back to top

Kutu, Perempuan, dan Kuasa

Date:

BUKTI paling sederhana bahwa manusia itu setara mungkin justru datang dari makhluk paling kecil bernama kutu. Ia tidak memilih kepala siapa yang akan disinggahi. Tak peduli bangsawan atau rakyat jelata, perempuan atau laki-laki. Tak hirau rambut keriting atau lurus, tebal atau tipis. Ia hidup dan berkembang tanpa peduli kasta, pangkat, atau gelar. Dan musabab itulah, kutu menjadi alasan paling purba bagi manusia untuk “duduk bersama”—bersila tanpa protokol, tanpa syarat jabatan. Di sana, tangan-tangan menyibak rambut bukan untuk merendahkan, tapi untuk merawat. Tubuh manusia, yang seringkali dijadikan batas, justru dihadirkan sebagai medium kesetaraan.

Di banyak pelosok Indonesia, praktik mencari kutu hidup sebagai bagian dari keseharian yang nyaris tak dianggap penting, padahal menyimpan makna sosial yang mendalam. Di Maluku, ia disebut cari kutu; di Bugis, mangngutu atau mangnguto; di Sunda, dikenal sebagai nyiaran kutu; di Jawa, muncul dalam bentuk golek tumo, dhidhi, atau petan; sementara di Madura, disebut nyellek koto. Aktivitas ini bukan semata membersihkan rambut dari parasit, melainkan juga membuka ruang bagi kedekatan antartubuh yang tersisihkan. Di balik jemari yang menyibak rambut, ada jaringan sosial tak kasatmata yang sedang dikerjakan—ikatan antarmanusia, solidaritas lintas generasi, dan keintiman.

Tradisi ini mungkin tampak remeh, namun justru dalam keremehan itulah ia membisikkan sesuatu yang besar: bahwa tubuh bukan semata ruang privat, melainkan juga ruang sosial yang hidup. Dalam dunia sebelum segalanya dibingkai oleh layar dan protokol kebersihan modern, kehangatan dibangun bukan melalui pertemuan formal atau rapat akbar, melainkan lewat sentuhan pelan yang sarat makna. Praktik seperti cari kutu mengingatkan kita bahwa politik keintiman pernah menjadi fondasi hubungan sosial yang lebih egaliter—dan bahwa kekuasaan tidak selalu hadir dalam bentuk suara yang lantang, tetapi juga dalam pembungkaman ritual-ritual kecil yang menyatukan.

Bersekutu karena “Kutu”

Antropologi sejak lama mengajarkan bahwa manusia bukan sekadar homo sapiens, tetapi juga homo socius—makhluk yang bertahan dan berkembang berkat keterhubungan sosialnya. Clifford Geertz (1973) menegaskan bahwa budaya bukan hanya kumpulan simbol atau ritual besar, melainkan arena negosiasi makna dalam kehidupan sehari-hari yang sederhana sekalipun. Dalam perspektif ini, aktivitas-aktivitas yang tampak remeh seperti mencari kutu justru menyimpan makna sosial yang sangat dalam. Praktik ini menjadi medium perawatan, keintiman, dan komunikasi yang melampaui fungsi biologisnya, berubah menjadi sebuah ritus sosial yang memelihara solidaritas dan rasa kebersamaan.

Fenomena jemari yang menyusuri rambut untuk mencari kutu bukan hanya ditemukan di dusun-dusun Nusantara, tetapi juga tersebar di berbagai belahan dunia. Di pedalaman Afrika Tengah, misalnya, perempuan suku Aka kerap duduk berpasangan memeriksa rambut satu sama lain bukan semata urusan kebersihan, melainkan sebagai bentuk afeksi yang halus dan mendalam. Bonnie Hewlett (2014), antropolog yang lama tinggal bersama komunitas tersebut, menyebut aktivitas ini sebagai perawatan emosional—affective intimacy yang menjadi dasar solidaritas dan rasa aman antarperempuan. Sementara itu, di belantara Amazon, Thomas Gregor (1985) mencatat tradisi serupa di masyarakat Mehinaku, di mana momen cari kutu juga menjadi ruang tukar cerita dan menyulam kembali relasi sosial yang nyaris terkikis oleh waktu.

Praktik cari kutu juga tetap hidup dan bermakna di berbagai masyarakat Asia Tenggara, dari lereng Nepal hingga pematang sawah Vietnam, serta dari pegunungan suku Karen di Thailand hingga lorong-lorong desa di Indonesia. Jan Brunson (2016) dalam penelitiannya menyebutnya sebagai intimate care—pemeliharaan relasi sosial melalui sentuhan, perhatian, dan kehadiran yang tak bisa digantikan oleh teknologi atau prosedur formal. Dalam kebudayaan-kebudayaan ini, cari kutu bukan sekadar tindakan biologis, melainkan ritus kecil yang mempertahankan kemanusiaan melalui keintiman yang sunyi dan ketekunan yang akrab, menjadikan manusia tetap terhubung secara sosial dalam lingkaran keseharian yang sederhana namun bermakna.

