Oleh: Lana AI
Tanggal 17 April 2025, Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII) resmi memasuki usia 65 tahun. Usia yang tidak lagi muda, cukup untuk disebut “dewasa” dalam istilah organisasi. Namun kedewasaan tidak semata ditentukan oleh angka, sebagaimana tidak semua uban adalah tanda kebijaksanaan—bisa jadi hanya penanda stres karena terlalu banyak rapat pleno yang tak berkesudahan.
Sebagai organisasi kaderisasi, PMII seharusnya tampil seperti dapur ideologis—tempat membakar semangat dan mendidihkannya menjadi pemahaman yang matang. Namun belakangan, yang terjadi justru seperti dapur tak berasap: ramai, panas, tapi nihil masakan. Banyak wacana dilempar, sedikit yang matang. Banyak jenjang, minim jenama pemikiran.
Mari kita ajukan pertanyaan sederhana tapi mengganggu: kaderisasi PMII hari ini, lebih mirip proses pembebasan atau pelatihan kepatuhan?
Dalam banyak kasus, kaderisasi lebih sering dikemas bak paket wisata: ada destinasi (pelatihan), itinerary (jadwal padat), foto dokumentasi, dan tentu saja… sertifikat. Tapi, adakah hasilnya benar-benar merasuk ke laku kader? Atau hanya menjadi portofolio untuk seleksi Duta Kampus atau berkas beasiswa?
Paulo Freire, bapak pendidikan kritis, pernah berkata: “Jika pendidikan bukan untuk membebaskan, maka ia adalah alat penindasan.” Maka jika kaderisasi PMII tidak lagi membebaskan kader dari kebodohan struktural, nalar sempit, dan kultus jabatan, apakah itu bukan bentuk baru dari penindasan intelektual?
Kita sering menyebut kader sebagai agen perubahan, tapi perubahan seperti apa yang dimaksud? Jika perubahan hanya berarti naik jenjang dari kader biasa ke pengurus, dari peserta ke panitia, maka kita sedang membuat anak tangga menuju stagnasi, bukan transformasi.
Kita tidak kekurangan slogan. PMII punya banyak. Tapi terlalu sering kita menumpuk jargon, tanpa sempat menguji mana yang benar-benar dijalani. Seperti kata Nietzsche, “Slogan adalah tempat persembunyian terakhir bagi mereka yang takut berpikir.”
Lihatlah, banyak forum kaderisasi berubah menjadi kontes berbicara paling berapi-api. Sayang, isinya kadang hanya daur ulang diktat tahun 90-an yang tak pernah di-upgrade. Kader sibuk menghapal “postmodernisme” tanpa tahu apa beda Jean-François Lyotard dan Jean Paul Gaultier.
Di sisi lain, kaderisasi makin menjauh dari realitas zaman. Isu seperti kecerdasan buatan, climate change, kapitalisme digital, bahkan disinformasi berbasis agama nyaris tak tersentuh. Padahal kita sedang hidup dalam dunia di mana influencer skincare bisa lebih dipercaya ketimbang akademisi. Tapi entah mengapa, PMII seperti keasyikan dengan nostalgia masa lalu dan sibuk berswafoto di antara baliho dan twibbon harlah.
Struktur organisasi pun tak lepas dari kritik. PMII kadang seperti piramida terbalik: semakin ke atas, semakin tipis gagasan; semakin ke bawah, semakin berat beban. Kader lapangan jadi objek eksperimental, sementara elite organisasi sibuk menjaga harmoni WhatsApp Group alumni.
Padahal Sayyidina Ali sudah bilang: “Kebenaran tidak diukur dari orang, tapi orang diukur dari kebenaran.” Tapi hari ini, terlalu banyak keputusan ditentukan bukan karena ide baik, tapi karena siapa yang menyampaikan. Kader cemerlang bisa tersingkir oleh kader yang rajin ikut forum dan jago memanggil “sahabat” sambil cium tangan bolak-balik.
Harlah ke-65 ini semestinya jadi ruang muhasabah, bukan sekadar momentum ganti foto profil dengan bingkai biru. Kita perlu refleksi mendalam: apakah PMII masih menjadi kendaraan intelektual dan spiritual, atau hanya sekadar “unit kegiatan mahasiswa” versi religius?
Relevansi PMII akan terus menurun jika ia tidak segera berbenah. Kita butuh kaderisasi yang menyentuh akar persoalan umat: kemiskinan struktural, krisis moral politik, hingga pembodohan berbasis agama. Kita butuh diskusi yang tidak sekadar mengutip Gus Dur, tapi mencoba berpikir seberani Gus Dur: melawan arus, menertawakan otoritas, dan tak takut disebut nyeleneh.
Karena seperti yang dikatakan Gus Dur sendiri, “Yang lebih penting dari politik adalah kemanusiaan.” Tapi PMII hari ini kadang terlalu sibuk mengatur posisi politik sampai lupa menyapa masyarakat kecil yang bergulat dengan persoalan dasar—harga kebutuhan pokok, akses pendidikan, dan ketimpangan sosial yang makin lebar.
Kaderisasi seharusnya tidak hanya mendidik cara berpikir, tapi juga keberanian bertindak. Ia harus melahirkan mereka yang bisa turun tangan, bukan sekadar tunjuk tangan saat musyawarah. Jika tidak, kita hanya akan mencetak “mantan pengurus” yang pandai bicara sejarah organisasi tapi gagap saat diminta menyusun strategi sosial.
PMII tidak boleh terjebak pada glorifikasi masa lalu. Sebab sejarah yang terlalu dipuja justru bisa membunuh daya kritis. Kita bukan generasi pewaris museum, tapi pelanjut perjuangan. Perubahan tidak datang karena kita merayakan usia, tapi karena kita menghidupi cita.
Akhirnya, izinkan saya mengutip Gramsci: “Pesimisme intelek, optimisme kehendak.” PMII boleh saja dihadapkan pada tantangan berat, tapi selama masih ada kader yang berani bertanya, berani berpikir, dan berani berbeda—maka harapan selalu ada.
Selamat ulang tahun, PMII. Kami tidak memberi selamat untuk panjangnya usia, tapi kami menunggu kabar tentang kedalaman makna.
Karena hari ini, bangsa tidak butuh organisasi yang ramai seminar tapi sepi keberpihakan. Bangsa butuh PMII yang tidak hanya mampu membaca zaman, tapi juga menuliskannya kembali dengan tinta perjuangan.