Banda,Tajukmaluku.com-Kasus kepemilikan tanah di Banda Naira menyeret nama mantan Bupati Maluku Tengah, Abdullah Tuasikal. Lahan yang sejak lama ditetapkan sebagai zona hijau dan penyangga bandara, kini berstatus sertifikat pribadi atas nama Tuasikal dan kerabatnya.
Aksi protes pun terjadi, masyarakat Banda punya ingatan panjang. Sejak 1975–1976, mereka dengan sukarela meninggalkan kawasan itu karena pemerintah menegaskan fungsinya sebagai zona hijau. Tidak ada satu orang pun yang membantah, sebab masyarakat paham bahwa itu untuk kepentingan negara.
Namun kini, keputusan itu justru menjadi luka sejarah. Tanah yang dulu dikorbankan untuk kepentingan publik itu, kini justru diklaim milik pribadi elit politik.
“Tidak ada satupun warga yang pernah mengklaim tanah itu. Bagaimana bisa keluar sertifikat atas nama pejabat? Itu yang membuat masyarakat dan mahasiswa marah besar,” tegas aktivis Saipul Karmen. Jumat, (19/10/2025).
Saipul menegaskan, lahan tersebut sempat diberikan Hak Guna Usaha (HGU) kepada PT Laguna Biru, namun sudah dikembalikan ke negara.
“Ini jelas penyalahgunaan jabatan. Tanah negara dialihkan menjadi milik pribadi,” ujarnya.
Sementara Din Arsyat, tokoh masyarakat setempat berbeda pandangan. Menurutnya, pembangunan di kawasan itu justru bermanfaat dan tidak mengganggu masyarakat.
“Sertifikat tanah itu sudah ada atas nama Abdullah Tuasikal, begitu juga Ijin Mendirikan Bangunan (IMB). Jarak lokasi pembangunan juga 70–80 meter dari wilayah ritual adat. Jadi tidak ada yang diganggu. Kata Arsyat.
Bahkan menurutnya pembangunan itu bertujuan baik. Yakni mencegah abrasi dan tidak merusak ekosistem laut.
“Daerah itu hamparan pasir, bukan terumbu karang. Jadi tak ada yang dirusak. Bahkan sebelumnya sudah ada pembangunan, dan masyarakat tidak mempermasalahkannya. Tambahnya.
Pernyataan Arsyat itu langsung dibantah oleh Saipul Karmen, aktivis yang menolak keras klaim kepemilikan pribadi di kawasan itu. Menurutnya, persoalan utamanya bukan jarak ritual adat, tetapi asal-usul sertifikat yang ia anggap sarat manipulasi.
“Kawasan itu dulu ditetapkan sebagai lahan terbuka hijau dan zona bandara. Masyarakat bahkan rela direlokasi ke Dusun Tanah Rata, demi mendukung program pemerintah. Tidak ada satupun warga Banda yang pernah mengklaim tanah itu, apalagi mengurus sertifikat. Jadi bagaimana bisa tiba-tiba keluar sertifikat atas nama pejabat,” ujar Saipul.
Ia menyingkap sejarah panjang tanah tersebut. Pada masanya, kawasan itu sempat diberikan Hak Guna Usaha (HGU) kepada PT Laguna Biru, namun dibebaskan kembali karena kebutuhan zona hijau. Sejak itu tanah kembali ke negara. Tetapi, belakangan masyarakat dikejutkan dengan fakta pahit tanah justru sudah berganti kepemilikan pribadi.
“Ini jelas-jelas kongkalikong eks pejabat Maluku Tengah. Permainan kotor. Tanah negara yang harusnya dijaga untuk kepentingan umum, dialihkan menjadi milik pribadi. Ini pengkhianatan terang-terangan,” tegasnya
Ia memperkirakan, lahan yang diklaim Tuasikal sekitar 1–2 hektare, sementara sisanya dimiliki oleh kerabat dan koleganya. Semuanya dengan dalih untuk perikanan dan pabrik es.
Yang membuat kecurigaan semakin menguat adalah waktu penerbitan sertifikat yang diduga terjadi saat Abdulah Tuasikal masih menjabat sebagai bupati malteng. Jika dugaan ini benar, maka kasus ini bukan lagi sekadar konflik tanah, tetapi penyalahgunaan jabatan untuk memperkaya diri dan kroni.
“Inilah wajah gelap birokrasi kita. Elit memakai kekuasaan untuk memindahkan tanah negara menjadi harta pribadi. Dan itu dilakukan di atas pengorbanan masyarakat yang dulu rela direlokasi. Kalau ini dibiarkan, Banda akan jadi contoh nyata bagaimana negara kalah di hadapan mafia tanah,” Ujarnya.
Masyarakat dan mahasiswa kini menuntut agar tanah tersebut dikembalikan sesuai master plan awal: lahan terbuka hijau dan zona penyangga bandara. Mereka juga mendesak DPR untuk memanggil Badan Pertanahan Nasional (BPN) dan mengusut tuntas proses penerbitan sertifikat tersebut.
“Tidak boleh ada kompromi. Tanah ini harus dikembalikan ke fungsi awal. DPR harus buka mata, aparat penegak hukum harus turun tangan. Kalau tidak, rakyat akan kehilangan kepercayaan total kepada negara,” Tutup Saipul.*(01-F)