back to top

Ketika Maluku Cuma Jadi Alamat Domisili Nono Sampono

Date:

Catatan Redaksi

Saya ingat betul, beberapa tahun lalu membaca The Rebel (Pemberontakan) sebuah esay panjang Albert Camus. Seorang visonaris-progresif dan pengkritik Marx. Camus meneliti hubungan pemberontakan, revolusi, dan tindakan kekerasan, serta implikasinya terhadap pemahaman manusia tentang kebebasan dan makna hidup. Semangat, Camus adalah kebebasan. Satu prinsip etik manusia untuk bebas mengelola sumber daya alam. Laut, tambang dan sumber daya politik. Para elit yang berlaga adikuasa harus dilempar dari panggung-panggung rakyat. Tugas seorang diplomat rakyat, harus memastikan politik itu berpihak pada suara-suara yang membelanya

GELOMBANG krisis sosial dan lingkungan yang menghantam Maluku akhir-akhir ini, satu nama yang nyaris tak terdengar gaungnya dalam memperjuangkan nasib rakyat adalah Nono Sampono. Ironisnya, bukan karena beliau tidak punya panggung—tapi karena beliau memilih diam. Atau lebih tepatnya: sibuk di ruang lain, ruang bisnis.

Sebagai Anggota DPD RI dari daerah pemilihan Maluku, Nono Sampono seharusnya menjadi corong aspirasi 1,8 juta nyawa di parlemen. Tapi sejak pertama kali duduk di Senayan, publik Maluku sulit menemukan jejak konkret peran Nono dalam advokasi hak-hak daerah. Dalam isu-isu strategis seperti konflik lahan, pendidikan dan infrastruktur dan lebih terbaru soal kebijakan Penangkapan Ikan Terukur (PIT), suara Nono hampir nihil. Maluku seolah cuma jadi alamat responden politiknya. Ia adalah senator yang tak pernah benar-benar bermukim di pulau yang diwakilinya.

Dari Samudera ke Konsesi Tambang

Skandal teranyar yang menyeret nama Nono adalah dalam pusaran konflik eksplorasi tambang nikel di Raja Ampat, Papua Barat Daya. Berdasarkan akta notaris tertanggal 2 Februari 2021, nama Nono tercatat sebagai Komisaris Utama PT Kawei Sejahtera Mining, sebuah perusahaan tambang yang kini menjadi sorotan karena keterlibatannya dalam rencana eksplorasi tambang nikel di kawasan konservasi.

Perusahaan ini terafiliasi dengan kelompok bisnis besar yang selama ini dikenal lewat jejak pembangunan, salah satunya Agung Sedayu Group, di mana Nono Sampono juga pernah menjabat sebagai Direktur Utama. Grup ini terafiliasi langsung dengan Aguan, taipan properti yang dikenal luas karena proyek reklamasi kontroversial di Pantai Indah Kapuk 2, Banten.

Lebih dari sekadar keterlibatan nama, posisi Nono sebagai Komisaris Utama menunjukkan kedekatan struktural dan kepentingan langsung dalam operasional PT Kawei. Keterlibatan ini menjadi problematik ketika diketahui bahwa wilayah konsesi tambang PT Kawei masuk dalam areal yang berdampak langsung terhadap ruang hidup masyarakat adat dan wilayah perairan laut yang selama ini menjadi sumber utama penghidupan warga pesisir.

Tak berhenti di tambang, nama Nono juga pernah tercatat dalam konflik Pagar Laut yang menjadi simbol perampasan ruang hidup di Tangerang, Jakarta. Di saat yang sama masyarakat Maluku sedang merengek soal pembangunan fasilitas kesehatan. Nono lebih giat memperluas pantai buatan di ibu kota daripada memperjuangkan fasilitas dasar kesehatan untuk rakyat di kampung-kampung pesisir. Ini menjadi cermin krisis moral respresentasi dari seorang pejabat publik.

Etika Publik yang Luntur

Sebagai mantan perwira tinggi TNI AL dan pejabat negara, Nono Sampono semestinya menjadi penjaga moral konstitusi. Dalam sistem demokrasi, etika pejabat publik bukan hanya diukur dari legalitas formal, tapi juga dari integritas moral.

Apakah sah secara hukum menguasai laut dengan sertifikat HGB? Bisa jadi. Namun apakah itu sah secara etika publik? Jelas tidak. Atau terkit pertambangan nikel di kawasan yang mestinya dijaga ekosistemnya, karena terkait atau dekat dengan destinasi pariwisata dan warisan dunia, tentu saja menabrak moral dan etika publik, apalagi sebagai wakil rakyat atau ketika individu tersebut duduk dalam kursi pengambilan kebijakan nasional. Di sinilah letak masalah utamanya—bukan hanya soal hukum, tapi soal keteladanan.

Pembelaan melalui kuasa hukum yang mengatakan “tidak ada hubungan antara perusahaan dengan proyek pagar laut” atau tambang nikel di Raja Ampat hanyalah tameng semantik yang tak memadamkan api kecurigaan publik. Jika memang tidak ada konflik kepentingan, mengapa tidak segera mengundurkan diri dari jabatan publik, atau sebaliknya, melepas posisi di perusahaan?

