Oleh: M. Nur Latuconsina
[Ketua Umum DPP HOLISTIK]
Tajukmaluku.com-Sejak resmi berdiri pada 1 Juli 1945, Kepolisian Negara Republik Indonesia (Polri) telah melewati rentang sejarah panjang yang penuh dinamika. Di awal kemerdekaan, Polri menjadi bagian integral perjuangan mempertahankan kedaulatan, bukan hanya sebagai penegak hukum tetapi juga sebagai pengawal revolusi bangsa. Era demi era, tantangan dan ancaman berubah, namun semangat pengabdian Polri pada rakyat tetap menjadi benang merah perjalanan institusi ini.
Seiring waktu, Polri bukan hanya menjadi penegak hukum tetapi juga penjaga stabilitas sosial dan keamanan nasional. Dari operasi penumpasan separatisme hingga menjaga pesta demokrasi, Polri hadir di setiap simpul sejarah republik ini. Tercatat dalam berbagai literatur dan arsip nasional, ratusan ribu personel Polri mengabdikan hidupnya untuk menjaga kehidupan masyarakat Indonesia tetap tenteram.
Pada dekade 70-80an, Polri mulai membangun profesionalisme melalui pendidikan dan penguatan kelembagaan. Reformasi 1998 menjadi tonggak penting: Polri berpisah dari ABRI dan mulai menegaskan jatidirinya sebagai institusi sipil bersenjata. Hal ini menjadi fondasi pergeseran paradigma “Polri untuk Negara” menjadi “Polri untuk Masyarakat” secara lebih kuat.
Di usia ke-79 tahun ini, refleksi historis menjadi penting. Kita tidak hanya melihat kilas balik keberhasilan, tetapi juga belajar dari berbagai catatan hitam perjalanan. Kasus pelanggaran HAM, penyalahgunaan kewenangan, dan ketidakprofesionalan menjadi cambuk yang memaksa Polri terus berbenah.
Peringatan HUT Bhayangkara bukan sekadar seremoni, tetapi momentum evaluasi dan perumusan strategi masa depan. Bagaimana Polri tetap relevan dengan perkembangan zaman, menjawab tuntutan masyarakat yang semakin kritis, dan membangun citra sebagai pelindung, pengayom, serta pelayan rakyat.
Dari pengamanan konflik horizontal, terorisme, hingga kejahatan lintas negara, Polri dihadapkan pada tantangan kompleks. Namun satu hal pasti: pengabdian dan kesetiaan untuk rakyat adalah dasar moral dan eksistensi Polri sejak lahir hingga kini.
Pada akhirnya, sejarah panjang Polri menunjukkan bahwa institusi ini tidak lahir dari ruang hampa, tetapi dari denyut perjuangan rakyat. Momentum peringatan HUT Bhayangkara menjadi kesempatan menguatkan kembali semangat pengabdian yang bersandar pada nilai kemanusiaan dan keadilan sosial.
Transformasi Menuju Polri Presisi: Tuntutan Zaman
Era digital menuntut transformasi lembaga keamanan, termasuk Polri. Inovasi teknologi tidak hanya berdampak pada metode kejahatan tetapi juga mengubah ekspektasi publik terhadap pelayanan penegakan hukum. Atas dasar itu, konsep Polri Presisi (Prediktif, Responsibilitas, dan Transparansi Berkeadilan) menjadi arah pembaruan institusi.
Data Komdigi tahun 2023 menunjukkan Indonesia berada di peringkat ke-5 negara dengan tingkat kejahatan siber tertinggi di Asia Tenggara. Fakta ini menjadi lampu merah sekaligus pendorong bagi Polri untuk mengedepankan prediksi berbasis data dan analisis teknologi dalam menangani potensi ancaman.
Polri pun membangun berbagai aplikasi pelayanan publik: dari SP2HP online, SIM online, hingga inovasi digital laporan pengaduan masyarakat. Langkah ini penting untuk menjawab keraguan publik yang sering memandang pelayanan Polri berbelit dan rawan pungli. Di beberapa wilayah, hasilnya cukup signifikan: waktu pengurusan administrasi berkurang rata-rata 40% dibanding metode manual.
Di sisi lain, tantangan transparansi juga tak ringan. Kasus besar seperti penanganan perkara Sambo dan sederet kasus internal menjadi pelajaran berharga bahwa kepercayaan publik tidak dibangun lewat retorika, tetapi lewat tindakan nyata dan komitmen berkelanjutan.
Transformasi Polri Presisi bukan semata kebijakan Kapolri, tetapi menjadi kerja kolektif seluruh jajaran dari pusat hingga daerah. Hal ini memerlukan komitmen moral, keberanian untuk terbuka, dan kesungguhan menegakkan nilai profesionalisme.
