Politik Kebajikan Melalui Abolisi dan Amnesti ataukah Fenomena Ade Pasang Gaya, Kaka Tabola bale

Date:

Oleh: Dr. Abdul Manaf Tubaka, M.Si

Tajukmaluku.com-Di bulan kemerdekaan ini, tepatnya menjelang 17 Agustus 1945 kita dikejutkan oleh dorman, barang mewah yang tersembunyi dari atribut hukum yakni abolisi dan amnesti dari Presiden Prabowo Subianto.

Ialah Tom Lembong yang divonis 4,5 tahun penjara mendapatkan abolisi dan Hasto Kristiyanto yang divonis 3,5 tahun penjara mendapatkan amnesti dari Presiden yang disetujui DPR.

Abolisi dan amnesti itu barang mewah yang ketika digunakan menurut hemat saya, hanya untuk dua perkara yakni pertama, untuk menampar dunia hukum yang buruk dan mengembalikannya ke titik navigasi yang tepat dan benar. Kedua, untuk membangun peradaban suatu bangsa dengan menyembuhkan luka politik di masa lalu.

Di Afrika Selatan, Nelson Mandela dan Desmond Tutu membentuk truth and Reconciliation Commission, memberi ruang pengakuan dan ampunan demi menutup luka apartheid tanpa menambah dendam.

Di Amerika Serikat, Presiden Gerall Ford memberikan amnesti bagi penolak wajib militer di era perang Vietnam , sebuah langkah damai setelah konflik panjang.

Di Indonesia sendiri, Presiden SBY memberikan amnesti kepada eks kombatan GAM pada 2005. Dari sana, tumbulah perdamaian Aceh yang masih bertahan hingga hari ini. Atas kemunculan abolisi dan amnesti ini, publik pun terpolarisasi. Ada yang bersyukur dan menganggapnya sebagai kebijaksanaan dan ada yang melihatnya sebagai kalkulasi politik.

Dalam kasus Tom Lembong, abolisi dilihat sebagai langkah kebijaksanaan. Dari Tom Lembong pula, kita belajar kompetensi yang dibalut integritas dan sikap indenpenden yang kritis. Seorang ekonom dan teknokrat yang selama menjabat menteri Perdagangan 2015-2016 tak pernah korupsi. Karena itu, putusan vonis 4,5 tahun penjara dalam perkara gula impor terhadap Tom Lembong wajib dihilangkan dan dipulihkan nama baiknya. Maknanya adalah Tom Lembong kembali menjadi orang bebas yang tak pernah tersandung kasus korupsi.

Inilah politik kebajikan yang sedang diperankan oleh Presiden Prabowo. Ini kebajikan yang mengobati luka hati para pecinta keadilan hukum. Lain hal dengan Hasto Kristiyanto. Sekjen PDIP, partai dengan akar panjang dalam sejarah republik ini, divonis 3,5 tahun penjara atas kasus suap dan perintangan penyelidikan terkait Harun Masiku.

Dalam semangat harlah kemerdekaan 17 Agustus, Presiden Prabowo mengajukan amnesti kolektif untuk 1.116 terpidana, termasuk Hasto. Secara hukum, amnesti hanya sekedar menghapus hukuman, tetapi tidak membatalkan vonis.

Ini ruang tafsir politik sekaligus moral di dalamnya. Peristiwa ini mendudukkan kerangka penafsiran bagi kita. Pertama, upaya menguatkan struktur politik kekuasaan Presiden Prabowo. Kedua, menarik kubuh pendukung Anies Baswedan ke dalam orbit kekuasaan, serta mencairnya politik oposisi PDIP.

Dalam skema politik semacam itu, Ariel Heryanto menyebutkan bahwa hukum dipakai untuk sengketa politik sesama elite dan politik dipakai untuk menyelesaikan sengketa hukum sesama elite. Ini suara lain dari cara melihat fenomena hukum dan politik di Indonesia. Sebagai harapan, kebijakan abolisi dan amnesti ini menjadi langkah maju bagi pulihnya kepercayaan anak bangsa untuk kembali bersatu.

Namun disisi lain, dengan melihat berbagai kebijkan yang populis tetapi tidak substansial, seperti program MBG, serta belum sepenuhnya terealisasi dana pendidikan 20% memberikan pemaknaan bahwa kekuasaan masih bekerja dalam aras dominasi yang sama.

Di tengah politik polarisasi elite, selalu membawa dampak rembesan ke akar rumput yang jauh dari gemuruh pertikaian itu. Kekuasaan dikelola dari, dan hanya untuk kenyamanan elite dan bukan untuk lahan pengabdian bagi capaian kemakmuran bersama. Yang dibutuhkan bukan soal tampil beda yang etalistik, tetapi sistem yang membentuk perilaku dan menstrukturkan mentalitas.

Jika sistem kebijkan abolisi dan amnesti hanya sebagai kebijakan tampil beda dan mempertahankan sistem hukum, ekonomi dan politik yang absurd, kita semua akan terjebak dalam siatem yang salah dan kebodohan kolektif yang terpelihara.

Dan hanya orang yang tampil berbeda akan selalu dilirik orang. Seperti lagu fenomenal Tabola bale. Hesteria dalam goyangan, menghibur dalam ketidakpastian arah.*

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

Share post:

Subscribe

spot_imgspot_img

Popular

Rekomendasi
Terkait

Penumpang Keluhkan Layanan KM Pangrango: Banyak Kecoa dan Ruangan Pengap

Ambon,Tajukmaluku.com-Salah satu penumpang, Putri Hastari keluhkan pelayanan di KM....

Konfercab dan Diklatsar II Banser Ambon, Ansor Gaungkan Kemandirian Ekonomi Kader Lewat BUMA

Ambon,Tajukmaluku.com-Gerakan Pemuda Ansor Kota Ambon menggelar Konferensi Cabang (Konfercab)...

DPD Pelopor Maluku dan LSM Demo Kejati Maluku, Desak Tindak Lanjut Dugaan Proyek Fiktif RS Salim Alkatiri

Ambon,Tajukmaluku.com-DPD Pelopor Maluku bersama sejumlah Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM)...

Hadirkan SuperSUN di SMP Islam Ompu Asal, PLN UP3 Ternate Dukung Digitalisasi Sekolah 3T

Ternate,Tajukmaluku.com-PT PLN (Persero) Unit Induk Wilayah Maluku dan Maluku...