaknya bagi keberlanjutan pangan lokal?
Sagu itu pangan pokok di Seram Timur. Tapi sekarang, karena sagu dijual besar-besaran tanpa kendali, warga mulai tergantung pada beras dari luar. Padahal beras harus dibeli. Ini menggeser orientasi ekonomi dan mengguncang keamanan pangan lokal. Hutan sagu hilang, dan ketergantungan pada pasar meningkat.
Apakah Anda melihat adanya kebijakan yang melindungi sagu dan masyarakat adat?
Nyaris tidak ada. Tidak ada regulasi lokal tentang perlindungan kawasan sagu, tidak ada peta wilayah yang jelas, dan tidak ada skema reboisasi. Bahkan pemerintah tidak tahu berapa jumlah batang sagu yang ditebang tiap bulan. Semua berjalan atas nama “pasar”.
Dalam kerangka studi budaya dan ekologi politik feminis, bagaimana Anda membaca fenomena ini?
Ini bukan hanya soal harga atau soal ekonomi semata. Ini soal relasi kuasa yang saling berkelindan—antara negara, pasar, dan struktur patriarki dalam masyarakat adat. Dari kacamata ekologi politik feminis, kita melihat bagaimana perempuan mengalami eksklusi ganda: mereka dikeluarkan dari pengambilan keputusan, dan sekaligus kehilangan akses terhadap sumber daya yang dulu mereka kelola. Ini bukan sekadar ketimpangan ekonomi, tapi bentuk ketidakadilan ekologis yang berpijak pada ketimpangan gender dan relasi kuasa yang timpang dalam tata kelola alam.
Apa yang perlu dilakukan untuk menghentikan krisis ini?
Pertama, hentikan penebangan masif. Kedua, buat peta wilayah sagu dan tetapkan zona lindung. Ketiga, dorong skema budidaya sagu dengan melibatkan perempuan. Dan terakhir, rekognisi terhadap pengetahuan lokal—terutama yang dikuasai perempuan—harus jadi pijakan kebijakan.
Anda sempat menulis bahwa menjual sagu Rp50 ribu itu seperti menukar sejarah dengan dua bungkus rokok. Bisa dijelaskan?
Ini benar-benar dari lapangan. Sagu itu tumbuh liar, mereka tidak menanam secara sistematis seperti tanaman lain. Butuh waktu puluhan tahun sampai batang itu siap dipanen. Tapi karena kebutuhan uang cepat, satu batang sagu yang sudah tumbuh puluhan tahun itu dijual murah sekali, cuma sekitar Rp50 ribu—setara dua bungkus rokok. Uang itu cepat habis, tapi pohon sagu butuh minimal 10-15 tahun untuk tumbuh kembali, dan itu belum tentu tumbuh di tempat yang sama. Jadi, yang hilang bukan cuma nilai ekonomi, tapi juga warisan ekologis dan sosial yang tak tergantikan.
Apakah Anda optimis perubahan bisa terjadi?
Optimisme saya sangat bergantung pada bagaimana suara perempuan di kampung mulai didengar kembali. Selama ini, suara mereka sering tenggelam di tengah hiruk-pikuk transaksi dan kepentingan pasar. Namun, saya melihat ada gerakan kecil yang menjanjikan, seperti komunitas-komunitas belajar dan komunitas film Wanusinema yang aktif mengangkat isu ini. Mereka mulai menolak praktik pernikahan dini dan berupaya melestarikan warisan sagu sebagai sumber kehidupan. Dari sana, saya yakin harapan untuk perubahan bisa tumbuh dan berkembang.
Profil Narasumber:
Ishak R. Boufakar adalah mahasiswa Program Pascasarjana Cultural Studies di Universitas Hasanuddin. Ia tengah menulis tesis tentang resistensi perempuan pengolah sagu terhadap eksklusi struktural dalam tata kelola sumber daya di Seram Timur. Penelitiannya dilakukan melalui pendekatan Ekologi Politik Feminis selama tiga bulan di lima desa di Seram Timur.