Ambon,Tajukmaluku.com-Abdul Ajiz Siolimbona, Dosen Program Studi Ilmu Kelautan Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Universitas Khairun Ternate beberkan pandangannya terkait kebijakan pengalihan utang terhadap pengelolaan kawasan konservasi di Kecamatan Banda, Maluku Tengah.
Dimana, sekitar 6,3 juta hektar kawasan konservasi terumbu karang di Banda tengah menjadi alat negosiasi Pemerintah Pusat untuk membayar sebagian utang dari total nilai 35 juta dolar AS ke Amerika Serikat.
Menurut Siolimbona, kebijakan itu harus mempertimbangkan asas manfaat bagi masyarakat setempat.
Dijelaskan, salah satu tujuan penetapan kawasan konservasi adalah menjaga keanekaragaman hayati. Tingginya keanekaragaman hayati akan menjadi daya tarik bagi wisatawan, baik lokal maupun mancanegara. Hal ini akan berdampak pada meningkatnya kunjungan wisatawan.
“Untuk itu pemberdayaan masyarakat untuk meningkatkan kapasitas dalam pengelolaan kawasan wisata penting dilakukan. Hal yang selama ini terjadi adalah karena kurangnya perhatian bagi peningkatan kapasitas masyarakat sehingga seringkali guide, translator, operator dan pengelola resort adalah orang dari luar Banda dan Maluku, bahkan dari luar negeri,” kata Siolimbona kepada Tajukmaluku.com, Senin (25/8/2025).
Lanjut Siolimbona, masyarakat Banda belum menjadi pemain kunci. Untuk itu perlu dilakukan peningkatan kapasitas (Capacity Building) bagi masyarakat lokal, baik dari segi soft skill ataupun hard skill.
Hal ini demi mengatasi rendahnya SDM yang dibutuhkan dalam pengelolaan kawasan wisata termasuk soal kualitas pengawasan dan komunikasi yang harus ditingkatkan.
“Hal yang umum terjadi di sejumlah kawasan konservasi laut di Indonesia adalah kurangnya armada pengawasan, jaringan komunikasi yang minim serta infrastruktur penunjang yang kurang memadai. Hal ini berdampak pada kurang maksimalnya pengawasan dan penegakan hukum bagi pelaku pelanggaran. Untuk itu perlu ada perhatian serius bagi infrastruktur vital di kawasan konservasi. Pengawasan tak akan berjalan dengan baik jika jaringan komunikasi, armada pengawas, atau bahkan aparat pengawas jarang berada di lokasi,” terangnya.
Untuk pengalihan utang ke kawasan konservasi, Siolimbona menyebut pemerintah harus dapat memastikan bahwa kebijakan itu tidak mengancam mata pencaharian nelayan setempat.
Penutupan area laut untuk kawasan konservasi sebaiknya mempertimbangkan area yang menjadi zona penangkapan nelayan (Fishing Ground) sehingga masyarakat masih bisa mengakses sumber makanan dari laut dan juga menjadi sumber pendapatan bagi keluarga.
“Sumber utama mata pencaharian masyarakat Banda umumnya adalah nelayan. Untuk itu, pengalihan hutang untuk kawasan konservasi harus memastikan tak mengancam mata pencaharian nelayan,” tuturnya.
Selain itu, kebijakan ini juga tidak boleh mengesampingkan kearifan lokal, karena masyarakat Banda telah menjalankan praktek konservasi berbasis masyarakat adat yang disebut Sasi.
Hal ini dapat dijumpai di kepulauan Banda, seperti di Pulau Ai.
“Penetapan kawasan konservasi harus memastikan ritual adat dan budaya, yang dilakukan dilaut tidak terganggu. Perlu ada langkah-langkah kolaboratif yang melibatkan masyarakat adat dalam mengelola kawasan konservasi. Kalaupun hal itu telah berjalan, maka perlu ditingkatkan,” ujar Siolimbona.
“Sebagai penutup, Saya menyampaikan apresiasi atas kebijakan skema pengalihan hutang menjadi pengelolaan kawasan konservasi, namun kita harus memastikan kebijakan ini berdampak pada peningkatan perekonomian, peran serta kesadaran masyarakat akan lingkungan. Pengelolaan lingkungan yang baik adalah yang di satu sisi menjaga keberlanjutan sumberdaya alam dan di sisi lain meningkatkan kualitas kehidupan masyarakat, utamanya masyarakat setempat,” tandasnya.* (03-M)