Kutu, Kekuasaan, dan Ruang Hilang di Seram Timur

Di Seram Timur, sebagaimana di banyak wilayah Maluku, praktik cari kutu tak sekadar aktivitas mengisi waktu luang, melainkan sebuah institusi sosial yang hidup—sebuah forum perempuan yang tumbuh dalam kesahajaan. Di sela jemari yang menyibak rambut, mengalir percakapan tentang menanam, meramuh makanan dan mofun (jamuh), harga jual-beli komoditas, pendidikan dan kesehatan anak, dinamika rumah tangga dan taflak (hajatan keluarga), hingga perbincangan politik. Dalam ruang informal ini, perempuan hadir bukan sebagai figur pinggiran—bukan sekadar istri, ibu, atau bayang-bayang laki-laki—melainkan sebagai warga yang utuh: aktor sosial dan politik yang membentuk dan mengendalikan dunia mereka sendiri.

Namun, ruang-ruang sosial yang tumbuh secara organik dan sulit dikontrol seperti ini mulai dicurigai dan diawasi, terutama sejak era Orde Baru. Pada masa tersebut, segala bentuk pertemuan sosial yang cair dan tidak terduga—seperti pos ronda, arisan, atau kongkow di muka rumah—dipandang sebagai potensi ancaman bagi stabilitas negara dan rezim yang berkuasa. Negara pun mengadopsi pendekatan sangat waspada terhadap ruang-ruang informal, karena ruang tersebut memungkinkan munculnya wacana alternatif dan solidaritas yang berpotensi mengganggu kekuasaan. Aparat negara menganggap ruang sosial informal sebagai medan politik subversif, sehingga pengawasan dan intervensi menjadi alat utama untuk menekan potensi ancaman tersebut.

Dalam rangka mendisiplinkan perempuan, negara Orde Baru mengedepankan proyek ideologis yang oleh Julia Suryakusuma (1996) disebut sebagai ibuisme negara—sebuah konstruksi peran gender yang menempatkan perempuan sebagai pengatur rumah tangga sekaligus pelayan pembangunan nasional. Melalui program-program seperti PKK, perempuan didorong untuk aktif secara formal dalam struktur kenegaraan, namun dalam kerangka yang tunduk pada norma domestik, kepatuhan, dan keteraturan moral versi negara.

Proyek semacam ini bukan hanya menyasar peran sosial, tetapi juga membentuk ulang lanskap relasi keseharian perempuan. Praktik-praktik perjumpaan informal yang tumbuh dari bawah—seperti kegiatan “cari kutu” yang dulunya menjadi ruang intim berbagi cerita, pengalaman hidup, dan bahkan wacana kritis—dinetralisasi dan digantikan oleh forum-forum yang dikontrol negara. Dengan demikian, negara tidak hanya mengatur apa yang boleh dilakukan perempuan, tetapi juga bagaimana dan di mana mereka boleh saling terhubung, menjadikan pendisiplinan berlangsung secara halus namun menyeluruh melalui reproduksi norma dan kontrol atas ruang-ruang keintiman.

Menjelang runtuhnya rezim Soeharto, ketika kepercayaan pada militer mulai luntur, agama muncul sebagai tameng baru kekuasaan. Ia tampil sebagai kekuatan sosial yang lentur namun efektif—mengisi kekosongan yang ditinggalkan oleh negara dan militer. Di banyak tempat, termasuk Maluku, agama diangkat menjadi instrumen pengawasan sosial yang sah dan sulit digugat. Seperti dicatat Bubandt (2009), saat kontrol militer melemah, aktor-aktor keagamaan mulai mengambil alih fungsi stabilisasi sosial. Dalam pergeseran ini, ruang-ruang perempuan seperti “cari kutu”—yang dulu menjadi arena berbagi, merawat, dan merancang strategi hidup—dipelintir melalui lensa moralitas agama. Solidaritas perempuan disempitkan menjadi persoalan sopan santun dan kepatutan.

Ceramah, pengajian, dan ujaran keagamaan digunakan untuk menstigma aktivitas ini sebagai “gosip” atau “fitnah”—menyingkirkan dimensi sosial-politiknya dan menempatkannya dalam narasi dosa serta ketidaksopanan. Apa yang sebelumnya menjadi praktik afeksi dan solidaritas perempuan, dipersempit menjadi aktivitas yang tak bermoral. Moralitas agama dalam hal ini menjadi alat pembungkaman yang efisien—menghapus ruang informal perempuan dengan dalih menjaga kesopanan, sekaligus meredam potensi politis dari praktik keintiman yang dianggap sepele. Dalam sunyinya tubuh yang tak lagi saling bersentuhan, kuasa bekerja: membungkam, mengawasi, dan menertibkan.

