Wawancara Eksklusif Tajukmaluku.com bersama Fajrin Rumalutur, Founder Maluku Data Network
Oleh: Redaksi Tajukmaluku.com
Di kalender birokrasi Indonesia, Musyawarah Perencanaan Pembangunan alias Musrenbang adalah upacara sakral yang digelar berjenjang setiap tahun, dari desa hingga provinsi. Ia dimaksudkan sebagai ruang partisipatif warga dalam menyusun arah pembangunan. Tapi di lapangan, Musrenbang kerap kali lebih menyerupai panggung ritual ketimbang forum rasional. Di dalamnya, jargon partisipatif berseliweran, tetapi partisipasi itu sendiri nyaris absen. Hasilnya? Tumpukan dokumen rencana yang rapi di meja, namun jauh dari denyut persoalan rakyat.
Kami mewawancarai Fajrin Rumalutur, pendiri Maluku Data Network, yang dikenal kritis terhadap praktik pembangunan berbasis data semu dan ritual teknokratis. Lewat pandangan tajam dan humor pahit, Fajrin menguliti wajah Musrenbang hari ini—yang menurutnya telah berubah menjadi “festival anggaran tanpa agenda”.
Musrenbang ini sebenarnya forum perencanaan pembangunan atau ritual tahunan yang wajib ditunaikan demi laporan SPJ semata?
“Sepanjang ini pelaksanaan Musrenbang lebih mirip formalitas birokrasi ketimbang forum substantif. Ia digelar karena memang harus digelar. Bukan karena ada dorongan mendesak untuk memecahkan persoalan. Kita tidak melihat orientasi pada rumusan kebijakan publik yang bermutu dan berpihak pada kebutuhan rakyat. Semuanya nyaris prosedural—asal jalan, asal selesai, asal SPJ aman.”
Kalau boleh jujur, menurut Anda Musrenbang Daerah itu lebih dekat ke ajang diskusi publik atau sekadar panggung basa-basi pejabat dengan jargon “partisipatif” yang sudah kehilangan makna?
“Musrenbang mestinya jadi arena pertemuan lintas aktor: warga, pakar, organisasi sipil, dan pemerintah. Tapi kenyataannya, forum ini elitis dan eksklusif. Yang hadir itu-itu saja. Jargon partisipatif hanya tempelan. Publik tidak dilibatkan secara bermakna. Padahal, Musrenbang merupakan pra-fase RPJP, RPJMD, dan RKPD seharusnya jadi momen strategis merumuskan arah kebijakan jangka panjang. Yang terjadi? Keputusan diambil atas dasar keinginan sepihak elit birokrasi, bukan hasil dengar aspirasi. Jadi apa gunanya bicara partisipasi kalau rakyat hanya diminta tepuk tangan?”
Apakah Musrenbang selama ini benar-benar menyentuh akar persoalan masyarakat Maluku, atau hanya menjawab “target indikator kinerja” yang penting angka-angka di laporan terlihat bagus?
“Kita bicara Musrenbang yang tidak berbasis data. Tidak ada kajian, tidak ada analisis mendalam. Yang dibahas bisa meloncat-loncat, ngalor-ngidul, tanpa pijakan realitas. Ini sangat berbahaya, karena pembangunan jadi soal estetika laporan, bukan realita sosial. Indikator kinerja sering kali dimanipulasi agar terlihat baik di atas kertas, tapi tak menyentuh kesenjangan yang riil di lapangan. Ini membentuk ilusi keberhasilan yang sistematis.”
Kalau kita bisa evaluasi, selama 10 tahun terakhir, apa dampak konkret dari Musrenbang? Atau jangan-jangan dampaknya baru terasa di ruang makan hotel tempat acara digelar?
“Jujur saja, kita tidak melihat ada transformasi signifikan dari hasil Musrenbang selama satu dekade terakhir. Forum ini cenderung simbolik. Bahkan fasilitatornya pun sering tidak didampingi oleh lembaga profesional. Kalau saya jadi kepala daerah, saya akan hire konsultan kebijakan publik kelas dunia. Bila perlu, undang McKinsey! Kenapa? Karena perencanaan publik butuh kecermatan dan integritas. Kita tidak bisa terus menyerahkan masa depan daerah pada rutinitas teknokratis yang kosong makna.”
Kalau Anda jadi Gubernur Maluku hari ini, dan melihat output Musrenbang yang stagnan, apakah Anda akan rombak total sistemnya atau cukup ubah tema dan backdrop tahun depan biar terlihat ‘segar’?
“Saya akan rombak total! Ini bukan soal desain backdrop atau ganti tagline ‘Inklusif dan Partisipatif’. Perubahan harus menyentuh sistem: mekanisme pengambilan keputusan yang transparan, pelibatan warga secara bermakna, kehadiran pakar untuk memperkuat kualitas analisis, serta pendampingan dari lembaga profesional agar ada evaluasi berkelanjutan. Kalau tidak, kita hanya mengulang ritus tahunan yang mahal dan membosankan, tapi miskin hasil.”
Dari ruang rapat ke ruang makan hotel, dari daftar usulan ke daftar menu prasmanan, Musrenbang tampaknya sedang mengalami krisis eksistensi. Ia bukan lagi forum menyusun masa depan bersama, tapi lebih sering tampil sebagai drama tahunan dengan aktor dan naskah yang sudah bisa ditebak. Fajrin Rumalutur, dengan ketajaman dan kejengkelannya yang khas, menutup wawancara ini dengan refleksi getir.
“Kalau Musrenbang terus digelar tanpa perbaikan sistemik, jangan salahkan rakyat kalau mulai menganggapnya sebagai festival data palsu. Kita bukan kekurangan forum, kita kekurangan keberanian untuk merombak sistem yang sudah lapuk. Kalau hanya untuk menggugurkan kewajiban administratif, lebih baik kita ganti saja Musrenbang dengan lomba orasi pejabat—hasilnya mungkin tak jauh beda.”
(Tajukmaluku.com)
*wawacara oleh Tim Redaksi