Dalam negara hukum yang sehat, jabatan publik menuntut transparansi dan pertanggungjawaban moral. Kasus pagar laut adalah ujian bagi DPD RI, KPK, dan institusi-institusi penegak hukum kita. Jika tidak segera direspons dengan serius, ini akan menjadi preseden bahwa penguasaan laut oleh korporasi melalui celah hukum adalah hal biasa.

Kita tidak bisa terus-menerus membiarkan laut menjadi milik segelintir orang, sementara rakyat hanya bisa menatap dari kejauhan. Laut bukan untuk dipagari. Laut adalah warisan bersama, bukan komoditas bisnis yang bisa disertifikasi. Atau wilayah yang mestinya tetap terjaga ekosistemnya, akhirnya rusak binasa oleh syahwat menumpuk kekayaan dengan menghalalkan segala cara.

Maluku hari ini sedang menghadapi problem sosial yang kompleks—dari kemiskinan struktural, kerusakan ekologis akibat eksplorasi tambang dan proyek pembangunan berbasis investasi korporat. Tapi di tengah krisis itu, representasi politik yang lahir dari jalur non-partai seperti DPD justru menjadi ruang senyap. Masyarakat Maluku akan bertanya untuk Senator seperti Nono Sampono:

Apakah Maluku hanya jadi tiket Anda masuk Senayan, bukan tanah yang harus Anda bela sampai akhir masa jabatan?

Jika publik Maluku menelusuri laporan kinerja atau pernyataan sikap Nono Sampono selama menjabat, maka yang ditemukan adalah data hampa. Minim keterlibatan dalam sidang-sidang substansial yang menyangkut wilayah timur Indonesia, tak tercatat inisiatif legislasi yang berpihak pada masyarakat adat, apalagi langkah advokasi terhadap konflik sumber daya yang marak terjadi beberapa waktu belakangan di Maluku.

Dalam berbagai isu yang menyangkut nyawa dan tanah orang Maluku, Nono lebih banyak tampil di forum-forum seremonial atau seminar kebangsaan yang jauh dari konteks realitas di kampung-kampung. Bahkan sejumlah aktivis menyebutnya sebagai “Senator Nasionalis yang Lupa Jalan Pulang

Untuk Siapa DPD itu Ada?

Di meja-meja rapat DPD RI, Nono Sampono hadir sebagai simbol keterwakilan Maluku. Tapi simbol, seperti halnya patung di tengah kota, tak selalu berbicara. Selama dua periode duduk di kursi senator, tak satu pun catatan legislasi penting yang lahir dari tangannya untuk menjawab problem struktural di tanah maluku. Konflik agraria di Seram, kemiskinan akut di Kepulauan Aru, eksploitasi tambang di Pulau Buru atau akses kesehatan yang timpang di Seram Bagian Timur. Nono memilih untuk tidak ikut bicara. Suara Maluku terus menggema, tapi suara itu hanya silent ruang tempat ia duduk.

Laporan internal DPD RI menunjukkan bahwa kehadiran Nono dalam forum-forum pembahasan strategis mengenai otonomi daerah, konflik sumber daya, dan perlindungan masyarakat adat tergolong minim. Tak tercatat usulan naskah akademik, tidak ditemukan nota keberatan terhadap investasi korporat di tanah-tanah adat, apalagi inisiatif pengawasan terhadap kinerja pemerintah pusat di kawasan timur Indonesia. Sementara senator dari provinsi lain berlomba membawa agenda konstituen ke pusat, Nono justru lebih sering tampil dalam seminar kebangsaan, peresmian acara formal, atau rapat tertutup yang jauh dari persoalan rakyat. Ia hadir dalam bentuk, tapi absen dalam fungsi.

Publik Maluku tak bisa menemukan satu produk kebijakan yang dapat mereka sebut sebagai “buah tangan” dari wakil mereka ini. Tak ada Perda hasil inisiasi, tak ada dorongan terhadap revisi undang-undang yang berdampak langsung ke Maluku. Bahkan saat perlawanan masyarakat adat negeri Haya dengan PT Waragonda soal izin mengoyak tanah dan pesisir laut mereka, juga heroisme warga tiga dusun di Seram Bagian Barat melawan PT SIM. Nono memilih diam. Diam yang panjang. Diam yang politis. Diam yang mahal. Maka pertanyaannya kini bukan lagi apa yang telah Nono perjuangkan, tapi mengapa kita membiarkannya tetap duduk di sana? Dan bagi para pejabat publik, sudah saatnya untuk memilih: mengabdi kepada rakyat atau kepada keuntungan pribadi. Tak bisa dua-duanya.*

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

Share post:

Subscribe

spot_imgspot_img

Popular

Rekomendasi
Terkait

RUMMI Nilai Polisi Tebang Pilih Tindak Mafia Tambang Gunung Botak

Ambon,Tajukmaluku.com-Rumah Muda Anti Korupsi (RUMMI) menilai polisi tebang pilih...

Soal Anggaran Rp 1,8 M Dinkes, John Laipeny: Pengembalian Dana Tak Hentikan Proses Hukum

Ambon,Tajukmaluku.com-Ketua Fraksi Partai Gerindra DPRD Maluku, Swantje John Laipeny,...

Kapolres Tual Diminta Terbuka: Kematian Ahmad Sofyanto Penuh Kejanggalan

Ambon,Tajukmaluku.com-Sudah sembilan hari berlalu sejak Ahmad Sofyanto (44 tahun)...