Menariknya, praktik ini dilekatkan secara eksklusif pada tubuh perempuan. Kutu, karena konstruksi sosial dan pengalaman sehari-hari yang ‘bias”, seolah hanya hidup di kepala perempuan—dan musabab itu, aktivitas mencarinya pun menjadi domain mereka semata. Mengapa? Karena perawatan tubuh, terutama yang menyentuh wilayah keintiman dan estetika, secara historis telah dikonstruksi sebagai kerja feminin. Ia bukan hanya menambatkan perempuan dalam peran domestik, tetapi juga menjerat mereka dalam pengawasan moral dan sosial yang ketat. Kekuasaan bekerja halus di sini: menjadikan perawatan sebagai ritual femininitas, sekaligus mengontrolnya melalui norma agama dan etika sosial. Dalam senyap tubuh-tubuh yang tak lagi saling menyisir, kekuasaan membungkam dan menertibkan—menjauhkan perempuan dari ruang diskusi, dari keintiman yang membangun solidaritas, dan dari kemungkinan politis yang pernah tumbuh lewat jemari mereka sendiri.

Bersamaan dengan itu, masuknya iklan sabun dan sampo ke pelosok desa membawa serta gagasan tubuh yang steril dan individual sebagai simbol kemajuan. Praktik cari kutu pun mulai dianggap kotor dan primitif, dicitrakan sebagai jejak desa yang belum modern. Perlahan, ruang-ruang sosial tempat perempuan bisa berbagi cerita tanpa rasa diawasi mulai lenyap. Dalam proses ini, negara menertibkan melalui ibuisme, agama mengekang lewat moralitas, dan pasar menawarkan ilusi kebebasan lewat tubuh yang harus selalu bersih dan menarik. Tubuh perempuan dibentuk, diawasi, dan dijinakkan dalam sunyi yang teratur. Sementara itu, laki-laki tetap bebas—bebas dari tuntutan kesucian, dari disiplin tubuh, dan dari pengawasan yang menyusup hingga ke kulit kepala.

Menurut Michel Foucault (1977) dalam Discipline and Punish, kekuasaan tidak hanya bekerja secara represif melalui kekerasan fisik, tetapi juga menyusup ke dalam tubuh dan mengatur perilaku sehari-hari secara halus. Tubuh menjadi medan pertarungan kekuasaan yang dipantau, dikontrol, dan dibentuk agar patuh pada norma-norma yang berlaku. Praktik “cari kutu” pada perempuan, yang awalnya merupakan ruang sosial dan solidaritas, kemudian distigma dan diawasi ketat sebagai bentuk disiplin tubuh. Pengawasan ini membungkam bukan hanya interaksi sosial, tetapi juga potensi perempuan untuk berpikir kritis dan mengorganisasi diri secara kolektif. Dengan demikian, kekuasaan beroperasi secara mikro melalui tubuh, membatasi ruang perempuan dalam berkomunikasi dan berpolitik secara halus namun efektif.

Kini, perempuan di kampung kehilangan ruang bicara vital. Ketika proposal pembangunan datang bersama investor, suara mereka hilang bukan karena tak peduli, tapi karena ruang keberanian telah direnggut. Institusi sosial yang pernah membentuk kolektivitas perempuan hancur, berganti sunyi dan pengawasan ketat. Kita kerap terjebak pada politik formal, padahal politik sesungguhnya juga berdenyut di ruang keintiman—di atas tikar, bawah pohon, lewat jemari yang menyisir rambut. Di sana, republik dibicarakan tanpa jargon dan solidaritas terjalin tanpa dana negara. Membangun masyarakat adil berarti menghidupkan kembali ruang-ruang kecil dan informal yang tak terjamah pengawasan.

Syahdan, yang paling berbahaya bukanlah kutu di kepala, melainkan kekuasaan yang takut pada percakapan dan membunuhnya demi menciptakan ketenangan yang bisa dikontrol.

Ishak R. Boufakar, mahasiswa Cultural Studies di Unhas yang berdomisili di Makassar, menghabiskan waktu libur kampusnya dengan pulang kampung. Di sana, ia berlama-lama berbincang dengan ibunya sambil mencari kutu atau mengisi benang dalam jarum saat ibunya menjahit..

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

Share post:

Subscribe

spot_imgspot_img

Popular

Rekomendasi
Terkait

Bagaimanakah Etika Pembangunan Kita?

Dalam beberapa hari terakhir, publik tanah air dibuat heboh...

Bahlil; Wajah Timur, Tangan Korporasi

Narasi Bahlil Lahadalia sebagai “martir politik” dalam polemik tambang...

PLN UIW MMU Salurkan 68 Hewan Kurban untuk Masyarakat Maluku dan Maluku Utara

Ambon,Tajukmaluku.com-Dalam rangka menyambut Hari Raya Idul Adha 1446 Hijriah,...

Tambang PT Batulicin di Kei Besar Langgar UU Pulau Kecil, DPRD Maluku Diminta Panggil Gubernur

Ambon,Tajukmaluku.com-Aktivitas penambangan pasir dan batu oleh PT Batulicin Beton...