Dalam catatan BRIN, tingkat kepercayaan publik terhadap Polri naik dari 63% pada 2019 menjadi sekitar 70% pada 2024. Peningkatan ini bukan akhir, melainkan titik tolak agar Polri terus menjaga kualitas pelayanan dan respons cepat terhadap dinamika kejahatan.
Upaya Polri Presisi juga harus ditopang pembenahan budaya organisasi. Tidak cukup hanya membangun infrastruktur teknologi, tetapi juga merombak cara pikir dan cara kerja lama yang tidak sesuai dengan semangat pelayanan publik yang bersih dan berkeadilan.
Polri di Tengah Kehidupan Sosial Masyarakat
Di balik kesibukan menangani tindak pidana, Polri juga memainkan peran penting dalam merawat kohesi sosial masyarakat. Di banyak daerah konflik, keberadaan Bhayangkara Pembina Keamanan dan Ketertiban Masyarakat (Bhabinkamtibmas) menjadi kunci meredam potensi gesekan antar warga.
Di Maluku misalnya, Polri berperan aktif menjaga perdamaian pasca-konflik komunal. Lewat pendekatan dialog, mediasi adat, dan patroli sambang kampung, Polri membangun jembatan komunikasi lintas komunitas. Ini membuktikan bahwa polisi bukan sekadar penegak hukum, tetapi juga perekat sosial di tengah pluralitas bangsa.
Kegiatan bakti sosial, pengawalan distribusi bansos, hingga pelayanan kesehatan di wilayah terpencil juga menjadi wajah humanis Polri di tengah rakyat. Sebuah laporan internal Polri mencatat lebih dari 1 juta kegiatan sosial telah dilakukan selama lima tahun terakhir, mulai dari renovasi rumah warga tidak mampu hingga operasi katarak gratis di berbagai daerah.
Namun demikian, tantangan tetap ada. Sikap arogan segelintir oknum, tindak kekerasan berlebihan saat pengamanan unjuk rasa, hingga praktik pungutan liar masih menjadi catatan publik. Ini menjadi pengingat bahwa tugas membangun wajah humanis Polri adalah pekerjaan panjang yang tidak selesai hanya dengan program seremonial.
Karena itu, dibutuhkan sistem pengawasan internal yang kuat, partisipasi masyarakat dalam pengawasan kinerja Polri, serta komitmen pimpinan untuk menindak tegas setiap pelanggaran oknum tanpa pandang bulu.
Program-program ke depan harus menyentuh akar persoalan: reformasi kultural, peningkatan kualitas pelayanan publik, dan pembenahan pola rekrutmen agar Polri benar-benar menjadi representasi wajah bangsa yang majemuk dan beradab.
Menjawab Harapan, Membangun Masa Depan
Memasuki usia ke-79, Polri dihadapkan pada tuntutan perubahan cepat: masyarakat semakin melek hukum, semakin kritis, dan menuntut pelayanan publik yang profesional, transparan, dan adil. Persoalan penegakan hukum tidak lagi sekadar menindak, tetapi juga menjawab rasa keadilan masyarakat.
Kasus-kasus besar yang mendapat sorotan publik menjadi ujian: apakah Polri mampu menempatkan prinsip kesetaraan di depan hukum, atau justru menjadi alat kekuasaan. Tantangan ini menjadi titik krusial di mana citra Polri dipertaruhkan.
Dalam konteks keamanan global, Polri juga harus siap menghadapi ancaman baru seperti terorisme berbasis jaringan, kejahatan transnasional, dan penyalahgunaan teknologi berbasis AI. Penanganan semacam ini memerlukan sinergi lintas instansi dan kolaborasi internasional.
Lebih jauh, pembangunan sumber daya manusia (SDM) menjadi kunci. Pendidikan karakter, pelatihan teknologi, dan pembaruan doktrin menjadi agenda penting di masa depan. Tanpa transformasi SDM, Polri akan tertinggal oleh kecepatan perubahan modus kejahatan.
Sebagai institusi penegak hukum, Polri bukan hanya penentu ketertiban, tetapi juga cermin peradaban hukum bangsa. HUT ke-79 Bhayangkara seharusnya menjadi momentum membangun kepercayaan, memperkuat akuntabilitas, dan meneguhkan janji pengabdian pada rakyat.
Akhirnya, tugas menjaga negara bukan hanya kerja polisi, tetapi kerja kolektif bangsa. Polri butuh dukungan publik, kontrol kritis, dan partisipasi aktif masyarakat agar semangat “Polri untuk Masyarakat” menjadi napas bersama dalam menjaga persatuan dan keadilan sosial di negeri ini.
Ke depan, Polri perlu lebih terbuka menerima kritik, membangun saluran pengaduan publik yang efektif, dan mengutamakan pendekatan restorative justice yang menempatkan rakyat sebagai subjek hukum, bukan sekadar objek penindakan.
Penulis adalah Ketua Umum DPP Holistik