Oleh: Ripal Pattimahu
27 November 2024 begitu dinanti-nanti, baik oleh para calon kandidat kepala daerah, para pemerhati politik, pun rakyat. Beragam varian dan upaya satu per satu telah dikerahkan, salah satunya adalah dengan berkampanye di hadapan mata publik dan media.
Kampanye pilkada atau kampanye politik merupakan sebuah kegiatan yang dilakukan kandidat partai untuk meyakinkan pemilih. Caranya dengan menawarkan visi, misi, program dan atau citra diri dari kandidat itu sendiri. Tujuan utamanya adalah untuk memengaruhi opini dan pilihan supaya bisa mendukung calon atau partai politik tertentu. Kampanye juga menjadi salah satu alat untuk memobilisasi massa dan menggaet suara-suara pemilih.
Sebagaimana yang juga dilakukan di negara-negara distrik federal ( sebut saja Amerika Serikat ) seperti parade surat kabar, pamflet, sampai berpidato. Hal yang sama juga sering dilakukan di berbagai daerah di Indonesia pada saat musim pra-pemilihan. Momentum kampanye juga telah menjadi tradisi politik pada ajang Pemilihan umum (PEMILU) maupun Pemilihan kepala daerah (PILKADA).
Selain penawaran visi, misi, program, melalui pamflet, surat kabar, dan media digital. Para kandidat juga sering mendatangi berbagai daerah-daerah bahkan desa-desa terpencil yang ada di Maluku. Kedatangan itu tidak lain adalah untuk menarik simpatisan warga, utamanya adalah warga yang memiliki hak pilih dalam Pilkada mendatang.
Di Maluku, ikatan kekeluargaan maupun persaudaraan sudah menjadi darah daging yang mungkin masih sangat kental di benak setiap generasi. Pada saat berkampanye, ucapan-ucapan yang seringkali kita dengar seperti (kakek saya dari desa ini, nenek saya dari desa ini, orang tua saya memiliki kaitan darah dari daerah ini), menjadi pintu masuk dan jalan untuk menarik simpatisan masyarakat, ditambah dengan penggaungan simbol-simbol budaya, membuat juru kampanye semakin tampil percaya diri & merasa empati dihadapan publik. Di sinilah genealogi itu menjadi terpolitisasi.
Realitas politisasi genealogi di Maluku juga telah mengakibatkan ketimpangan sosial, bahkan dalam ruang yang kecil pun (keluarga). Semuanya terjadi karena disebabkan oleh sekelompok orang yang cenderung menjadikan jubah genealogisasi sebagai upaya dalam memenuhi hasrat berpolitik. Sekali lagi, genealogi terpolitisasi.
Genealogi sebagai sebuah istilah untuk menjelaskan asal-usul kekelurgaan & hubungan persaudaraan, seolah-olah menjadi momentum musiman yang dinanti-nanti dan menjadi wacana yang marak dan ramai sekali diperbincangkan pada perhelatan pesta politik lima tahun sekali. Nuansanya juga tidak kalah berbeda dengan budaya jumpa Pela & Gandong terkhususnya di Maluku. Hanya saja dia agak berbeda dari segi mekanisme tatanan lokal.
Penulis tidak bermaksud untuk memisahkan antara kampanye Politik & Genealogi, namun penulis ingin membangun kesadaran bahwa berbicara tentang genealogi, tidak cukup sampai pada saat momentum PILKADA maupun PEMILU saja, yang realitasnya sangat memungkinkan untuk merusak citra kekeluargaan & hubungan persaudaraan.
Penulis adalah Mahasiswa FKIP Universitas Darussalam Ambon